20 | Sayang

798 49 1
                                    

Sera menatap bingung pada Tiara yang mengusapi mata. Temannya itu benar-benar mengeluarkan air dari matanya. Sera kira itu tidak serius tadi.

"Kenapa lo nangis, Tiara?" Tangan Sera ikut menghapus jejak basah di pipi temannya.

Tiara, Andre, Budi dan Arkala datang menjenguk siang ini, sepulang sekolah. Tiga lainnnya diajak Arkala yang masih enggan Sera tatap wajahnya.

"Lo udah ngeluh sakit perut dari dua hari lalu." Tiara terisak. "Bukannya maksa lo ke dokter, gue malah percaya aja pas lo bilang sakitnya bisa hilang sendiri."

Isakan pelan Tiara menarik atensi dari semua penghuni ruangan. Julian bahkan menyorot serius ke sana.

"Terus? Apa hubungannya itu sama lo nangis?"

Memajukan bibir, Tiara menatap temannya kesal. "Gue merasa bersalah, dodol. Harusnya lo bisa lebih cepat ditangani. Kalau misal usus buntu lo beneran pecah, gimana?"

Sera menggeleng tak paham. Ia mengalihkan tatap hingga saling berpandangan dengan sang kakak. Julian tampak mengangguk pelan.

"Dodol dia itu memang, Ti." Pria dewasa di sana angkat suara. "Nggak paham sama orang yang sayang sama dia."

Tiara mengamini itu dengan anggukkan juga.

"Ya udah. Yang penting Sera udah dioperasi. Kapan bisa pulang?" Budi berusaha menenangkan Tiara.

"Kemarin udah lepas benang jahitan. Mungkin be--"

"Lusa," sela sang kakak tanpa menatap. Pria itu kembali fokus pada laptop di pangkuan.

Sera tak bisa membantah. Ia baru saja dimaafkan Julian dan Radian. Membuat masalah baru bukan pilihan menguntungkan atau Julian akan benar-benar melakukan ancaman kemarin. Pensiun jadi kakaknya.

"Tadi kayaknya Arkala bawa sesuatu buat lo, Ser." Andre melirik pada Arkala yang sejak tadi duduk di sofa bersama Julian. Yang ia perhatikan, Sera dan Arkala tak berinteraksi apa-apa sejak tadi.

Hal yang sama disadari Tiara dan Budi. Mereka sudah mendengar cerita dari Arkala, bahwa ia nekat menghubungi kakak dan ayahnya Sera, saat si gadis tak setuju.

Orang yang namanya disebut menegang sesaat, lalu sebisa mungkin mengatur mimik. Melirik sekilas pada Julian yang tengah tersenyum, ia meraih tas di samping.

Arkala mengeluarkan sebuah kotak bekal dari tasnya. Itu dari Winda, diberikan sang ibu karena Arkala memberitahu bahwa Sera dirawat di rumah sakit. Tak langsung memberikannya pada Sera, pemuda itu bertanya dari tempat. "Sera ada pantangan makan, Bang?"

Julian menggeleng. "Udah enggak."

"Ibu titip telur puyuh, cuma direbus. Ada sebelas biji. Lo mau, Ser?"

Andre, Budi dan Tiara serempak berdecak.

"Sok marahan. Aku juga mau telur puyuhnya, Mas."

Tiara mengangguk. "Gemesin parah."

"Kalau nggak marah, artinya nggak ada perasaan apa-apa." Budi bicara dengan ekspresi sok bijak.

Arkala menoleh ke ranjang pasien. Alisnya mengait, terlihat tak sabar menunggu pertanyaan tadi dijawab.

"Harusnya, sebelum lo nelepon Kak Julian dan Papa kemarin, lo nanya dulu, kayak gini." Jelas ada rasa kesal di cara Sera berucap. Walau ekspresinya biasa saja.

"Gue nggak nyesal. Itu keputusan paling waras yang bisa orang normal lakuin." Arkala balas menatap tajam.

"Salah lo berteman sama gue kalau gitu. Gue bukan orang waras dan bukan orang normal."

