"Itu kan baru rumor, Na. Belum tentu si Levin beneran mau nikah. Selama ini kan, nggak ada yang bener-bener tau kehidupan tu orang gimana. Gue bahkan nggak yakin orang kayak Levin kepikiran buat nikah." Maura berujar melalui sambungan teleponnya. Sementara, Aruna yang menjadi lawan bicaranya sudah hampir tak menyimak apa yang baru saja teman SMA-nya itu katakan.
Aruna termenung dalam diam. Matanya menatap kosong ke arah pintu toilet kantornya yang tertutup rapat. Saat ini pikirannya penuh. Kabar yang ia dapat dari Nadira—teman SMA-nya selain Maura—setengah jam yang lalu, benar-benar membuat hatinya mencelos.
"Na? Runa? Lo masih di sana kan?" Tak mendengar respons apa pun dari Aruna yang semula ceriwis, Maura jadi was-was sendiri.
"Ma-masih, masih." Aruna menyahut tergesa. "Come on, Ra. It's not just a rumor. Kabar itu kan datengnya dari Nadira yang jelas-jelas WO di acara nikahannya Levin."
"Yeah... we both know the truth. Gue tadi cuma berusaha bikin lo nggak panik aja sih."
"Sialan!"
"Terus sekarang gimana?"
Aruna mendengus jengah sebelum menyahut, "Ya nggak gimana-gimana. Emangnya gue harus gimana? Dateng ke acara kawinannya Levin terus teriak 'STOP!!' kayak di sinetron-sinetron gitu?"
"Coba aja kalo berani. Gue sih nggak yakin. Jujur soal perasaan lo ke Levin aja lo nggak berani, gimana mau ngelakuin hal yang lebih ekstrem dari itu? Aruna... Aruna... bertahun-tahun jadi secret admirer, apa enaknya sih?"
Layaknya pukulan yang tepat sasaran, Aruna tersedak mendengar penuturan Maura barusan.
Sejujurnya, ia paling tak suka 'dihakimi' terkait 'bagaimana seharusnya seseorang mencintai orang lain'. Bagi Aruna, setiap orang berhak memilih caranya masing-masing dalam mencintai seseorang. Secret admirer atau bukan, cinta dalam hati atau cinta yang diungkap secara terang-terangan, tidak ada yang salah dengan itu.
"Levin nggak pernah tau lo secinta itu sama dia, Na. Lo nggak pernah bilang. Lo nggak pernah coba buat deket. Jadi kalau sekarang dia sama orang lain, ya... kita bisa bilang itu risiko, kan? Lo yang pilih jalan lo sendiri. Sekarang ya lo tanggung sendiri perihnya."
Aruna mendesis kesal. Di saat-saat seperti ini, ia tak butuh petuah dari siapa pun. Lagi pula, siapa juga yang mau menyeret orang lain untuk menanggung perihnya patah hati yang saat ini rasakan?
Sejak pertama kali Aruna memilih caranya sendiri, ia sudah tahu risiko apa yang akan ditanggungnya. Bertepuk sebelah tangan, atau istilah picisan lain, Aruna tak peduli. Ia sudah siap dengan risikonya, dan tak membutuhkan orang lain untuk menjadi 'alarm'-nya.
Aruna sadar. Mencintai seseorang, tanpa orang itu mengetahui keberadaannya di dunia ini adalah kebodohan tingkat tinggi. Namun, perempuan dan hatinya terkadang memang setolol itu, bukan?
"Maura, gue udah kelamaan cabut nih. Takut ada yang nyariin. Kerjaan gue juga lagi banyak. Udah dulu ya. We talk again, later." Aruna tak menunggu lawan bicaranya menyahut. Secara sepihak, ia memutus sambungan teleponnya.
Usai panggilannya berakhir, gadis itu tak langsung kembali ke meja kerjanya. Dia duduk di kloset toilet selama lima menit tanpa melakukan apa pun, lagi-lagi hanya menatap kosong ke dinding toilet.
Sialnya, di menit keenam, tangisnya pecah juga.
***
'Bahagia melihat orang yang kita cintai bahagia, meskipun bersama orang lain' adalah kalimat paling bullshit yang pernah Aruna dengar seumur hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Auntie
RomanceOpen Pre-Order | PART MASIH LENGKAP!! "Minta uang." Aruna nyaris tersedak saat mendengar permintaan Sean barusan. Anak ini... apa tidak pernah belajar yang namanya basa-basi? "Hah? Kamu pikir saya ini bapak moyang kamu apa? Seenaknya aja minta uang...