"... I don't know how your story ended, but if you felt then was true love, then it's never too late. If it was true then, why wouldn't it be true now? You need only the courage to follow your heart..."
Aruna menggigit bibir bawahnya saat menyaksikan Claire membacakan surat balasan yang ditulis Sophie dalam 'Letters to Juliet'. Ini kali kesekian Aruna memutar film favoritnya itu. Namun ini kali pertama ia 'tertampar' dengan isi surat tersebut.
'You need only the courage to follow your heart...'
Bagai kaset rusak, kalimat itu terus berputar dalam kepala Aruna.
Ya. Sepertinya, keberanian adalah hal yang paling Aruna butuhkan saat ini. Keberanian untuk mengakui percik perasaan yang kini terbelenggu dalam kewarasannya. Keberanian untuk berdamai dengan perasaannya. Juga keberanian untuk menghadapi risiko semengerikan apa pun yang siap menghadangnya di depan.
Jujur saja, Aruna lelah bermain 'kucing-kucingan' dengan hatinya sendiri. Ia ingin kembali merdeka. Ia ingin menjadi Aruna yang ia kenal dulu. Ia tak ingin... perasaannya kembali terbelenggu oleh rasa takut, seperti yang pernah ia rasakan terhadap Levin, dulu.
Cinta seperti itu... benar-benar melelahkan.
"Kenapa Kak Runa ngeliatin aku kayak gitu?"
Sean memecah lamunan Aruna. Tanpa sadar, wanita itu malah memerhatikan setiap detail yang ada pada diri Sean. Rambut depannya yang kerap jatuh menutupi mata, bibir merahnya yang bergerak setiap kali membaca sesuatu di layar laptop, juga tangan usilnya yang sesekali memutar pulpen di sela dua jarinya.
"Kamu... ganteng." Aruna menyahut, di antara sadar dan tidak.
"Hah?!" Kedua bola mata Sean melebar. "Kak Runa ngomong sama aku?"
Aruna menegakkan tubuhnya. Gadis itu meraih remote TV untuk mengecilkan volume suara. "Coba kamu lihat sekeliling," perintah Aruna, yang entah mengapa Sean turuti tanpa bertanya.
"Terus?"
"Terus lihat, ada orang lain selain kamu nggak di sini?"
Sean menggeleng bingung, terlihat amat... menggemaskan di mata Aruna.
"Ini bukan gara-gara jatah warisan yang aku ceritain waktu itu, kan?"
Aruna menggertakan giginya, kemudian melempar wajah Sean dengan bantal sofa. "Nggak jadi, deh. Aku tarik kata-kataku."
"Kak Runa berisiknya bisa nanti-nanti dulu nggak?" protes Sean setelah berhasil menghindari bantal sofa yang nyaris menyasar wajahnya. "Deadline esainya jam dua belas malem nih. Kalau nggak selesai, besok aku nggak boleh ikut UTS." Lelaki itu memutar arah pandangnya menuju laptop di atas coffee table. Sejak tadi, seluruh atensi Sean memang terarah pada benda itu.
"Ah... sorry." Aruna meringis bersalah. "Lagian kenapa nggak kamu kerjain dari kemarin-kemarin sih? Kamu pasti sengaja kan, nunda ngerjain esainya. Begitu menjelang injury time begini, baru deh, panik. SKS begitu nggak baik, Sean. Dibanding masih ngerjain tugas jam segini, waktunya kan bisa kamu pake buat belajar materi ujian besok."
Demi Neptunus, Aruna tak tahu mengapa ia menjadi begitu cerewet.
"Seminggu ini restoran lagi rame banget. Biasanya sampe apartemen aku udah capek. Boro-boro mikirin esai, badanku rasanya remuk semua." Sean misuh tanpa mengalihkan fokusnya dari layar laptop.
Lagi. Tatapan Aruna kembali terpatri pada wajah Sean. Wanita itu menumpukan siku kanannya ke atas coffee table, sementara telapak tangannya ia gunakan untuk menopang pipi. Raut serius yang kini membingkai wajah Sean membuat Aruna enggan berpaling.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Auntie
Roman d'amourOpen Pre-Order | PART MASIH LENGKAP!! "Minta uang." Aruna nyaris tersedak saat mendengar permintaan Sean barusan. Anak ini... apa tidak pernah belajar yang namanya basa-basi? "Hah? Kamu pikir saya ini bapak moyang kamu apa? Seenaknya aja minta uang...