"Terus? Lo maunya apa sekarang? Kita udahan?" Arkala berdiri, menghadap pada Sera dengan dagu terangkat. Satu tangannya bertengger di pinggang.

Sera mengerutkan kening, tatapannya semakin runcing.

"Udahan? Kita udahan jadi teman?"

"Oh, jadi mau lo itu? Yang salah siapa yang ngegas siapa!" Sera meremas selimut di lututnya. Berengsek sekali Arkala itu. Mudah sekali mengakhiri pertemanan mereka yang masih seumur jagung. Bukannya minta maaf, malah bersikap congkak begini.

"Gue nanya lo! Lo mau udahan? Kita berhenti jadi teman?"

"Lo sendiri? Lo mau kita pisah? Lo nggak mau lagi dengerin gue cerita sama nyanyi buat gue?"

Dua remaja yang sama-sama terlihat berapi-api itu saling bertatapan. Sengit, seolah akan segera mengayunkan pedang.

Mereka berdua merasa tegang, empat lainnnya malah mesem-mesem. Terlebih Julian. Pria itu senang sekali melihat adiknya yang biasanya pasif, malah terlihat siap menyerang begini.

"Arkala!" Sera yang tadinya bersandar, menegakkan punggung. Ia melempar tatapan menuntut pada sang teman.

Mata Sera yang melotot membuat Arkala mengulum senyum. Gadis itu aneh. Saat marah begini, malah terlihat manis.

"Arkala." Kali ini Sera menurunkan nada. Arkala yang masih saja bungkam membuatnya gelisah.

"Gue, sih, nggak mau. Makhluk kayak lo langka. Sayang kalau nggak dijadikan teman."

Budi membuat batuk. "Sayang, uhuk, sayang."

Arkala melirik marah pada teman sekelasnya, lalu kembali menatap Sera. "Tapi, kalau lo masih marah ka--"

"Marah bukan berarti mau udahan jadi teman lo! Lo aja yang pikirannya cetek." Tangan gadis itu terulur ke depan. "Siniin telur puyuhnya."

Arkala melepas senyum di bibir. Cowok itu melangkah ke arah ranjang. Memberikan yang Sera minta, lalu berdiri di samping cewek itu. Sebenarnya gemas ingin memegang dan menggoyang-goyangkan kepala Sera. Namun, ada Julian di sana. Ia takut dilaporkan ke polisi.

"Sebelas, bagi lima." Sera memberikan masing-masing dua telur pada Andre, Budi dan Tiara. "Aku dua, Kak Julian dua. Lo sisanya." Ia mengembalikan kotak bekal sisa satu telur pada Arkala.

Melihat Sera mampu menghabiskan dua telur kecilnya dengan cepat, Arkala memberikan bagiannya pada cewek itu.

"Gue tetap nggak mau minta maaf. Yang kemarin itu, yang paling tepat yang harus gue lakuin sebagai teman lo."

"Aku setuju." Julian yang masih di sofa menyahut. "Itu bikin aku makin percaya sama Arkala. Dia bisa diandalkan."

"Gue juga." Tiara angkat tangan.

"Gue juga." Andre ikut-ikutan.

Semua mata mengarah padanya, Budi mengerjap pelan. "Sebenarnya, itu bukan urusan gue. Jadi, gue netral aja."

"Nggak guna, puyuh!" Arkala mencebik.

"Puyuh? Lo itu puyuh, Bud?" Sera menoleh pada Budi, ia tersenyum kecil. "Berarti, yang kita makan tadi, telurnya Budi."

Hening, hening. Julian menahan tawa.

"Anaknya Budi punah sebelum netas. Lo nggak jadi mengeram, Bud. Nggak kebayang gue, kalau lo beneran jadi induknya telur-telur tadi." Sera memiringkan kepala, berusaha membuat gambaran.

"Nanti kalau Lo udah boleh pulang, gue praktekin jadi induk puyuh," sahut Budi yakin.

Andre, Tiara dan Arkala hanya mampu menggeleng. Semakin dekat, mereka semakin mengetahui seaneh apa gadis bermuka datar itu. Parah.

First (Touch Your Heart) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang