"Why did you let him stay in your apartment for so long? You can give him some money to rent a place, right?"
Barusan itu Bryan. Lelaki berdarah Inggris yang sudah bertahun-tahun tinggal di Indonesia itu lagi-lagi mengomentari 'hubungan' Aruna dengan Sean, seakan Aruna minta pertimbangan lelaki itu saja. Padahal kenyataannya kan tidak, justru lelaki itu yang tadi lebih dulu bertanya tentang Sean.
Aruna memilin ujung blazzer-nya, sesekali pandangannya teralih menuju floor indicator, berharap kotak lift yang saat ini ditumpanginya bersama Bryan segera mengantarnya menuju lantai apartemen yang ia tuju—kediamannya.
Semua berawal dari kepanikan Aruna beberapa minggu lalu. Hatinya yang tiba-tiba tak dapat terkontrol setiap kali berhadapan dengan bocah tengil bernama Sean itu membuat Aruna bertindak gegabah. Secara sadar, Aruna menghubungi Maura, meminta sahabatnya itu untuk menjadi perantara hubungannya dengan Bryan.
Alhasil, mau tidak mau Aruna harus mengikuti semua 'schedule' PDKT yang sudah Maura—si Mak Comblang, susun untuknya sebelum ia dan Bryan dapat menentukan, apakah hubungan mereka bisa berlanjut... atau tidak.
"Mungkin bisa aja." Aruna mengedik. Setengah hati menanggapi saran Bryan. "Tapi untuk sementara, biarin aja deh. Adanya Sean di sana juga nggak terlalu mengganggu buat aku."
"Tidak terlalu mengganggu untuk kamu, tapi lumayan mengganggu untuk saya."
Aruna refleks mengerutkan dahinya. Apa yang diucapkan Bryan barusan seharusnya mampu membuatnya tersanjung bukan? Itu tandanya, Bryan memang serius dengan perasaannya, dan tak suka jika ada lelaki lain yang berpotensi mengganggu hubungannya dengan Aruna.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Aruna tak suka dengan kalimat Bryan barusan. Belum apa-apa sudah posesif. Apa-apaan itu?
Detik-detik yang terlewat dalam kotak lift tersebut rasanya seperti berjam-jam untuk Aruna. Maka, setelah suara 'ting' terdengar, dan pintu lift terbuka setelahnya, wanita itu buru-buru keluar dan berjalan menuju koridor apartemennya.
Aruna bukannya tak menyadari, bahwa tepat di belakangnya, Bryan tengah berusaha untuk menyejajari langkahnya. Tetapi gadis itu berusaha abai dan sengaja mempercepat langkah.
"Did I say something wrong?" tanya Bryan.
Aruna berhenti tepat di depan pintu unitnya. Wanita itu menggeleng. Sebersit senyum palsu ia sunggingkan dengan terpaksa. "Enggak. Aku cuma pengin buru-buru ke WC. You know..."
"Ah. Okay. See you tomorrow then."
Bryan memutar arah dan berjalan menuju unit apartemennya. Sebelumnya, lelaki itu sempat melambai singkat. Aruna tentu saja membalas lambaian tersebut. Namun setelah Bryan tak lagi terlihat dalam jarak pandangnya, Aruna tanpa sadar justru mengembuskan napas lega.
"What's wrong with you, Aruna?" Wanita itu memijit pelipisnya. Bingung menghadapi dirinya sendiri yang tak jelas maunya apa.
"Dianter sama si bule itu lagi?"
Aruna refleks mundur beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Entah sejak kapan, pintu apartemennya telah terbuka dan Sean telah muncul dari balik bidang tersebut. "ASTAGA!! BISA NGGAK JANGAN NGAGETIN?!" jeritnya.
"Ssstt... jangan teriak-teriak, nanti kita diusir."
"Kamu yang aku usir!"
Sean tertawa kecil sembari menyandarkan tubuhnya pada ambang pintu. "Aku tanya dijawab dong, Kak Runa. Dianter sama bule itu lagi?"
Aruna mengangkat kepalanya untuk menatap Sean sekilas, kemudian mengangguk. Melihat anggukkan tersebut, Sean refleks berdecak, entah apa maksudnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Auntie
RomanceOpen Pre-Order | PART MASIH LENGKAP!! "Minta uang." Aruna nyaris tersedak saat mendengar permintaan Sean barusan. Anak ini... apa tidak pernah belajar yang namanya basa-basi? "Hah? Kamu pikir saya ini bapak moyang kamu apa? Seenaknya aja minta uang...