"Kamar nomor 215, Kak. Lagi tidur, sejam lalu minum obat."
Sera membuka matanya perlahan. Saat penglihatan sudah bagus, ia mendapati sang ayah berdiri di dekat pintu, dengan ponsel tertempel di telinga. Gadis itu tersenyum saat mereka bertukar pandang.
"Maaf." Itu kata pertama yang Sera suarakan. Ia segera dibawa sang ayah ke dalam pelukan. Menenangkan dan menyedihkan, seperti biasa.
"Kakak datang sebentar lagi. Ada yang sakit?" Riandi meneliti wajah putri bungsunya. Memeriksa lengan gadis itu juga.
Sera jatuh di tangga beberapa jam lalu. Karena demamnya yang tinggi, gadis itu kehilangan kesadaran sore tadi.
"Maafin papa, ya, Nak?" Riandi merasa bersalah. Harusnya ia memaksa Sera langsung ke rumah sakit tadi. Bukannya menuruti kemauan gadis itu untuk mengonsumsi obat demam yang ada di rumah saja.
"Aku yang salah juga." Sera memajukan bibir bawah. Ia yang keras kepala karena merasa tak perlu ke dokter. Niatnya tak ingin Riandi repot, hasilnya malah membuat si ayah makin susah. Dirawat di rumah sakit pula. Buang-buang uang.
"Nanti uangnya aku ganti, ya, Pa. Kalau udah kerja."
Raut cemas Riandi berubah menjadi ekspresi kecewa. Laki-laki itu menegakkan punggung, menatap putrinya nanar.
"Papa nggak becus, ya, ngurus kamu?"
Sera menggeleng. "Papa baik. Sangat."
Riandi menggeleng. "Nggak. Papa pasti sudah salah sama kamu selama ini. Sampai-sampai kamu mikir kayak tadi. Ganti uang papa? Untuk apa?"
"Biaya rumah sakit ini pasti mahal, Pa. Aku tahu uang Papa banyak, tapi dipakai untuk biayain aku sakit kayaknya jadi sia-sia. Ada yang lebih pen-"
"Udah. Udah, Ser. Papa nggak kuat." Riandi menggeleng sedih. Pria itu tertunduk. Habis kata, tak habis pikir.
Pintu ruangan di sana terbuka, seorang laki-laki dewasa masuk. Namanya Julian Putra. Sulungnya Riandi.
Laki-laki dengan kemeja hitam itu langsung memeluk gadis di ranjang rawat. "Badannya masih hangat, Pa."
Riandi mengangguk lesu. "Kata dokter itu udah lumayan."
Julian menangkap air muka sedih ayahnya. "Kenapa? Papa kenapa?"
"Adik kamu ini. Dia bilang mau ganti biaya yang papa keluarkan untuk bayar rumah sakit dia hari ini." Usai mengatakan itu, si ayah memutuskan keluar dari kamar sejenak. Ia butuh menata hati dan emosi.
Selepas ayah mereka pergi, Julian menatap pada Sera sepenuhnya. Laki-laki itu menghela napas, kembali merangkul si adik.
Julian bingung harus mengatakan apa lagi. Ini bukan pertama kalinya Sera bersikap seperti ini. Memperlakukan Julian dan ayahnya seperti orang asing. Padahal, sudah tujuh tahun berlalu.
Sera selalu menyangsikan perhatian dan kasih sayang Riandi dan Julian. Menganggap itu tidak tulus, harus dibayar, beban, padahal tidak demikian.
Walau tidak sedarah, Julian menyayangi Sera. Begitu juga Riandi. Namun, entah mengapa, Sera selalu tak mau mengerti, hingga sekarang.
"Itu jahat, Dek. Yang kamu bilang ke Papa itu jahat." Julian buka suara. Ia memberi jarak antara mereka agar bisa saling melihat.
"Iya. Aku tahu, Kak. Aku memang selalu aja nyusahin dan melakukan hal jahat."
Si kakak menggeleng. "Bukan itu. Ucapan kamu yang bilang mau ganti uang Papa. Itu jahat. Kakak aja sakit hati dengarnya."
Dahi Sera berkerut. Di mana letak kejahatannya? Ia hanya berusaha bersikap tahu diri. Membayar kembali apa yang sudah diterima.
KAMU SEDANG MEMBACA
First (Touch Your Heart)
Teen FictionSera Riandi. Remaja yang hobi mencatat semua uang yang papanya keluarkan untuknya. Dicatat sebagai utang, nanti setelah bekerja akan dilunasi dengan cara mencicil. Takut memberi kepercayaan pada orang lain, Sera juga merasa tak pantas menerima semu...