[ABINARA 13]

204 29 0
                                    

Komplek perumahan terlihat sepi, mengingat malam yang semakin larut, satpam yang jaga di pos pun terlihat mulai terkantuk kantuk dan lalai akan tugasnya.

Inara, membuka pintu rumah dengan lunglai. Inara diantar pulang oleh Abi malam ini, sementara motornya menginap di rumah Egi dulu, karena Abi ngotot Inara tidak boleh pulang dengan berkendara motor malam malam. Tubuh Inara sangat capek, fikirannyapun masih berkecamuk, namun...hatinya sedikit lega, entahlah, apakah karena ucapan Abi yang menenangkan di taman barusan atau yang lain, Inara tidak tahu.

"Kenapa baru pulang?" tanya seorang wanita di bawah remangnya lampu ruang tamu yang dipadamkan salah satunya.
Inara berjengit, terkejut karena dia kira itu adalah makhluk halus yang Maman___anak kecil sebelah rumah, yang selalu bercerita tentang sosok perempuan pengganggu rumahnya.

"Inara ada urusan, maaf baru bilang," balas Inara sedikit malas. Bagaimana tidak malas, jika yang di hadapannya sekarang adalah Dewi.

Dewi menyugar rambutnya kebelakang, frustasi. " Penting banget urusanmu, sampai buat Mama malu di depan keluarga Tino?!" bentak Dewi, yang membuat Inara tidak terkejut sama sekali.

"Mama, Om Tino itu 37 tahun, dan dia uda punya anak dua Ma." Inara berkata dengan mata berkaca kaca, pundaknya meluruh.

"Ya, terus kenapa. Nggak masalah, selagi bisnis dia lancar, kamu bakal makmur dan bahagia sama dia, kamu nggak bakal miskin kayak Mama," jelas Dewi seraya memegang kedua pundak Inara.

Inara tertawa miris," Jadi seperti itu ya, definisi bahagia menurut Mama? Mama nggak tau kan, apa yang bisa buat Nana bahagia?" Hampir saja air mata Inara terjatuh saat menyebut nama panggilannya sejak kecil, yang biasa almarhum Ayah, Dewi, dan orang itu sebut___Nana. Ya, dulu panggilan Inara adalah Nana.

"Kamu nggak tau! Mama seperti ini juga buat kamu, kalo kamu nikah sama Tino, kamu nggak akan miskin kayak Mama, nak." Lagi lagi Dewi ngotot ingin menjodohkan Inara dengan Tino.

"Mama miskin tuh karena cari rezekinya nggak halal, tau nggak?!" Pertama kalinya, seumur hidup, Inara membentak Dewi. Inara capek, Inara ingin istirahat, namun dipaksa untuk terus berjuang.

"Kurang ajar!" Dewi hendak melayangkan tamparan kepada Inara, namun urung setelah melihat wajah Inara yang seolah menantang, dengan mata penuh amarah juga sendu itu.

"Apa Ma? mau tampar? tampar Ma! tampar! Nana pantas ditampar, karena Nana yang buat Ayah meninggal, sampai Mama seperti ini, iyakan Ma?!" teriak Inara penuh amarah. Inara berharap, Dewi menunggunya pulang katena khawatir, namun Inara salah. Dewi menunggu Inara pulang karena ingin membahas Tino, dan memarahi Inara karena tidak hadir disaat keluarga Tino datang.

Dewi menarik tangannya kembali, tidak jadi menampar Inara. Dewi berlalu begitu saja meninggalkan Inara yang berdiri mematung dengan membawa hati yang lebam.

***
Inara sudah rapih dengan piyama dinosaurusnya, setelah berdebat dengan Dewi, Inara harus membuat adonan untuk pesanan kuenya. Selelah apapun tubuh Inara, Inara tidak boleh melewatkan untuk membuat pesanan pelanggan. Sudah bersyukur jika banyak pelanggan yang memesan, jika Inara bermalas malasan maka pelanggan pasti kabur dan enggan kembali.

Inara menatap sekeliling tembok kamarnya yang berisi poster poster New Hope Club, grub band asal inggris yang selalu membuat Inara bersemangat dibalik lelahnya.

Inara tersenyum saat pandangannya berhenti pada salah satu mamber New Hope Club bernama Reece, bagaimana bisa pria itu sangat tampan dengan suara emasnya yang setiap hari Inara dengarkan.

