31 | Mulut Andal

684 50 0
                                    

Sera melewatkan makan siang. Kali ini bukan karena tak ingin persediaan beras di rumah berkurang. Melainkan untuk menunggu Julian pulang.

Gadis itu bahkan tak beranjak dari ruang tamu. Sejak siang hingga sore ini terus menghuni sofa, masih dengan mengenakan seragam sekolah dan kaus kaki.

Wajah Sera terlihat gusar. Berulang kali ia menoleh arah pintu. Berharap sang kakak segera pulang dan ia bisa menanyai langsung.

Sera takut kalau Julian sungguh akan pergi dari rumah ini. Apa itu karena dirinya? Ia sudah membuat pria itu susah dengan semua tingkah selama ini? Karena itu Julian putuskan angkat kaki dari rumah?

Pintu terbuka, jemari Sera dingin saat mendapati yang masuk adalah kakaknya. Tidak sendiri, pria itu bersama seseorang. Namun, Sera hanya mau fokus pada Julian.

Julian menginjak karpet ruang tamu, Sera memeluk lelaki itu. "Kamu mau pergi? Kakak mau pergi? Ke mana? Kenapa?"

Sera tak mendengar jawaban. Ia mendongak, memperlihatkan matanya yang sudah berlinang air. "Kamu marah sama aku? Maaf. Jangan pergi. Kamu mau ke mana?"

"Ser--"

Sera menggeleng, menyela kakaknya. "Jangan pergi, Jul. Aku nggak mau tinggal di sini sendiri, tanpa kamu. Maaf kalau selama ini aku kekanakan dan bikin kamu pusing. Aku nggak ulangi, jangan pergi."

Hening beberapa saat, kemudian tawa terdengar. Bukan milik Sera atau Julian. Melainkan orang yang tadi datang bersama Julian. Ian.

"Kalau kakak lo nggak pergi, dia bisa dipecat, Sera." Ian berucap dalam posisi duduk.

Sera mengernyit ke arah lelaki itu.

"Kakak lo cuma tiga hari perginya. Mau ngurusin kerjaan. Bukan pergi ninggalin rumah dan ninggalin lo."

Sera mengangkat wajah, menoleh sang kakak. Julian mengangguk dan menahan senyum, gadis itu meringis.

Ia menghapus semua jejak basah di wajah dengan kesal. Menjauh dan melepas pelukan dari Julian, kemudian bersiap pergi.

Julian tentu tak membiarkan adiknya kabur. Ia menarik Sera dan memeluknya lagi.

"Lepas, nggak?" Sera memukul-mukul punggung kakaknya. "Julian, lepas!" Gadis itu ingin sekali menyembunyikan wajah di tempat yang tak bisa ditemukan siapa pun. Rasanya benar-benar memalukan.

"Julian juga rindu Sera."

Pengakuan itu berhasil membuat Sera mematung. Gadis itu tak lagi meronta. Pelukan itu terasa semakin erat.

"Jangan lakuin hal yang kayak kemarin lagi, ya, Adek. Kakak juga nggak mau ditinggal kamu."

"Maaf. Maaf karena selalu bikin kamu susah."

Julian menggeleng. Ia membuat jarak agar bisa menatap wajah adik kesayangannya. "Panggil lagi, dong? Julian, gitu."

Sera menggeleng. Gadis itu duduk, embusan napasnya terdengar lebih lega. Ia melirik pada Ian. "Beneran temannya Kak Julian?"

Ian mengangguk. "Dunia sempit, ya?"

Mengangguk saja, Sera menyambar jus jeruk yang dihidangkan Buk Harti di meja. Ia haus, sejak tadi tak memasukkan apa pun ke mulut karena menunggu Julian pulang.

"Belum makan siang, Pak. Nungguin Pak Julian pulang karena urusan koper." Buk Harti  menjelaskan.

Julian mengangguk saja. "Lo mau ikut makan dulu, Yan?"

Ian mengangguk setuju.

Julian menarik adiknya agar berdiri. Ia menggeleng tak habis pikir. "Lepas kaus kaki pun belum?"

First (Touch Your Heart) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang