Crying Over You

19.3K 2.9K 38
                                    

Sean kembali ke apartemen Aruna dua hari setelah ia menghilang tanpa kabar, dengan lebam kebiruan yang berada tepat di tulang pipinya, dan lecet-lecet kecil yang melintang sepanjang siku hingga lengan kanannya.

"KAMU KE MANA AJ—MUKA KAMU KENAPA?" Aruna tak dapat menahan lengkingannya begitu mendapati Sean di foyer unit apartemennya dengan penampilan yang... super memprihatinkan.

"Jatoh."

"Hah? Jatoh dari mana?"

"Monas."

"Tampangku sekarang kayak orang yang lagi mood diajak bercanda ya?" Aruna melipat kedua tangannya di depan dada, tak mampu menyembunyikan kekesalannya.

Sean menggeleng dengan senyum tertahan. "Enggak. Tampang Kak Runa sekarang justru kayak ibu-ibu yang lagi panik gara-gara ngeliat anaknya abis nyemplung got."

Aruna memijit pangkal hidungnya yang tiba-tiba berdenyut usai mendengar jawaban Sean barusan. "Nggak usah muter-muter deh. Mending kamu ngaku. Kamu jatoh dari mana? Gimana bisa?" Aruna kembali mencecar. Demi Neptunus, dibanding meladeni ocehan Sean tentang analogi 'ibu-ibu panik'-nya itu, ia lebih berminat untuk mengetahui alasan di balik luka-luka yang cowok itu jadikan 'oleh-oleh' pasca dua hari tak pulang.

"Ya bisalah. Selama di bumi masih ada gravitasi, kemungkinan manusia buat nyium aspal itu selalu ada."

"Sean!"

"Apa sih? Cuma luka begini doang kok, nggak sakit, keliatannya aja yang nyeremin."

"Bohong!"

"Terserah deh, mau aku ngomong apa juga Kak Runa nggak bakal percaya, kan?"

Aruna menelan salivanya susah payah, matanya masih belum teralih dari lelaki di hadapannya. Tanpa ia sadari, tangannya refleks terulur ke jejak-jejak kebiruan yang tertinggal di wajah Sean. Namun, sebelum Aruna sempat menyentuh wajah cowok itu, sang pemilik wajah telah lebih dulu menangkap tangan Aruna.

Aruna menarik tangannya dari genggaman Sean. Seperti tersadar dari hipnotis panjang, ia lantas merutuki kebodohan yang nyaris—atau hitungannya telah?—ia lakukan.

"Aku masih boleh masuk nggak?" tanya Sean, memecah hening di antara keduanya.

Tak lagi bersuara, Aruna memutar tubuhnya dan masuk ke dalam apartemen dengan langkah menghentak, diikuti Sean yang mengekor tepat di belakangnya.

"Kenapa kamu nggak bales chat aku?" Aruna bertanya dari arah dapur. Volume suaranya sengaja diperbesar, berusaha menjangkau pendengaran Sean yang kini tengah merebahkan tubuhnya di atas sofa hijau, di ruang tengah.

"Nggak ada kuota," sahut Sean. "Kak Runa belum lupa kan kalo aku ini miskin?"

Aruna melongokkan kepalanya dari balik lemari pendingin. "Bohong! Centangnya dua kok. Artinya chat aku masuk, kan?"

"Masuk sih, tapi pas aku mau bales, kuota internetku abis. Mau ngabarin lewat SMS atau telepon juga nggak bisa. Jangankan kuota, pulsa aja aku nggak punya."

"Alesan. Kemarin sama hari ini kamu kuliah kan? Emang nggak bisa pake wifi kampus buat bales chat-ku? Terus kenapa kamu baru pulang? Dua malem kemarin kamu tidur di mana?"

Sean tak langsung menjawab. Cowok itu bangkit dari rebahnya, bola matanya mengekori setiap langkah Aruna yang masih sibuk mencari sesuatu di area dapur.

"Aku tau Kak Runa kangen berat sama aku. Tapi tanyanya pelan-pelan dong, satu-satu. Kasih aku napas kek. I need some air."

Aruna memangkas jaraknya dengan Sean. Wanita itu meletakkan—atau lebih tepatnya membanting—baskom berisi es batu dan dua buah handuk ke atas coffee table. "Jangan pernah balik ke sini dengan muka kayak gitu lagi! Apalagi setelah dua hari nggak ada kabar! Sekarang kamu tau kan harus apa?!" bentaknya dengan suara bergetar.

Sugar AuntieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang