Dewi membuka pelan pintu kamar putrinya, masuk, kemudian menemukan putri semata wayangnya yang tengah duduk memeluk lutut di sudut kamar. Sesekali Dewi memberesi barang barang yang dilempar oleh putrinya kelantai.
"Makan yuk, Na," ajak Dewi tanpa mendekat ke arah putrinya, Inara.
Inara yang menjadi lawan bicara hanya menggeleng dengan rambut berantakan seperti orang gila, gadis itu masih sama seperti beberapa jam yang lalu, yaitu memeluk lututnya dengan erat.
"Boleh Mama peluk kamu?" tanya Dewi dengan hati berdenyut ngilu melihat penampilan putrinya kali ini.
"Jangan, Ma." Inara menjawab cepat, matanya menatap Dewi was was.
"Kenapa lagi, sayang? Ini Mama," ucap Dewi pilu. Dewi mendekat ke arah Inara yang sedang duduk memeluk lututnya di sudut kamar.
"Mama, jangan mendekat! Inara nggak mau Mama terluka! Inara nggak mau Mama..." tangis Inara yang tak kalah pilunya. Lukanya dua tahun lalu yang belum kering benar benar seperti dikeruk pakai sendok berkarat, yang membuat pemilik luka itu meringis kesakitan.
Tangis Dewi pecah mendengar jawaban putrinya, mau sampai kapan Inara seperti ini, terus menerus menyalahkan dirinya, padahal semua ini bersih bukan kesalahan Inara. Tanpa ragu dan tanpa persetujuan Inara, Dewi mendekat kembali kearah Inara, dan merengkuh tubuh putrinya yang terlihat ringkih itu.
"jangan Mama...Inara bilang jangan mendekat, kenapa malah peluk?!" Inara memberontak saat Dewi peluk, namun Dewi cukup erat, sehingga Inara yang belum makan selama tiga hari ini tidak kuasa melawan Dewi.
"Inara mau Mama bersikap seperti yang lalu lalu saja, yang selalu acuh sama Inara. Sehingga Mama tidak perlu waspada untuk mati karena Inara, seperti Ayah." Tangis Inara semakin menjadi saat Dewi memeluk semakin dalam.
"Maaf..." tangis Dewi.
"Maafin Mama, untuk yang lalu lalu. Mama sedang stress, Na. waktu itu."
Kedua wanita itu menangis sesenggukan, bergelut dengan perasaan mereka masing masing, yang sungguh menguras energy mereka.
"Ma, Inara takut. Dia kembali, dia pasti bakal melucuti Inara seperti waktu itu," ucap Inara ketakutan. Yang semula Inara ogah ogahan untuk dipeluk Dewi, kini Inara malah memeluk bahkan mencengkram lengan Dewi erat.
"Sssttt, sudah. Ada Mama disini, kamu jangan takut. Mama janji nggak akan jauh jauh ataupun cuek lagi sama kamu, Na." Dewi masih memeluk Inara erat. Membantunya untuk berdiri, kemudian membantu untuk merebahkan tubuh Inara di kasur.
Dewi memberi selimut kepada Inara setelah sekiranya gadis itu tenang, Dewi menarik selimut itu sampai ke bawah dagu.
"Tadi ada tamu?" tanya Inara tiba tiba.
Dewi menghembuskan nafas lega. Inara sudah mulai membicarakan topic yang lain, selain ketakutan, rasa bersalah, dan keinginan untuk mati. Itu tandanya Inara sudah lumayan tenang, dan ada usaha dari dirinya untuk melupakan itu.
"Iya, itu teman dekat kamu?"tanya Dewi seraya mengelus surai Inara lembut. Lama sekali dia tidak mengelus atau menorehkan kasih sayang untuk putrinya yang malang ini.
"Tapi temen Inara nggak ada yang tahu rumah ini, Ma," balas Inara.
"kamu yakin? Coba kamu ingat ingat lagi. Siapa tahu kamu udah memberi tahu teman kamu, walaupun hanya satu orang?"
Inara terlihat berfikir, menerka nerka siapa yang sudah menjadi orang tersial yang tahu alamat rumah Inara. Mengapa tersial? Itu karena orang itu pasti akan tahu rahasia terbesar Inara yang memusingkan yang membuat orang itu repot pada akhirnya.
"Abi?" tanya Inara seraya menatap Dewi yang masih betah mengelus kepala Inara.
Dewi yang mendengar nama Abi pun mengangguk tersenyum, Dewi lega karena dia pikir putrinya tidak akan mau berteman dan percaya dengan siapapun setelah insiden menyakitkan dua tahun yang lalu.
"Dia baik Ma, mungkin Inara harus menjauhinya mulai dari sekarang," ucap Inara. Mengubah posisi baringnya menjadi miring dan bukan terlentang.
"Kenapa begitu? Abi kan baik, kamupun mengakui itu kan?"
Inara menghembus nafas berat," justru karena dia terlalu baik Ma, Inara nggak mau dia terluka karena Inara."
Dewi beranjak dari bibir ranjang, menatap putrinya sekali lagi lalu berkata," itu urusan kalian, tapi Mama minta, jangan kamu sia siakan teman seperti Abi, mungkin saja dia bisa menjadi tempat pulang kamu, dan penyembuh untuk luka kamu yang menganga itu."
Dewi berlalu begitu saja setelah mencium kening Inara, rasanya aneh karena sudah bertahun tahun Dewi tidak melakukan itu.
***
Dewi yang sedang menyiapkan sarapan di atas meja terkejut dengan pemandangan pagi ini. Inara dengan seragam sekolahnya sudah rapih bersama ransel orangenya.
"kamu yakin mau sekolah? Apa sudah membaik?" tanya Dewi. Menarik kursi hingga menimbulkan decitan. Mengoleskan selai kacang di atas roti gandum kesukaan Inara waktu kecil.
"Iya Ma, Inara takut teman Inara di sekolah malah kepo untuk mencari alamat rumah kita, karena Inara nggak masuk berhari hari tanpa kabar," jawab Inara seraya menerima Roti gandum berselai kacang pemberian Dewi. Agak canggung memang, namun Inara suka.
"Kamu punya teman selain Abi, yang kemarin kesini itu?" tanya Dewi antusias, kapan lagi dia tahu tentang kehidupan putrinya di sekolah kalau bukan dari sekarang. Beberapa tahun yang lalu Dewi mengidap stress sehingga dengan bodohnya mengabaikan Putri semata wayangnya.
"Enggak kok, teman Inara cuma Abi. Dia satu satunya," balas Inara. Mengunyah Roti gandumnya tanpa melirik Dewi.
Dewi tersenyum simpul mendengar kata satu satunya yang keluar dari mulut putrinya. Namun Dewi juga khawatir karena selama ini Inara hanya berteman dan percaya hanya dengan satu orang.
"lalu yang kamu bilang, teman teman itu siapa?" tanya Dewi.
Inara menghentikan kunyahannya yang khikmad,kemudian berkata," mereka Cuma teman sekelas Inara yang terus menempel ke Inara kemanapun Inara beraktifitas di sekolah."
"Jangan begitu, Na. Kalau ternyata mereka tulus untuk menjadi temanmu gimana, kasihan kalau ketulusan mereka hanya sepihak," nasehat Dewi, disini Dewi mengerti mengapa Inara hanya percaya kepada satu orang saja yaitu Abi. Itu karena Inara trauma untuk menaruh percaya kepada orang lain, Inara takut kejadian yang sama terulang. Yaitu hidupnya dirusak oleh orang yang paling dia percaya.
Inara yang mendengar itu hanya diam, entah apa yang sedang dia fikirkan sekarang.
" Antar jemput Inara, Ma. Inara belum siap naik motor."
![](https://img.wattpad.com/cover/263437773-288-k290691.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ABINARA [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[CERITA SUDAH TERBIT, DAN NOVEL BISA DI PESAN DI SHOPEE, BUKA LAPAK, LAZADA, DAN AKUN RESMI GUEPEDIA YAAA :)] [Cerita ini BELUM DIREVISI, silahkan yang mau cerita lengkap dengan ekstra part bisa langsung beli versi cetaknya yaaa] ⚠️Jika kalian mengi...