22 | Durhaka

686 47 2
                                    

Sera sedang berteduh di salah satu pohon di pinggir jalan saat ponselnya bergetar. Panggilan, dari Julian.

"Di mana, Dek? Kok belum nyampe rumah?"

Gadis itu menilik arloji di tangan. Pukul tiga. Baru lewat sepuluh menit dari waktu biasa ia sampai di rumah. Julian ini memang sungguh disiplin.

"Masih di jalan, Kak. Tahu dari mana aku belum sampai rumah?" Sera memicing pada kendaraan roda dua yang barusan lewat. Suara mesinnya terlalu kencang, mengganggu saja.

"Dari Bu Harti. Kamu di pinggir jalan? Pulang naik apa?"

Kan. Dasar pengendara motor edan. Sera jadi tak bisa mengelak lagi sekarang.

"Aku jalan, Kak. Lagi pengin jalan kaki. Nanti kalau udah nyampe rumah, aku kasih tahu, ya?"

Suara decakan terdengar dari seberang sana. "Wah, di luar ekspektasi sekali jawaban Anda, Adek. Kamu baru beberapa minggu lalu operasi. Kenapa jalan kaki?"

Sera juga tidak tahu. Hari ini terasa sangat membosankan. Ditambah, Arkala tidak masuk sekolah hari ini karena harus menjaga Luis.

Sera jadi malas melakukan apa pun. Karenanya, ingin sekali jalan kaki menuju rumah. Toh, hanya butuh setengah jam. Siapa tahu semangat muncul lagi.

"Aku kuat, Kak. Nanti aku kabari kalau udah nyampe rumah," ulang Sera, berharap Julian mengerti.

"Aku jemput. Kasih tahu kamu lagi di mana, ya? Aku jalan sekarang."

Sambungan diputus, Sera membuang napas kasar. Julian memang terlalu baik jadi manusia. Datang menjemput, padahal, Sera yakin pria itu sedang sibuk di kantornya.

Baru saja akan mengirim letak lokasinya pada sang kakak, Sera tak sengaja menangkap gambaran beberapa orang pria. Hanya sekitar beberapa langkah darinya, tengah berjalan mendekat.

Sera tak mau repot-repot berdiri. Ponsel segera dipadamkan dayanya.

"Anak orang kaya ngapain di sini?" Yang berjaket jeans tersenyum dan berkacak pinggang di depan Sera. "Nggak dikasih uang untuk ongkos naik angkot lo?"

Si gadis tak mau menanggapi atau sekadar mengangkat wajah. Ia menatap lurus pada jalanan di depan, walau terhalang kaki tiga pria tadi.

"Bapak lo itu kenapa, sih? Aneh banget belakangan ini. Biasanya nurut aja gue mintain uang. Ini, malah nggak ngasih sama sekali."

Bibir Sera terkunci rapat. Dalam hati ia bersyukur karena ternyata Riandi mengabulkan keinginannya dan tidak memberikan sepeser pun pada lelaki ini.

"Lo dengar gue, nggak, sih?" Kesal tak ditanggapi, Yudi memegang puncak kelapa Sera dan memaksa gadis itu mendongak.

"Bapak masih bisa kerja. Masih bisa cari duit sendiri." Sebisa mungkin Sera tidak menyuarakan makian yang sudah di tenggorakan.

Dua teman Yudi di kiri dan kanan tertawa.

"Anak lo pinter ngajarin orang, Yud."

"Kebanyakan bergaul sama orang kaya, ya, begini. Sombong." Yudi mendorong kasar kepala anaknya.

Sebenarnya itu tidak sakit. Sera hanya sedikit terhuyung ke belakang. Namun, tetap saja, ia terluka. Di hati. Mendapat perlakukan begitu kasar dari ayah kandung sendiri rasanya benar-benar perih.

"Biar pun gue masih bisa nyari duit sendiri, kalau ada yang mudah, kenapa harus disia-siakan?" Yudi menoleh pada kedua temannya, seakan meminta pembenaran.

Tiga pria di depannya tertawa, Sera semakin muak.

"Hubungin Bapak lo itu. Suruh dia ngasih gue uang tiga juta sore ini juga." Yudi mengatakannya dengan santai.

Sera menggeleng. "Hapeku mati. Nggak ada baterai." Sera mengeluarkan ponsel,mengetuk-ngetuk layar gelap itu.

Yudi berdecak. Kesal. Jika begini, sia-sia ia menyempatkan diri menghampiri Sera tadi. "Kalau gitu, lo cepetan pulang, deh. Bilang ke Ra--"

"Nggak!" Sera memotong ucapan ayahnya. Menatap penuh kebencian pada lelaki itu. "Bapak nggak boleh minta uang lagi dari Papa. Aku udah ngelarang Papa supaya nggak ngasih sepeser pun sa--"

Persetan itu di pinggir jalan atau bukan. Masa bodoh jika yang dipukul perempuan atau laki-laki. Urusan belakangan bila Sera itu anaknya atau bukan. Yang penting adalah, Yudi marah dan kemarahan itu perlu ditunjukkan.

Lelaki itu menampar pipi si gadis yang masih berjongkok. Rahangnya mengeras, matanya melebar dan penuh amarah.

"Durhaka lo sama gue! Gue udah duga ada yang aneh. Biasanya si Radian itu nggak pernah nolak asal gue minta uang, berapa pun. Ternyata ini ulah lo?" Tak puas menampar, Yudi menendang tulang kering Sera hingga gadis itu tersungkur di badan jalan.

Cewek yang ditendang meringis, tapi tidak menangis. Tamparan dan tendangan itu sakit, tetapi bukan untuk ditangisi. Ini lebih baik, daripada harus membiarkan Riandi dan Julian merugi karena Yudi.

"Tarik kata-kata lo dari dia. Suruh dia ngasih uang ke gue tiga juta, sore ini juga."

"Nggak. Bapak nggak boleh ambil uang mereka. Lakukan apa pun, aku nggak akan izinkan Papa ngasih uang ke Bapak. Mau judi, minum, main perempuan sama ngobat, 'kan?"

Tidak tinggal bersama, bukan Sera tidak tahu apa saja yang Yudi lakukan selama ini. Sedikit banyak ia mendapat informasi karena memiliki beberapa teman yang juga anak buah Yudi.

Sesekali Sera bertanya soal ayahnya dari sana. Tidak spesifik menyebut Yudi adalah keluarganya, tetapi tetap bisa mengakses beberapa informasi umum. Seperti kebiasaan Yudi datang ke tempat hiburan malam, minum dan mabuk, bahkan menggunakan obat-obatan terlarang.

Sera yakin, uang yang ayah kandungnya minta untuk itu semua. Dan sungguh durhaka, jika Sera membiarkan Riandi memberikan apa yang Yudi mau.

Merasa Sera terlalu lancang dan merendahkannya, Yudi tidak tahan. Ia memukul kepala Sera. Menarik gadis itu agar berdiri dengan mencengkeram seragam depannya.

"Lo memang durhaka sama gue! Anak kayak lo itu harus dikasih pelajaran, biar jadi lebih sopan sama orang tua." Yudi menarik rambut Sera kencang untuk mengikutinya berjalan. Mengabaikan ringisan sakit yang anaknya perdengarkan.

"Yud, udah. Anak lo itu." Salah satu teman Yudi mengingatkan. Temannya yang marah itu seolah sedang menarik seekor hewan dan bukannya seorang anak.

"Anak kayak gini pantas dihukum!" Dibutakan amarah, Yudi terus menyeret gadis itu untuk ikut dengannya. Dibarengi sumpah serapah yang keluar dari mulut tanpa henti.

Sakit di kulit kepala Sera sama sekali tak memberi ampun. Gadis itu yakin bagian itu akan benar-benar koyak. Belum lagi kaki kanannya yang masih berdenyut nyeri karena habis ditendang. Namun, ada yang lebih sakit. Hatinya.

Gadis itu tak bisa menahan mata untuk tak berkaca-kaca. Dilukai secara fisik dan psikis. Menahan semua sakit di tubuh, Sera masih harus menghadapi tatapan aneh yang beberapa orang alamatkan padanya karena Yudi menyeretnya dengan cara dijambak.

Anak durhaka kata Yudi? Lalu Yudi pantas Sera sebut apa? Ayah durhaka? Bukan ayahnya. Sera rasa itu yang paling tepat.

Riandi bukan ayahnya, tetapi pria itu tak pernah sekali pun membuatnya terluka. Menaikkan nada saat marah saja, jarang. Sedangkan Yudi? Pria itu bahkan mengabaikan rintihan kesakitan Sera dan tetap memperlakukan Sera layaknya bukan manusia.

Apa benar Yudi ini adalah ayah kandung Sera? Jika bisa memilih, Sera ingin itu tak pernah nyata.

First (Touch Your Heart) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang