30 | Pantas Disayang

716 44 3
                                    

"Ar, Sera, tuh." Budi yang semula tengah memutar bola basket di ujung telunjuk berhenti sejenak. Menoleh sang teman yang duduk selonjoran di sampingnya, ia menunjuk dengan dagu.

Sera memang di sana. Tampak tengah menuruni tangga, sepertinya akan melewati lapangan yang Arkala dan teman-temannya sedang pakai.

Sok menoleh tak antusias, Arkala membuka, lalu mengikat lagi tali sepatu. Ia bersikap tak acuh, tetapi sebenarnya penasaran. Mau ke mana Sera pergi?

"Lo diemin dia, Ar?" tanya Andre yang duduk di kanan Arkala. Tiga pemuda itu serentak memandangi Sera diam-diam.

Yang ditanya mengangguk. "Kan gue udah cerita soal dia yang mau ngadang kereta. Gue mau kasih dia waktu tenang. Sendiri, biar dia mikir apa yang udah dia lakuin."

"Bukannya harusnya kita ngerecokin dia, ya, Ar?" Budi memeluk bola orange di pangkuan. Matanya tak lepas dari Sera. "Dia itu harusnya nggak boleh dibiarin sendiri lagi. Biar dia nggak ngerasa sendiri."

Arkala mengangkat bahu, melepas embusan napas berat dari mulut. "Bingung gue ngadepin itu anak satu. Isi kepalanya nggak bisa ditebak. Dia maunya apa, gue nggak pernah tahu."

Tak ada percakapan, sebab Sera sudah dekat dengan posisi lapangan tempat Arkala, Andra dan Budi duduk.

"Ke mana, Ser?"

Sera menoleh. Wajah itu masih setia tampak datar saja. Telunjuknya mengarah ke toilet di kiri lapangan.

"Mau gue temenin?" canda Budi. "Tiara mana?"

Kembali enggan mengeluarkan suara, Sera menunjuk kelasnya. Kemudian gadis itu berlalu begitu saja.

Arkala menatapi punggung sempit Sera yang sudah semakin jauh, lalu menghilang di bilik toilet. "Gue bingung. Dia juga nggak datangin gue untuk belajar bareng."

Budi berdecak. "Datangilah, Ar. Ini nggak mudah untuk dia."

Andre melepas tawa mengejek. "Sejak kapan lo peduli sama ceweknya si Arkala, Bud?"

Budi mengaitkan alis, menatap heran pada Andre. "Harus peduli, dong. Selain ceweknya Arkala, dia juga teman gue. Ngotak, Ndre!"

Andre mengangguk saja. Mulutnya membulat membentuk hurug O. "Gue kira."

"Apa? Ngira apa?" Budi sudah berdiri, seolah siap baku pukul. Pemuda iu menyingsingkan lengan seragam.

"Ya, siapa tahu lo berdua naksir dia."

Giliran Arkala yang mengernyit ke arah Andre. "Khayalan lo jangan kejauhan!"

Andre terbahak. "Ngayal dari mana? Kayak lo nggak naksir Sera aja."

Arkala bungkam. Mengambil sikap seolah tak mendengar ucapan Andre tadi. Namun, sikap itu segera lenyap, saat Budi memberi kode kalau Sera sudah akan melewati lapangan lagi.

Awalnya Arkala tak punya rencana. Ia hanya akan menoleh dan menyapa Sera. Syukur-syukur, kalau berani, ia akan tanya soal kegiatan belajar mereka. Namun, saat mendengar laporan Andre kalau Santi ternyata juga memasuki lapangan dari arah berlawanan dengan Sera, Arkala jadi bangkit berdiri.

Arkala pergi ke arah toilet. Bertatapan dengan Sera, lelaki itu tak memindahkan pandang sedikit pun. Arkala menghampiri Sera, lantas meraih tangan gadis itu.

"Ka?"

Panggilan dari belakang punggung itu membuat Arkala berjengit. Terasa sesuatu mengalir ke relung dada. Hangat.

"Ada Santi. Daripada lo dengar hal aneh-aneh lagi dari dia," jawab Arkala tanpa menoleh.

Di depan Arkala, Budi dan Andre tampak bekerja sama tanpa diminta. Dua temannya itu memegangi Santi beserta temannya yang lain, membuat mereka menepi dari jalan yang akan Arkala dan Sera ambil.

First (Touch Your Heart) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang