"Gimana bisa udah tiga bulan baru lo cerita sama gue?" protes Aruna, bibirnya mencebik sebelum melahap katsu yang terjepit di antara dua sisi sumpitnya.
"To be honest, sekarang pun Arvin belum ngizinin gue buat cerita ke orang-orang, Na. Dia tuh maunya nanti aja, pas kami ngundang buat acara empat bulanan. Lo tau kan, gue sama Arvin udah nunggu banget kabar baik ini. Karena kami baru dikasih kepercayaan setelah berbulan-bulan, makanya Arvin wanti-wanti banget buat nggak bilang siapa-siapa dulu..."
"Tapi kan ini gue, Ra! Aruna! Pelit banget sih laki lo."
"Gitu deh. Lo kayak nggak tau Arvin aja. Kaku. Lagian, emangnya lo nggak ngeh apa, nih pipi gue jadi makin chubby." Maura mencubit kedua pipinya sendiri, diam-diam berharap pipinya bisa kembali tirus dengan melakukan hal itu.
"Gue kira itu efek samping dari status baru lo, Nyonya Arvin. Siapa tau kan lo kelewat bahagia gitu, terus efeknya jadi ke badan lo."
"Ya bener sih. Nih bukti nyata efek sampingnya." Maura mengelus perutnya yang masih terlihat rata. Wajah wanita itu berseri, tak mampu menyembunyikan kebahagiaan yang mengisi setiap sudut hatinya.
Setelah nyaris dua bulan tak bertemu karena kesibukan masing-masing, pagi tadi, Maura tiba-tiba menelepon Aruna, mengajak wanita itu untuk makan siang bersama di Katsutoku, Plaza Senayan, dengan alasan ngidam.
Keduanya memang sering menggunakan istilah 'ngidam' jika sedang menginginkan sesuatu. Namun siapa sangka? Ternyata alasan ngidam yang Maura utarakan dalam sambungan teleponnya tadi memiliki makna secara harfiah.
"Happy banget ya, Ra?" Aruna menghunjami Maura dengan tatapan haru.
Maura mengangguk semangat, tetapi, senyum lebarnya perlahan memudar begitu melihat bagaimana cara Aruna menatapnya. "Na, lo jangan ngeliat gue kayak gitu dong. Jadi ngerasa bersalah nih gue..."
"Hah? Bersalah kenapa?"
"Yah... kayak... salah aja gitu. Seneng-seneng di atas nasib percintaan lo yang ngenesin."
Kedua bola mata Aruna sontak membola. Maura ini benar-benar!
"Sialan lo!"
Maura terkikik geli. Namun, ekspresi Aruna yang kini kecut maksimal itu membuat Maura tak melanjutkan tawa kecilnya, merasa tak enak hati. "Tapi serius deh, Na, kalo bisa minta, gue juga pengin lo ngerasain apa yang gue rasain sekarang. Gue nggak pengin happy sendirian begini."
"Yang bilang lo happy sendirian siapa? Gue juga happy banget, Maura! I'm soooo happy for you!"
Mendengar satu lagi kabar bahagia yang Maura bawa, rasanya memang campur aduk. Tentu saja luapan bahagia adalah yang paling mendominasi. Tetapi, Aruna tak dapat memungkiri, ada sepercik rasa iri yang perlahan mulai merambati hatinya.
Sejak dulu, Aruna meyakini bahwa hidup bukanlah kompetisi. Orang lain boleh saja sudah memiliki ini-itu di umurnya yang sekarang. Ia tak pernah ambil pusing, apalagi mempermasalahkan. Namun, semakin bertambahnya usia, sudut pandang Aruna berganti, terlebih untuk urusan percintaan.
Tidak seperti kisah cinta Maura yang lurus seperti jalan bebas hambatan, milik Aruna justru bergerak bagai track roller coaster. Tidak Levin, tidak Sean. Keduanya sama saja.
"Udah lama banget nggak sih, Na, kita nggak makan bareng gini? Ternyata kangen juga gue sama lo. Terakhir kapan ya?"
"Dua bulan lalu? Waktu acara dinner birthday-nya Arvin nggak, sih? Yang kita barbeque-an di rumah lo?"
Maura bergeming, mengambil waktu untuk membongkar kembali ingatannya. "Ahh iya, yang lo kenalan sama Kaivan itu kan?" Nada suara Maura tiba-tiba berubah excited saat menyebut nama salah satu sepupu Arvin. "Minggu lalu, waktu gue sama Arvin dateng ke acara keluarga, Kaivan masih nanyain lo tuh, Na. Nggak mau lo sikat aja?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Auntie
RomanceOpen Pre-Order | PART MASIH LENGKAP!! "Minta uang." Aruna nyaris tersedak saat mendengar permintaan Sean barusan. Anak ini... apa tidak pernah belajar yang namanya basa-basi? "Hah? Kamu pikir saya ini bapak moyang kamu apa? Seenaknya aja minta uang...