Alih alih poster New Hope Club, kini pandangan Inara terhenti di sebuah foto berbingkai dengan ukuran 5R, ada sosok pria tengah tersenyum di dalam foto berbingkai itu.

Tanpa rasa enggan, Inara mengambil foto itu, menatapnya, kemudian berkata, " Nana nggak tau Yah, harus bagaimana lagi menghadapi hidup Nana yang...tanpa Ayah," ucapnya.

"Mama tidak seperti dulu. Dulu Mama mengurus Nana, sekarang Nana yang ngurusin Mama. Padahal Nana masih sekolah kan, Yah. Mungkin ini balasan buat Nana, karena Nana udah buat Ayah meninggal." Inara berucap dengan mulut bergetar, kembali teringat masa masa paling bahagianya bersama Ayahnya dan Dewi. Walaupun Inara tahu, Ayahnya adalah Ayah sambung, bukan Ayah kandungnya, tapi dengan kasih sayang yang Ayahnya berikan dulu, itu semua lebih dari cukup untuk Inara mengenal figur seorang Ayah yang baik.

Sampai sekarang, Inara tidak tahu siapa Ayah kandungnya. Dewi bilang, dulu Dewi ditemukan pingsan di sebuah karaoke, dan pulang pulang berbadan dua. Dewi tidak tahu siapa yang menanam benih itu. Mau tes DNA pun susah, karena Dewi sama sekali tidak tahu siapa orangnya.

Miris, mengingat cerita Dewi waktu itu membuat dada Inara sesak, sekali lagi Inara bertanya, apakah dirinya layak dilahirkan.
Inara ingin menangis, namun rasanya...air matanya sangat berharga hanya untuk menangisi hidupnya yang nelangsa.

Namun, Inara teringat ucapan seseorang, "Menangis itu bukan kesalahan Na, meski tidak menyelesaikan."

Kembali, Inara Purnamasari menangis sesenggukan di malam hari sebelum tidur.

***
Paginya, Inara beraktifitas seperti biasanya. Bangun pagi, mengecek orderan kue, bersih bersih, lalu sarapan dalam keheningan bersama Dewi.

"Semalam ada urusan apa?" tanya Dewi membuka pembicaran di pagi yang hening ini.

" Bukan urusan Mama," balas Inara seraya menyuapkan sesendok nasi goreng sosis ke mulutnya.

"Mama tau, itu urusan kamu. Tapi Mama ingin tahu, kamu pergi sama siapa selarut itu?" tanya kembali Dewi, dengan mulut penuh nasi goreng sosis buatan Inara.

"Kenapa? Mama mau nasehatin Inara supaya Inara nggak keluar Malam malam? sedangkan Mama pernah melepas Inara bersama Om om di malam hari." Kalah telak. Itulah posisi Dewi sekarang, kali ini dia tidak bisa menang.

" Sama pacar kamu ya?"

Inara berhenti dari aktifitas menyendoknya. Aneh, Dewi tidak pernah penasaran dengan kehidupan Inara.

"Sejak kapan Mama penasaran dengan kehidupan Inara?" tanya Inara dengan hati berdebar.

"Em...yah, bukan apa apa. Kalo itu pacar kamu, Mama mau minta kalian putus. Kamu harus sama Tino," balas Dewi seraya menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga dengan canggung.

BRAK

Inara bangkit dari duduknya, sarapannya masih setengah, namun Inara terlalu mual untuk membahas masalah ini.

"E'ek Pus, Ma." Inara menyambar ransel orangenya.

"E'ek Pus itu apa?" tanya Dewi kebingungan.

"Tai kucing Ma, pembicaraan pagi ini kayak Tai kucing, bau." Inara meninggalkan Dewi yang masih terpaku.

"Inara berangkat! Assalamualaikum."

"Tai kucing....bisa bisanya tuh anak! Inara!"
Dewi terlambat, hanya ada suara motor seseorang yang meninggalkan pekarangan rumahnya.

Tunggu, Dewi seperti melihat kejanggalan. Dewi tidak melihat motor Inara, dan barusan Dewi melihat Inara berboncengan dengan seseorang.

🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤

Terimakasih sudah membaca :)
Kalian jangan ikut ikutan Inara, bicara kotor sama orang tua ya guys. Itu gaboleh... :D

Jangan lupa vote dan komen 🖤
Aku sayang kalian🖤

ABINARA [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang