Dangerous Words

22.7K 3.2K 132
                                        

'Gue udah atur jadwal ngedate lo sama Bryan Jumat besok. Nggak ada tapi, lo kudu berangkat!'

"Whaaat?!" Aruna refleks menjerit usai membaca pesan singkat yang ia terima dari Maura. Kelopak matanya melebar hingga batas maksimal. Beberapa kali wanita itu juga mengerjap, berusaha memastikan bahwa kata demi kata yang tersusun dalam layar handphone-nya itu bukanlah ilusi.

"Ada apa, Mbak Runa? Kok kaget gitu?" Pertanyaan Nadine—junior sekaligus rekan kerja satu divisinya, berhasil membuyarkan fokus Aruna dari layar handphone. Wanita itu refleks mendongak dan mendapati beberapa pasang mata telah menatapnya dengan raut heran.

Aruna tengah berada di kantin karyawan yang terletak di basement gedung. Wanita itu baru saja ingin menikmati batagor pesanannya di waktu lunch yang telah memasuki 'injury time' ketika pesan dari Maura muncul dalam notification bar di layar handphone-nya.

"Ini... gue ke depan dulu ya, Din, bentar aja." Aruna tak berminat menjawab kebingungan Nadine. Terburu-buru wanita itu bangkit dari duduknya dan melangkah menuju pintu keluar kantin.

Sesampainya di area yang cukup sepi, Aruna menekan ikon 'panggil' berwarna hijau pada layar ponselnya. Beberapa detik nada sambung terdengar, hingga akhirnya...

"Lo ngapain sih, Ra? Sejak kapan lo jadi mak comblang?!"

"Sejak gue kepikiran kalau bridesmaid di acara kawinan gue nanti nggak boleh ada yang luntang-lantung sendirian kayak jomblo kesepian kurang kasih sayang." Maura menyahut dari sambungan teleponnya, mengabaikan Aruna yang lupa mengucapkan salam pembuka.

"Lancar ya lo ngehinanya!"

Maura terbahak di ujung sana. "Katanya lo mau move on. Giliran dikasih wadah buat ngebuka hati, malah lo-nya yang ogah-ogahan."

"Nanti juga gue move on, nggak perlu buru-buru, apalagi pake shortcut jodoh-jodohan segala. Lagian sekarang gue udah nggak apa-apa. Hati gue udah baik-baik aja, Ra. I swear."

"Iya, gara-gara ada si bocah itu, kan? Gue gerak cepet gini biar hati lo nggak keburu dibawa kabur sama tu anak. Lo kan kalo udah bucin susah sembuhnya. Bryan itu udah yang paling bagus buat lo, nggak ada yang lain!"

"Duhh... sadar nggak sih, Ra? Cerewet plus sok tau lo itu udah makin kayak ibu-ibu rumpi! Efek countdown menuju status baru as ibu rumah tangga, apa gimana sih?"

"Nggak usah bawa-bawa status baru deh. Serius, Na, gue adalah orang pertama dan terdepan yang bakal demo kalo sampe lo ada apa-apa sama tu bocah. Sembilan tahun, Runa! Lo mau nungguin dia sampe segede apa dulu buat bisa dikawinin?"

"Kawin kawin! Emang siapa yang mau kawin sama dia sih?! Pikiran lo kejauhan."

"Halah, kayak gue nggak tau lo aja. Ini udah mau dua bulan lo kumpul kebo sama tu bocah. Makin lama, bisa-bisa lo makin nyaman sama dia. Kalo udah gitu, bahaya! Sekarang banyak modelan cowok kayak gitu. Hidup jadi parasit modal ngerayu tante-tante bucin macem lo. Sayang banget lo capek-capek kerja cuma buat beasiswain hidupnya si Sean Sean centil itu."

"HEH!! Gue nggak kumpul kebo! Gue juga nggak bucin dan Sean nggak kayak yang lo pikirin!"

"Tuh kan, mulai deh, sugar mommy-nya ngebelain si sugar baby tersayang. Emang paling susah ya nasihatin orang yang lagi kasma—"

Klik!

Secara sepihak, Aruna memutus sambungan teleponnya dengan Maura. Ada sepercik amarah yang tiba-tiba membakar hatinya. Apa-apaan sih Maura tadi? Dasar sok tahu! Bisa-bisanya ia menghakimi sahabatnya sendiri seperti itu!

Sugar AuntieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang