8 | Bawa Pulang Anak Gadis Orang

844 60 1
                                    

Arkala baru pulang dari salah depot air tempatnya bekerja malam itu, saat menemukan sosok gadis tak asing berjongkok di bawah salah satu pohon di pinggir jalan.

Penasaran apakah tebakan benar, ia berhenti, turun dan menghampiri. Pas sekali, hujan turun.

"Sera?"

Yang dipanggil mengangkat wajah, menaikkan satu alis. "Hai." Ia kembali menatap ke bawah.

"Ngapain lo di sini? Hujan, wey!" Arkala membuka helm.

"Habis jalan-jalan tadi. Nemu mereka. Kasihan, Ka. Pasti rumah mereka banjir bentar lagi." Sera menunjuk ke tanah di bawah sepatunya.

Gila. Arkala mengatai gadis itu demikian, tetapi menyempatkan diri mendekat dan ikut menengok.

Semut. Yang Sera maksud mereka adalah semut. Hampir hilang akal, tangan Arkala yang mampir di kepala Sera hanya bisa mencengkeram dengan tenaga tertahan.

"Lo bareng siapa di sini?" Tidak dijawab. Sera lebih suka memandangi semut yang mulai mengungsi daripada dirinya. "Heh!" Ia menarik pelan rambut gadis itu.

"Sendiri."

"Gue mau pulang." Arkala berdiri. Berkacak pinggang.

Sera melambaikan tangan. Tanpa melihat.

Si pemuda berdecak. Menyusahkan. Bukan Sera, tetapi dirinya sendiri. Harusnya, biarkan saja Sera bertindak sesuka hati, meloncat ke sana sini. Terserah mau seberapa lama lagi di bawah guyuran hujan. Entah nanti akan bertemu siapa di jalanan ini saat hari makin larut.

"Ikut gue, ayok." Arkala menarik tangan gadis itu. Ini karena beras seratus kilo. Keluarganya bisa tenang soal bahan pokok beberapa bulan ke depan karena itu. Jadi, Arkala rasa ia sudah sepatutnya membalas.

"Ke mana, Ka?"

"Ke rumah gue." Arkala merasakan tangannya dihempas.

"Ngapain gue ke rumah lo? Lo mau culik gue, ya?" Sera menunjuk curiga.

"Untung apa gue nyulik lo?" Arkala tak terima dituduh.

"Iya juga." Sera kembali menaruh tangannya di telapak tangan si pemuda. "Yoklah. Ada apa di rumah lo?"

Arkala menggenggam pergelangan kecil itu kuat-kuat. Giginya bergemelatuk, bukan karena hujan yang mengguyur. Namun, karena kesal. "Ada kue. Ibu gue bikin kue."

Mendengar itu, Sera berjalan setengah berlari menuju motor Arkala. Naik ke sana dengan cepat. "Ayok! Cepat, Ka."

***

Terperangah. Winda sempat terdiam saat anaknya datang bersama seorang gadis yang juga basah kuyup.

"Namanya Sera, Bu. Teman Arkala di sekolah." Arkala menerima uluran handuk dari Arvan, memberikannya pada gadis di sebelah.

"Nggak sekelas tapi." Sera menatap wanita di hadapannya datar. "Aku nggak boleh datang ke sini, ya? Tante nggak suka?"

Winda terkejut, lalu tersenyum. Ia mengambil handuk di tangan tamunya. "Boleh. Suka. Tante cuma terkejut aja. Biasanya, yang Kala ajak ke sini Budi atau Andre. Tumben bawa cewek. Cantik pula." Ia mengerikan rambut gadis itu.

Ujung bibir Sera terangkat sedikit. Ia menengok pada Arkala. "Cantik gue katanya. Ingat, ya. Tante ini bilang gue cantik."

"Serah." Arkala melewati gadis itu. "Gue mandi dulu. Lo tunggu di sini."

Arkala pergi mandi, Winda mengarahkan Sera untuk berganti pakaian. Ia pinjamkan kaus dan celana olahraga Arkala. Lalu diajak ke ruang makan.

Winda bertanya beberapa hal, salah satunya tentang beras seratus kilo itu. Ia juga berterima kasih atas itu.

"Kata Arkala, Tante buat kue." Sera bertanya terus terang. Bersamaan saat Arkala sudah selesai mandi dan bergabung di sana.

Winda tertawa. Ia beranjak mengambil kue yang tadi sore dibuat. Ia persilakan Sera menikmati.

