Aruna membenturkan kepalanya pada setir mobil, merutuki kebodohan jilid sekian yang entah mengapa tak dapat berhenti ia lakukan.
Seharusnya Aruna tidak datang ke tempat ini. Seharusnya Aruna tetap pada pendiriannya untuk tak lagi berurusan dengan lelaki bernama Sean. Seharusnya Aruna abai, bukan malah stand by. Apa sih yang ada di pikirannya? Bisa-bisanya Aruna justru memenuhi undangan yang Sean berikan dan kembali menjatuhkan harga dirinya. Konyol!
"Runa... Runa... lo kapan pinternya sih?" Aruna kembali merutuki dirinya sendiri, hal yang sudah berulang kali wanita itu lakukan semenjak mobilnya berhenti di pelataran parkir salah satu gedung kampus Sean, tempat prosesi wisuda lelaki itu digelar.
Di tengah aktivitas membenturkan kepala yang masih berlanjut, Aruna dapat merasakan seseorang mengetuk jendela mobil di sampingnya. Wanita itu mengangkat kepala, nyaris memekik begitu mengetahui siapa yang saat ini tengah melambai ke arahnya.
Sean!
"Kabur. Gue harus kabur." Aruna menyalakan mesin mobilnya dengan tergesa. Ekspresi wanita itu tak jauh berbeda dengan tokoh utama film horor yang terkena serangan panik lantaran teror hantu di siang bolong.
Mengetahui Aruna bersiap melajukan mobilnya, Sean semakin kencang mengetuk jendela mobil sang pengendali kemudi. "Kak, mau ke mana? Hei!" serunya, yang tentu saja tak dapat Aruna dengar.
Sean memutar langkah, kini lelaki itu sudah berdiri di depan kap mobil Aruna, mencegah besi berjalan itu untuk meninggalkan area kampusnya. Melihat apa yang Sean lakukan, Aruna membunyikan klaksonnya berkali-kali, mengisyaratkan cowok itu agar segera menyingkir.
Tak melihat tanda-tanda Sean akan menyerah, Aruna mengesah pasrah. Kalau sudah begini, tak ada pilihan lain selain menghadapi apa yang memang seharusnya ia hadapi, buah dari pikiran pendeknya yang membawanya berakhir di tempat ini.
"Damn it!" Aruna mematikan mesin mobil diiringi seruannya sendiri.
Saat Aruna akhirnya keluar dari mobil, Sean memangkas jaraknya dengan wanita itu. Sebelah tangannya kembali terangkat, melambai ke arah Aruna dengan senyum semringah yang berhasil membuat Aruna tertegun selama beberapa saat.
Mata Aruna tak mengerjap sama sekali, terhipnotis pada penampilan Sean. Cowok itu telah mencukur rambutnya menjadi lebih rapi. Tak ada lagi poni ala boyband-nya yang biasanya nyaris menutupi kedua matanya, membuat kening dan alis tebalnya yang mempesona kini terpampang nyata.
Aruna menelan salivanya susah payah. Dengan penampilan barunya ini, Sean terlihat lebih dewasa dari kali terakhir Aruna melihat cowok itu.
"Morning, Sun—aw, aduhh, Kak. Sakittt!" Aruna tak membiarkan Sean menyempurnakan sapaannya. Wanita itu sengaja menginjak kaki Sean yang berbalut sneaker dengan ujung heels-nya.
"I hate you."
"I know."
"No. You don't know how much I hate you."
"I don't care. I still love you." Sean kembali menyahuti perkataan Aruna.
Well, tak ada yang berubah dari mulut manis cowok itu, membuat Aruna tak tahan untuk tak menghadiahi Sean dengan delikkan mematikan.
"Kamu jahat banget sih? Kenapa harus kayak gini caranya? Sembilan bulan kemarin kamu ke mana?!"
"Wow. Ternyata udah sembilan bulan ya? Untung malem itu kita nggak ngapa-ngapain..." ujar Sean, yang berhasil membuat kening Aruna mengernyit dalam. "Karena kalo iya, mungkin sekarang aku udah jadi bapak."
Aruna meninju bahu Sean tanpa peringatan. Anak ini benar-benar minta dihajar!
"Aw aw!" Sean meringis, tinjuan Aruna terasa tak main-main. Jelas saja, wanita itu memang tengah berusaha melampiaskan kekesalan yang selama bulan-bulan terakhir ini ia pendam seorang diri. "Ck. Masih aja nggak bisa diajak bercanda," protes Sean, sembari mengusap bahunya yang nyeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Auntie
RomantikOpen Pre-Order | PART MASIH LENGKAP!! "Minta uang." Aruna nyaris tersedak saat mendengar permintaan Sean barusan. Anak ini... apa tidak pernah belajar yang namanya basa-basi? "Hah? Kamu pikir saya ini bapak moyang kamu apa? Seenaknya aja minta uang...