"Mbak, anaknya yang waktu itu ke mana ya? Kok nggak pernah keliatan?"
Aruna baru menginjakkan kaki kurang dari dua menit di area lobi apartemen, menunggu taksi online yang dia pesan datang untuk mengantarnya menuju kantor, saat tiba-tiba sebuah pertanyaan menginterupsi fokusnya dari layar ponsel.
Wanita itu mendongak, mengalihkan tatapannya menuju dua security yang entah sejak kapan telah berdiri di dekatnya.
"Bapak ngomong sama saya?" Aruna balik bertanya, matanya berpatroli ke sekeliling lobi, memastikan bahwa pertanyaan tadi memang ditujukan untuknya.
Salah satu security tersebut—yang berkumis tebal—menyenggol rusuk temannya dengan lengan. Samar-samar, Aruna dapat mendengar dia berbisik, "Lo bilang dah sana."
"Bilang apa?" Raut Aruna berubah was-was. Dia tiba-tiba teringat, kalau tidak salah, dua security di hadapannya ini kan beberapa bulan lalu pernah 'menangkap' Sean, dan membuatnya harus mengakui cowok itu sebagai 'anaknya'. "Ini sebenernya ada apa sih, Pak? Mau bilang apa?"
"Anu, Mbak. Empat hari lalu apa ya? Kayaknya saya liat anak mbak dibawa sama mobil item. Saya kira diculik."
"Hah? Diculik?" Aruna mendelik selama beberapa detik, namun setelahnya wanita itu justru tertawa nyaring. "Nggak usah ngaco deh, Pak. Anak itu udah bangkotan, siapa yang mau nyulik?" sangkalnya, di sela tawa yang belum tuntas.
"Yeh. Serius, Mbak. Orang saya liat sendiri, anak mbak digiring masuk ke mobil sama dua orang, bajunya item-item gitu kayak tukang culik. Saya mau samperin, eh... keburu mobilnya jalan. Tapi syukur deh kalo anak mbak ternyata nggak apa-apa. Saya penasaran aja, abisnya semenjak itu, anak mbak nggak pernah keliatan lagi. Biasanya kan suka nongol tuh malem-malem."
Tawa Aruna lenyap seketika. Matanya menatap horor ke arah dua security di hadapannya secara bergantian. "Pak, serius nggak sih?!"
***
Kalau ingatannya masih dapat diandalkan, Sean yakin, ini hari keempat ia menemui pagi bukan di apartemen Aruna.
Tak ada lagi sarapan yang harus Sean siapkan untuk wanita itu, membuatnya malas bangkit dari kasur dan memilih untuk bergelung di sana sembari melamun, melewati satu hari lagi yang dia habiskan untuk tidak melakukan apa-apa.
Tok! Tok!
Namun, ketukan pada pintu kamar tiba-tiba menginterupsi kegiatan Sean. Lirikan malas sontak terlempar ke arah daun pintu, terlebih setelah menyadari siapa yang baru saja masuk melewati bidang tersebut.
"Gimana, Sean? Sudah baikan?" tanya Damar, sembari memangkas jaraknya dengan Sean.
Sean mendengus malas. Dia kembali menarik selimutnya hingga menutupi wajah dan memutar arah tidurnya, sengaja memunggungi Damar yang kini duduk di tepi ranjang.
Sean tidak datang ke rumah Damar dengan cara 'menyerahkan diri'. Hari itu, tepat setelah Aruna memintanya pergi, Damar kembali menghubunginya—untuk kali ke sekian. Lelaki yang Sean sapa dengan sebutan 'Om' itu memintanya bertemu, tentu saja untuk membicarakan masalah wasiat papanya yang masih menjadi 'sengketa'.
Selama ini, Sean tak pernah mengindahkan ajakan tersebut. Namun empat hari lalu, di saat semua persoalan rasanya berebut meminta atensinya, Sean mengiakan ajakan Damar, berniat untuk sekali lagi menegaskan bahwa ia menolak apa pun yang diberikan oleh sang papa melalui surat wasiatnya.
Sean meminta Damar untuk menemuinya di kafe dekat lobi apartemen Aruna. Sialnya, dua gelas kopi yang Sean tandaskan sembari menunggu kedatangan Damar justru memperburuk keadaan perutnya yang saat itu sedang bermasalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Auntie
RomantizmOpen Pre-Order | PART MASIH LENGKAP!! "Minta uang." Aruna nyaris tersedak saat mendengar permintaan Sean barusan. Anak ini... apa tidak pernah belajar yang namanya basa-basi? "Hah? Kamu pikir saya ini bapak moyang kamu apa? Seenaknya aja minta uang...