Arkala menatapi figur wajah Sera dari samping. Gadis itu tengah menulis sekarang. Di kelas Arkala, XI IPS 1.
Rabu, pertemuan pertama mereka. Sebagai permulaan, Arkala meminta Sera membuat daftar materi yang tidak dipahami. Nanti, Arkala akan berangkat dari sana untuk menentukan apa-apa saja yang perlu ia ajarkan.
Arkala dan Sera sebenarnya tak berdua saja di kelas itu. Masih ada siswa lain, tetapi tengah berada di lapangan, mengikuti berbagai ekskul yang memang dilaksanakan hari Rabu.
"Jangan dilihatin, dong. Gue maunya biasa aja, tapi nggak bisa." Sera berucap masih sambil fokus ke lembaran folio yang tadi Arkala berikan.
Gadis itu tahu jika sejak tadi dirinya dipandangi. Ingin tak terusik, tetapi tak bisa. Tatapan Arkala tajam sekali. Sera merasa tak nyaman.
"Kenapa?" Arkala menaruh dua lengan di meja. Menghadap sepenuhnya pada Sera.
"Mata lo kayak baca isi otak gue. Ketahuan bodoh gue. Gini-gini, masih punya malu tahu." Ia menatap prihatin pada daftar yang dibuat. Panjang, mencerminkan sebanyak apa yang Sera tak pahami selama enam bulan lebih belakangan. "Kasihan banget, sih, Papa punya anak kayak gue?"
Tidak disahut, gadis itu menoleh. Memandang wajah Arkala sebentar, lalu beralih ke jari tangan kanan si pemuda.
"Lo sakit kuning?" Tunjuknya ke sana.
"Sakit kuning nggak gini. Mata gue juga harus kuning." Melihat Sera akan memajukan wajah seperti yang terjadi di dekat mading kemarin, Arkala buru-buru menaruh telunjuk di dahi si gadis. "Ini kunyit."
"Lo makan kunyit?" Sera mengambil jemari itu. Menatapinya lamat-lamat.
"Marut kunyit untuk bumbu masak. Gitu doang nggak tahu!" Arkala mengambil jemarinya dari pegangan Sera. Gadis itu benar-benar tidak biasa agaknya. Mudah sekali melakukan hal-hal aneh.
"Lo masak? Bisa? Ah, masa?!"
Dahi si pemuda berlipat. Tak senang. "Ngapain gue harus bikin lo percaya?"
Selanjutnya, tanpa diminta, Sera bercerita. Soal dirinya yang kerap diledek Julian karena sama sekali tak akrab dengan peralatan dapur apalagi kegiatan memasak. Panjang lebar perempuan berkulit putih itu menjelaskan, rasanya seperti membongkar aib sendiri.
"Pernah. Masak air. Gue nanya ke Kakak gue. Dia suruh rasain pakai tangan. Gue lakuin, malah dimarahin. Katanya, dodol gue ini udah di tahap menyeramkan."
Arkala geleng-geleng kepala. "Lagian, disuruh masukin tangan ke air mendidih nurut. Kakak lo bener. Lo dodol."
"Ya, gue kira itu memang cara yang sering dipakai untuk meriksa air udah mateng apa belum." Sera mengangkat bahu tak acuh. Ia menatapi wajah Arkala lagi. "Serius. Lo masak apa pakai kunyit gini?"
"Sayur sawi putih." Ia menunjuk kertas folio di meja. "Ini, selesaikan dulu."
Sera mengangguk, kemudian kembali memegang pulpen. Menuliskan beberapa poin lagi, lalu memberikannya pada Arkala.
Sekarang giliran Arkala yang meneliti isi kertas. gantian, Sera yang memandangi wajah pemuda itu dari samping.
"Tahi lalat di dekat alis lo itu asli?" Arkala buka suara. Tidak menatap Sera.
Si gadis mengarahkan telunjuk ke dekat pelipis. Meraba posisi tanda yang Arkala katakan tadi. Ia membuat usapan di sana. "Kehapus nggak? Kalau nggak, berarti asli."
Tidak menengok ke si gadis, Arkala menyungging senyum.
"Itu, mata lo. Asli?" Sekarang Sera yang bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
First (Touch Your Heart)
Teen FictionSera Riandi. Remaja yang hobi mencatat semua uang yang papanya keluarkan untuknya. Dicatat sebagai utang, nanti setelah bekerja akan dilunasi dengan cara mencicil. Takut memberi kepercayaan pada orang lain, Sera juga merasa tak pantas menerima semu...