"Maaf, Om, tapi Sean nggak bisa terima itu. Om kasih aja bagian Sean buat Om Farid atau Mama Intan. Mau disimpen buat Sky nanti juga nggak apa-apa. Atau, terserahlah, mau dibagi tiga buat mereka juga aku nggak masalah."
Damar mengembuskan napas lelah dari sambungan teleponnya. Menghadapi Sean yang keras kepala memang tak pernah mudah.
Sejak berbulan-bulan lalu, Damar tak pernah berhenti mencoba menghubungi anak dari sahabat sekaligus kliennya itu. Namun Sean selalu menghindar dengan menolak atau mengabaikan panggilan teleponnya. Sialnya, setelah pada akhirnya ia berhasil mendapat respons dari anak itu, Damar justru terlibat dalam debat tak berujung sejak setengah jam yang lalu.
"Sean, wasiat papamu itu bukan hal yang perlu dinegosiasikan. Itu memang sudah hak kamu. Amanah untuk kamu." Damar sekali lagi berusaha meyakinkan.
"Kalau itu emang hakku, artinya aku bebas kan mau kasih bagian itu ke siapa pun?" tantangnya. "Opsi lain. Om Damar ambil aja bagianku. Aku sama sekali nggak minat. Apalagi kalo harus ribut-ribut sama Mama Intan dan Om Farid. Mungkin waktu itu Papa salah tulis nama, maksudnya bukan buat aku, tapi buat Sky. Coba Om Damar inget-inget lagi. Lagian aku juga nggak butuh-butuh amat."
"Bicaranya jangan pakai emosi dulu, Sean..."
"Siapa yang emosi?" Kontradiktif, nada suara Sean justru meninggi.
Lagi, embusan lelah itu kembali terdengar dari seberang sana. "Kalau kamu terus-terusan keras kepala, nggak akan ada habisnya. Papamu sudah nggak ada, mau sampai kapan kamu marah sama dia?"
Sean tak langsung menyahut. Ada hening panjang yang terselip di antara perdebatan keduanya. "Aku lagi nggak mau bahas itu." Jujur saja, cowok itu memang benci diingatkan tentang hal itu. "Udah dulu ya, Om. Aku masih banyak tugas kuliah."
Sean memutus sambungan teleponnya secara sepihak. Tak memedulikan Damar yang masih menyerukan namanya di seberang sana.
Cowok itu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa hijau. Ia merebahkan kepalanya di sana, matanya menatap langit-langit ruang tengah. Sean kelelahan. Seakan bicara dengan Damar tadi telah menghabiskan seluruh energi yang ia miliki.
"Jadi... Om Damar itu bukan sugar daddy kamu?"
Sean melirik sekilas ke arah Aruna yang tengah mengupas apel di meja counter. Tanpa perlu ditanya pun Sean tahu, wanita itu pasti sudah mendengar perdebatannya dengan Damar di telepon tadi.
"Om Damar itu kuasa hukum papaku. Kebetulan mereka juga temen akrab dari SMA."
Aruna mengangguk beberapa kali. "Then... soal warisan lagi?"
"Yeah. Emang apa lagi masalah hidupku kalau nggak jauh-jauh dari urusan duit?" Sean tertawa miris, membuat Aruna yang tengah mengiris apel menjadi potongan kecil pun ikut meringis.
"Aku jadi penasaran. Kenapa sih kamu segitu nggak maunya terima warisan dari papamu? Aku nggak tau ya kamu ada masalah apa sama keluargamu. Tapi biar gimana juga kan, kamu anaknya. Dan itu... emang hak kamu."
"Aku nggak mungkin nerima sesuatu yang nilainya sebesar itu, dari seseorang yang selama hampir separuh hidupku aku percaya kalau dia nggak pernah peduli sama aku."
Aruna menghentikan kegiatannya mengupas apel. Matanya menatap tak percaya ke arah Sean. Gadis itu mengesah sebelum kembali bersuara. "Selama ini kamu diurus sama beliau, kan? Dikasih makan, dikasih tempat tinggal, disekolahin. Nggak seharusnya kamu ngomong begitu. Kalau papamu nggak peduli sama kamu, udah dari bayi kamu dilarung di sungai bareng limbah pabrik.
"Kamu bukan anak kecil lagi, Sean. Emang kamu nggak bisa, berdamai sama masa lalu?" Tanpa dapat dikontrol, kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Aruna, membuat Sean lantas menghunjami wanita itu dengan tatapan tak percaya.
![](https://img.wattpad.com/cover/278672738-288-k91879.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Auntie
RomansaOpen Pre-Order | PART MASIH LENGKAP!! "Minta uang." Aruna nyaris tersedak saat mendengar permintaan Sean barusan. Anak ini... apa tidak pernah belajar yang namanya basa-basi? "Hah? Kamu pikir saya ini bapak moyang kamu apa? Seenaknya aja minta uang...