29 | Jangan Meragu

682 48 2
                                    

Julian sedang menatapi kamar rawat di hadapan, saat Arkala datang sore ini. Teman adiknya itu duduk di sampingnya. Bertanya ia sudah makan atau belum, kemudian diam.

Sudah sejak kemarin malam Julian dan sang ayah di rumah sakit ini. Sebuah peristiwa kelewat mengerikan terjadi kemarin.

Sera kabur. Saat Julian kembali ke mobil dengan dua bungkus nasi padang, adiknya itu sudah tak di sana. Kalang-kabut mencari hingga sore, Julian akhirnya mendapat telepon dari seorang teman dekat. Ian.

Hanya sepuluh menit setelah telepon itu, Julian melihat adiknya sampai di rumah bersama Ian. Wajah Sera pucat. Gadis itu gemetar, sampai akhirnya jatuh tak sadarkan diri.

Setelah Sera ditangani dokter, barulah Ian menceritakan mengapa bisa ia bertemu Sera dan mengantar gadis itu.

"Sera nerobos palang pintu kereta api, Jul. Dia mau mengadang kereta api."

Meski penjelasan Ian itu dibuat sehalus mungkin, Julian tak bisa mengelak dari rasa terkejut. Pria itu bahkan hampir jatuh pingsan karenanya. Begitu juga Riandi. Mereka sungguh tak menyangka bila si bungsu punya pemikiran mengerikan begitu.

Cerita itu juga Julian sampaikan pada Arkala tadi pagi. Arkala sudah berniat datang tadi pagi, karena sama terkejutnya. Namun, Julian melarang dan meminta pemuda itu untuk tidak membolos.

Ini mengerikan. Julian merasa seperti kalah perang dan kehilangan segalanya. Bagaimana bisa putus asa yang Sera alami luput dari pengamatan? Julian sungguh merasa tak berguna di titik ini.

"Ini pasti ada hubungannya sama penculikan kemarin, Bang. Aku yakin." Arkala mengepalkan tangan mengingat si durjana Yudi. "Sera berubah sejak kejadian itu."

Julian mengiyakan lewat anggukan. Pria itu mengusap wajah yang dihinggapi raut lelah. "Bapaknya pasti udah ngomong macam-macam."

Pintu di depan Julian dan Arkala terbuka, Riandi keluar dari sana. Pria itu mengambil tempat di kanan sang anak. Dia menghela napas.

"Masih nggak mau ngomong apa-apa," ucap Riandi lesu. Mata pria itu memerah.

Julian menggengam tangan ayahnya. Berusaha menguatkan dan mencari kekuatan untuknya sendiri. Dua lelaki itu memandangi pintu putih di depan mereka cukup lama.

"Lo tahu, Ka? Dulu, awal-awal Sera datang, semua orang bilang dia beruntung karena bisa diangkat Papa jadi anak." Julian bercerita dengan sorot mata sendu.

Arkala mengangguk. "Sampai sekarang, orang-orang juga masih mikir gitu, Kak." Arkala sendiri juga termasuk ke dalamnya.

Julian menggeleng. "Kami yang beruntung karena dia datang ke kehidupan kami."

Lelaki itu mengingat masa lalu. Saat keluarganya yang tak lagi utuh dan nyaris hancur kedatang seorang malaikat manis bernama Sera.

Orang-orang bilang, Sera beruntung diadopsi Riandi. Sebab Riandi pengusaha sukses yang punya banyak uang, yang mampu memberikan apa saja yang Sera mau. Nyatanya, tidak demikian.

"Pas dia datang, Papa itu nggak ada pekerjaan. Kami melarat, bahkan makan satu kali sehari aja syukur. Aku ninggalin kuliah dan malah nggak ngapa-ngapain." Perasaan haru itu tak bisa Julian bendung. Ia tersenyum, tetapi matanya berembun.

Arkala tampak terkejut mendengar itu. Pikirnya, Sera sudah mendapat hidup yang enak setelah diadopsi.

"Usaha martabak Papa, itu ada karena Sera." Julian mengusap dudut matanya.

Dulu, pernah mereka bertiga pergi ke pasar malam. Sekadar melihat wahana dan berkeliling, sebab tak ada uang untuk membeli tiket bermain wahana.

Di sana ada penjual martabak. Sera mau itu, tetapi Riandi tak punya uang untuk membeli.

First (Touch Your Heart) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang