Poor Unfortunate Souls

22.5K 3.4K 62
                                    

Rutinitas Sean untuk membuatkan Aruna sarapan berlanjut hingga pagi berikutnya. Yang membuatnya berbeda adalah, keduanya tak pernah lagi sarapan bersama. Sean hanya meninggalkan menu sarapan untuk Aruna, dan sebuah note yang selalu ia tempel di pintu kulkas. Biasanya, note itu berbunyi...

'Aku berangkat duluan ya, Tan. Menu sarapan hari ini Omelet. Jangan lupa dihabisin.' – Sean.

Semenjak hari itu, Sean memang selalu berangkat pagi buta, dan pulang saat malam sudah kelewat larut. Entah pergi ke mana bocah itu, Aruna tak terlalu peduli. Ia hanya sesekali menanyai keberadaan cowok itu melalui chat yang ia kirimkan. Namun belakangan, gadis itu pun sudah kembali fokus dengan dunianya. Tak ada lagi space yang tersisa untuk memikirkan hal lain, apalagi Sean.

Tak ada lagi yang tersisa di pikirannya kecuali... Levin.

Hari yang Aruna harapkan tak pernah ada dalam kalender hidupnya akhirnya datang juga. Di mana ia harus merelakan sang cinta pertama bersanding dengan wanita yang bukan dirinya... di pelaminan.

Gadis itu telah menangis semalaman sembari menyaksikan tayangan social experiment di kanal Youtube yang ia ikuti, hingga akhirnya tertidur karena kelelahan. Terhitung sudah dua kotak tisu yang ia habiskan. Tak heran jika hari ini, lagi-lagi ia bangun dengan wajah kuyu, di tengah lautan sampah tisu yang memenuhi hampir separuh tempat tidurnya.

Aruna memandang langit-langit kamarnya dengan perasaan hampa. Usai melirik sekilas ke arah nightstand, dan mendapati jam telah menunjukkan pukul sebelas siang, gadis itu akhirnya bangkit dari rebahnya.

Mulanya, Aruna ingin meraih handphone yang ia letakkan tak jauh dari jam mejanya. Namun gadis itu mengurungkan niat. Ia teringat, sejak kemarin siang, benda itu sudah mati kehabisan baterai, dan ia memang sengaja tak mengisi ulang dayanya.

Alasannya?

Aruna memang sudah lama tak mencari tahu, dan tak ingin tahu mengenai semua hal yang berhubungan dengan Levin. Namun lelaki itu adalah anak dari salah satu pelukis tersohor di Negeri ini. Berita tentang pernikahan sang pewaris sebuah galeri kenamaan itu jelas sudah menjamur sejak beberapa hari yang lalu di beberapa media online, bahkan di media sosial yang Aruna gunakan sehari-hari.

Jika tak dapat menahan diri, mudah saja bagi Aruna untuk mengakses atau tak sengaja 'berpapasan' dengan berita-berita tersebut melalui handphone-nya. Padahal untuk saat ini, lebih baik ia menghindar dari segala hal yang berpotensi menyakiti dirinya sendiri, bukan?

Aruna beranjak menuju kamar mandi. Gadis itu mengikat asal rambutnya sebelum mulai membasuh wajah kuyunya. Selama beberapa detik, ia memandangi pantulan dirinya di dalam cermin. "Memprihatinkan," desisnya pada diri sendiri.

Kesal dengan keadaan, dan mood-nya yang tak kunjung membaik, gadis itu berjalan gontai menuju dapur. Ia membutuhkan sesuatu untuk meredakan panas di hatinya.

Beruntung, meskipun hari ini adalah Minggu, sepertinya Sean sudah pergi sejak tadi pagi. Jujur saja, Aruna malas jika harus diinterogasi oleh anak itu. Untuk saat ini, ia benar-benar tak ingin berbicara dengan manusia.

Aruna membuka lemari pendingin dengan kasar. Setelah menemukan sekaleng soda dan menandaskannya dalam beberapa kali teguk, gadis itu menyandarkan tubuhnya ke meja counter, berusaha menenangkan diri sambil sesekali menghapus sisa air mata di pipinya dengan lengan baju, meski detik berikutnya, air terjun di matanya kembali kalah oleh gravitasi.

Sejak dulu, Aruna memang selalu membebaskan perasaannya. Bagi gadis itu, manusia berhak merasakan apa pun yang ingin mereka rasakan. Jika sedih, boleh menangis. Jika senang, boleh tertawa. Ia tak pernah membatasi, tak pernah ingin terlihat kuat dengan cara membohongi dirinya sendiri.

Sugar AuntieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang