Masih dengan genggaman tangan Sean yang belum terlepas, Aruna menyeret lelaki itu ke sana-kemari dengan lincah. Berpindah dari satu akuarium ke akuarium lain dengan tak lupa mengomentari setiap jenis spesies yang gadis itu temui.
Aruna melakukannya bukan tanpa sebab. Wanita itu tengah berusaha mencairkan canggung yang tiba-tiba hadir di antara dirinya dan Sean usai menelusuri Antasena Tunnel sepanjang delapan puluh meter itu dalam hening.
"Sean, piranha nih. Kalau kamu nyebur ke akuarium ini, bisa-bisa kamu dimakan sama mereka, terus tinggal sisa tulang, hiii!" Aruna mengetuk-ngetuk bagian depan akuarium dengan ujung jarinya sembari bergidik, ujaran sok tahunya membuat Sean tersenyum tipis.
Entah mendapat keberanian dari mana, Sean tiba-tiba mengetuk dahi Aruna dengan kepalan tangannya. "Dasar korban film!"
"Apa sih?! Nggak sopan! Umur saya sembilan tahun di atas kamu ya, kali aja kamu lupa." Aruna mengusap dahinya dengan tangan kirinya yang bebas, bibirnya mengerucut sebal.
"Piranha itu nggak makan manusia hidup. Mereka makannya bangkai, atau minimal kalo mau makan manusia, itu manusia harus sekarat dulu."
"Really?" Kedua bola mata Aruna membola. "Bukannya piranha itu karnivora yang super ganas ya? Kalo di film-film, sifatnya sebelas dua belas sama Tasmanian Devil-nya Looney Tunes, ganas, rakus, semua dimakan sampai nggak ada sisa."
"Looney apa?" Kedua alis Sean bertemu di tengah.
"Looney Tunes, Tasmanian Devil, kamu nggak pernah denger?"
"Tasmanian Devil yang ada di Pulau Tasmania?"
Aruna menggeleng. "Bukan yang itu, tapi versi kartunnya. Waktu kecil kamu nggak pernah nonton kartun ya?"
Sean tersenyum geli. "Tan, nyadar nggak? Barusan itu kerasa banget gap umur kita. Aku nonton kartun, tapi mungkin tontonan kita waktu kecil nggak sama. Kita kan lahir di generasi yang beda. Jadi nggak usah nyama-nyamain, nggak usah sok muda."
"Sialan! Awas ya kamu!" Aruna meninju pelan bahu lawan bicaranya, membuat senyuman geli yang semula membingkai bibir Sean, kini berubah menjadi tawa renyah.
"Lagian Tante nih beneran korban film kayaknya. Atau korban bukunya Roosevelt?"
"Satu-satunya Roosevelt yang saya tau cuma mantan Presiden Amerika, Sean. Dan saya nggak yakin dia ada hubunganya sama piranha."
"Ada." Sean terdengar antusias, seakan topik yang akan mereka bicarakan adalah favoritnya. "Theodore Roosevelt itu yang bikin piranha jadi punya stigma kayak sekarang."
"Maksud saya tadi Franklin D Roosevelt, bukan Theo—Theo siapa? Dan apa hubungannya sama piranha?"
"Theodore Roosevelt. Presiden Amerika jauh sebelum Franklin." Sean mengoreksi.
"Dulu, waktu Roosevelt dateng ke Amazon, warga sana pengin kasih semacam pertunjukan gitu buat dia. Mereka sengaja masukin satu ekor sapi hidup ke sungai yang isinya gerombolan piranha. Nggak pake lama, sapinya udah abis kecabik-cabik, dan sisa tulangnya aja. Gara-gara itu Roosevelt bikin buku tentang keganasan piranha. Aku lupa judul bukunya apa, tapi buku itu yang bikin orang-orang jadi salah persepsi.
"Padahal Roosevelt nggak tau kalo sebelum pertunjukan itu dimulai, warga sana udah lebih dulu tangkep-tangkepin piranha yang ada di sungai, terus mereka biarin piranha-piranha itu kelaperan selama berminggu-minggu, makanya piranha-piranha itu jadi beringas."
Aruna menarik sudut bibirnya ke arah berlawanan. Senyumnya tersungging saat menyaksikan Sean bercerita dengan antusias. Aruna dapat melihat binar itu dari manik matanya. Sesekali cowok itu menggoyang-goyangkan tangan kirinya yang masih bertautan dengan Aruna saat bercerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Auntie
RomantizmOpen Pre-Order | PART MASIH LENGKAP!! "Minta uang." Aruna nyaris tersedak saat mendengar permintaan Sean barusan. Anak ini... apa tidak pernah belajar yang namanya basa-basi? "Hah? Kamu pikir saya ini bapak moyang kamu apa? Seenaknya aja minta uang...