"Ini apa?" Sera menyentuh kue berwarna cokelat transparan yang ditaburi kelapa itu dengan telunjuk. Teksturnya kenyal dan lembek.

"Namanya ongol-ongol. Dibuat dari tepung sagu, gula, kelapa. Cobain." Winda mengambil sepotong, menyuapi si anak gadis.

Sera menerima suapan. Menggigit sedikit, mencecap baik-baik. "Enak." Ia mengambil sisa dari tangan Winda dan memakannya lahap. Gurih, manis, lembut. Hangat.

Arkala yang melihat tingkah Sera menggeleng tak paham. "Lo nggak pernah makan ongol-ongol?" Gadis itu terlihat mengunyah dengan lahap, bahkan sesekali menjilati ujung telunjuk dan jempolnya.

"Nggak. Ini yang pertama." Sera mengambil potongan kedua. Ia melirik Winda. "Buatku aku semua ini, 'kan?" Maksudnya dua potong yang masih tersisa di piring.

Ibunya Arkala tertawa. "Iya. Ini untuk Sera semua. Habisin."

Satu keluarga itu kemudian makan. Sedangkan Sera menikmati kuenya. Sesekali Arkala melirik pada tamu mereka. Seolah tak memedulikan orang-orang sekitar, perempuan yang mengenakan kaus abu-abu miliknya itu terlihat antusias, walau tak menunjukkan senyum.

Selesai dengan kuenya, Sera mengamati dua bocah di meja itu. Yang satu masih disuapi makan oleh Winda, satunya sudah makan sendiri. Penasaran, ia bertanya, "Ayahnya Arkala belum pulang?"

Tangan Arkala berhenti menyuapkan nasi. Pemuda itu meletakkan sendok agak kasar, kemudian meneguk air dari gelas hingga tandas.

"Lo, nggak usah banyak tanya. Kalau nggak berniat makan, lebih baik cabut sana." Arkala menyesal sudah mengajak Sera ke rumahnya. Tidak pernah menyangka jika gadis itu akan seberani tadi.

Arkala tak pernah suka ranah pribadinya dijamah orang asing. Terutama yang tak diizinkan. Budi dan Andre saja tak berani bertanya hingga sekarang, mengapa Sera malah melakukannya padahal mereka belum lama kenal.

Winda menjangkau punggung tangan sulungnya. Menenangkan. Arkala memang selalu semarah ini jika ada yang mengusik luka mereka sedikit saja. Anaknya itu masih marah pada sang ayah agaknya.

"Ayahnya Arkala sudah tidak tinggal di sini, Sera. Dia pergi tiga tahun lalu. Entah ke mana." Wanita itu menjelaskan dengan tenang.

Sera mengucap maaf tanpa suara pada Winda. Wanita itu mengangguk, ia menoleh pada Arkala. "Nggak maksud, Ka." Ia menarik lengan kaus pemuda itu, tetapi langsung ditepis.

"Orang kaya kayak lo emang sukanya gitu. Sok nanya, padahal mau ngetawain penderitaan orang. Pergi lo dari rumah gue! Nggak suka gue lihat lo!"

Yang diusir diam saja. Ia pergi ke kamar mandi, mengganti pakaian dengan yang sebelumnya.

"Nggak pa-pa, Sera. Pakai aja. Kamu masuk angin nanti." Winda tak nyaman melihat tamunya kembali mengenakan baju basah.

Sera menyalami punggung tangan Winda. "Aku benar-benar nggak maksud, ya, Tante. Maaf kalau udah buat sakit hati. Aku pulang aja. Makasih kuenya."

Sera sedang mengenakan sepatu, Winda berusaha membujuk Arkala untuk mengantar. Di luar masih hujan. Sudah larut juga. Wanita itu kecewa karena acara makan malam mereka yang harusnya menyenangkan malah menjadi kacau.

"Sera itu cewek, Kala. Bahaya pulang sendiri malam-malam begini."

Arkala bungkam. Menatapi layar gelap TV di ruang tamu. Sesekali mencuri pandang pada gadis yang duduk di ambang pintu.

"Aku pamit, ya, Tante. Makasih kuenya." Sera memandangi dua bocah kecil yang berdiri tak jauh darinya. "Pulang, ya."

"Iya, Kak. Hati-hati. Tunggu Arvan ambil payung, ya."

"Nggak usah. Udah basah juga. Makasih." Ia melirik Arkala. "Aku pulang, Ka. Maaf sekali lagi."

First (Touch Your Heart) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang