Hopes and Fears

22.4K 3.5K 81
                                    

Selama dua puluh tahun hidupnya, ada beberapa hal yang sebenarnya tak Sean sukai, salah satunya adalah bangunan bergaya classic tropis di depannya ini. Padahal, dulu lelaki itu selalu menyebut bangunan ini sebagai 'rumah'.

"Mas Sean!" Seruan itu datang dari balik pagar besi ber-cat hitam yang membentengi rumah tersebut. Melalui celahnya, Sean dapat melihat sang pemilik suara tergopoh-gopoh menghampirinya yang berdiri di depan pagar.

"Apa kabar, Pak Rudi?" Sean mengangkat sebelah tangannya saat batas bernama pagar itu tak lagi menghalangi keduanya, mengajak lelaki yang sudah sepuluh tahun berprofesi sebagai security di kediaman ayahnya itu untuk ber-high five.

"YA ALLAH, MAS SEAN!"

Namun, belum sempat tangannya bersambut, Sean dan lelaki paruh baya yang ia sapa dengan sebutan 'Pak Rudi' itu justru dikejutkan dengan suara melengking yang berasal dari halaman depan. Keduanya sontak mengalihkan pandangan ke arah sumber suara.

Sean tak sempat menyahut, tiba-tiba saja, tubuhnya sudah ditarik ke dalam pelukan seorang wanita bertubuh gempal, yang tadi berlari menghampirinya dengan terburu-buru. "Beneran Mas Sean?"

"Iya dong. Masa jin?"

Wanita berusia lima puluhan itu melepas pelukannya. Ujung kedua matanya basah oleh air mata. "Mas Sean ke mana aja? Dua bulan ndak pulang, ndak ada kabar. Mas Sean ndak kasian sama Bibi? Bibi kan kangen."

"Iya, Mas. Bi Surti sampe sakit-sakitan tuh, mikirin Mas Sean." Pak Rudi menimpali, membuat suasana menjadi lebih dramatis.

Tawa Sean pecah, cowok itu ganti membawa Bi Surti ke dalam rengkuhannya. "Sean juga kangen sama Bibi."

Bi Surti membalas pelukan Sean erat-erat, merayakan kembali kepulangan sang tuan rumah. Diciuminya kening, juga pipi Sean berkali-kali, seakan tak ingin anak majikannya itu kembali hilang dari pandangannya.

Sejak kecil, Sean memang sudah diasuh oleh Bi Surti. Hubungan keduanya menjadi semakin dekat setelah mama kandung Sean berpulang, tujuh tahun lalu. Bisa dibilang, lubang di hatinya karena kepergian sang mama bisa sedikit tertambal dengan semua perlakuan Bi Surti terhadapnya.

"Di rumah ada siapa, Bi? Sky sama... Mama Intan, ada di rumah?" Lidah Sean sedikit kelu ketika lagi-lagi harus memanggil Intan, istri papanya, dengan sebutan Mama. Mau bagaimana lagi? Aturan di rumah ini yang mengharuskan dan berakhir membiasakannya.

Bi Surti menggeleng sembari menyeka sisa air matanya. "Ndak ada. Nyonya lagi jemput adek di sekolah. Tapi koyok'e, sebentar lagi pulang."

"Kalo gitu, Sean harus buru-buru. Males ketemu Mama Intan."

"Lho? Buru-buru ke mana tho, Mas? Baru pulang, masa pergi lagi?" Bi Surti menggelayuti tangan kiri Sean sembari menggiring anak itu untuk masuk ke dalam rumah.

Sean tersenyum hambar. Ia yakin bahwa sebenarnya Bi Surti juga sudah mengetahui, alasan apa yang pada akhirnya membuat lelaki itu memutuskan untuk angkat kaki dari rumah ini. "Kita sama-sama tau lah, Bi. Sean nggak mungkin tinggal di sini lagi."

"Kenapa ndak mungkin tho, Mas? Ini kan rumah Mas Sean juga."

Sean tak lagi menyahuti, langkahnya terhenti sesampainya mereka di area foyer. Perlahan, ia melepas tangan Bi Surti yang masih berada di lengannya. "Bi—"

"Apa Mas Sean ndak mau ketemu, terus ngobrol dulu sama Pak Damar? Pak Damar tiap minggu mesthi ke sini nyariin Mas Sean. Katanya, Mas Sean juga ndak pernah bisa ditelepon."

Sean menggaruk tengkuknya. Semenjak ia memutuskan untuk pergi dari rumah ini, cowok itu memang sengaja memutus kontak dengan Intan, ibu tirinya, Farid, adik kandung papanya, juga Damar, sahabat sekaligus kuasa hukum papanya, yang mengurus semua hal yang berkaitan dengan wasiat sang papa. Sean benar-benar enggan berurusan dengan tiga orang itu. Ia tak ingin terjebak dalam drama 'rebutan harta warisan' yang menurutnya benar-benar... murahan.

Sugar AuntieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang