Late Night Call

26.2K 3.4K 82
                                    

"Namanya Violet. Travel blogger yang lumayan punya nama walaupun blognya masih terbilang baru. Umurnya dua tahun di bawah kita, dua puluh tujuh. Mantan jurnalis di salah satu media online tempat calon laki gue kerja. Kemungkinan... Violet Violet ini kenal sama Levin di—"

"Maura, I think you need to stop." Aruna menginterupsi, tak membiarkan sobat kentalnya itu menyelesaikan informasi yang sebenarnya tak ingin ia dengar. "Gue nggak mau tau, dan nggak butuh tau."

"Bohong."

Tepat. Aruna memang berbohong. Namun tak bisakah Maura mengerti? Betapa ia mati-matian menghindari setiap topik yang berkaitan dengan Levin dan... calon istrinya itu.

Aruna bukannya tak penasaran. Sesekali rasa ingin tahu itu memang ada. Ia ingin tahu, siapa sih gadis beruntung yang telah berhasil memenangkan tempat yang selama tiga belas tahun terakhir ini ia idam-idamkan? Namun Aruna cukup tahu diri. Gadis itu tak ingin menyakiti dirinya lebih dari kemarin.

Tiga belas tahun ia telah membuang waktunya untuk mencintai seseorang yang mengetahuinya ada di dunia ini saja pun belum tentu. Dan saat ini, rasanya tidak tahu apa-apa mengenai Levin dan hari bahagianya terdengar lebih bijak dibanding mengetahui segalanya, namun jelas berpotensi mengorek lukanya lebih dalam lagi.

Aruna meraih mentimun yang telah dipotong melintang dari kedua kelopak matanya. Gadis itu bangkit dari kasur yang sejak tadi menjadi tempatnya berbaring.

"I'm trying to move on, Maura. Bisa nggak suportif dikit? Emang lo nggak kasian apa sama gue?"

Tak menunggu Maura menanggapi protesnya, Aruna melangkah menuju kamar mandi di kamarnya untuk membasuh maskernya yang telah kering.

Jika tidak ada kegiatan di luar, Minggu malam seperti ini memang biasa Aruna manfaatkan untuk me time di apartemennya. Mencoba membuat tubuhnya rileks sebelum menghadapi segudang urusan pekerjaan yang telah menunggunya esok sampai lima hari ke depan.

"Mana mungkin gue nggak kasian sama lo? Tiga belas tahun, Na, lo jadi bucinnya Levin. Selama itu juga gue tau persis apa yang bikin lo bisa sampe sejauh ini. Ibarat strategi perang, ini tuh udah tinggal beberapa langkah lagi sampe lo bisa masuk ke benteng lawan. Tapi tiba-tiba, pihak lawan malah jatohin bom nuklir duluan ke benteng lo. Ya bubar jalan."

Samar-samar dari balik pintu kamar mandi, Aruna dapat mendengar analogi yang Maura utarakan.

"Seandainya gerak lo lebih cepet dikit—"

"Ra, enough is enough." Aruna yang sudah berdiri di ambang pintu kamar mandi memotong ucapan Maura. "Nggak ada lagi seandainya-seandainya. Levin bukan jodoh gue. I'm still struggling to understand it, of course. The pain isn't gone, but I have to learn how to deal with it, right? I won't deny it. I'll try to accept it, and move on.

"Tapi tiga belas tahun, Ra. Gue butuh waktu yang nggak sebentar buat bisa pindah dari dia. Dan untuk itu gue butuh lo buat support gue dengan cara nggak bahas Levin lagi. Let me grief with myself..."

"Okay. Sorry." Ekspresi Maura berubah. Ada sepercik rasa tak enak yang kini menjalar di hatinya. Kepalanya sibuk bertanya, apa selama ini... ia memang terlalu mencampuri urusan Aruna?

"Muka lo jangan asem gitu dong, bikin gue nggak enak aja." Aruna yang sudah kembali dengan handuk di wajahnya, merespons perubahan raut Maura. "Ganti topik bahasan aja yuk. Ngomongin persiapan kawinan lo kek, apa kek."

Maura melirik jam di atas nightstand. Masih dengan ekspresi sekecut tadi, gadis itu menanggapi, "Gue balik aja deh, Na. Udah mau jam delapan, besok senin, remember?"

Sugar AuntieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang