19 | Sakit

816 54 1
                                    

"Sakit lagi, Ser?" Arkala duduk dan menatapi wajah pucat Sera yang berbaring miring ke kiri di salah satu brankar UKS. Pemuda itu tahu jika Sera di sini dari Tiara.

Sera menggerakkan kelopak mata. Bibir pucatnya meringis. "Sakit perut, Ka."

"Diare?" Ia menaruh telapak tangan di kening Sera yang sedikit berpeluh. "Agak hangat."

"Mual dikit. Sakit banget. Di sini." gadis itu memegangi perut kanan bagian bawah.

Sera sudah merasakan nyeri perut itu sejak dua hari lalu. Berusaha mengabaikan berharap sembuh sendiri, nyatanya siang ini malah makin parah. Sera bahkan harus izin ke UKS di jam pelajaran.

Seperti biasa, cewek itu tidak mengadukan apa-apa pada Radian atau Julian. Takut mereka kerepotan dan harus keluar biaya lagi. Lagipula, ini hanya sakit perut yang sayangnya terasa sakit luar biasa.

Arkala menimbang sebentar. Wajah pias Sera membuatnya khawatir. "Pulang aja, yok. Gue anter."

Cewek itu menggeleng. "Bentar lagi mungkin sembuh. Lo tahu Papa dan Kak Julian itu berlebihan. Mereka bakal ngira gue sakit parah."

Arkala berdecak. "Ini memang parah, Ser. Lo pucat sampai nggak bisa bangun gini. Pulang pokoknya."

Usai mengantar Sera pulang, Arkala tidak langsung pulang. Pemuda itu duduk di ruang tamu, lalu menghubungi Julian dan Riandi. Mengingkari janji pada Sera agar tidak memberitahu dua orang itu.

Tak lama, mungkin sekitar setengah jam kemudian, dua keluarga Sera itu datang bersamaan. Mereka langsung menuju kamar Sera, Arkala ikut lagi ke sana.

"Ka." Inginnya meneriaki Arkala, Sera tak punya tenaga. Gadis itu meringkuk di kasurnya, memicing pada sang teman.

"Sakit lo ini serius, Ser. Gue terpaksa." Arkala membela diri.

"Mana yang sakit, Nak?" Riandi mengusap peluh di kening putrinya. Arkala benar, sepertinya sakit Sera kali ini parah. Anaknya terlihat lemas sekali. Ia terus mengerutkan dahi menahan sakit.

"Nggak pa-pa, Pa. Ini nggak pa-pa. Aku cuma butuh tidur." Sera berusaha tersenyum. Ia meremas bantal di bawah kepala karena sakit itu terasa makin menjadi.

"Ke rumah sakit aja, Pa. Sekarang." Julian menarik lepas selimut adiknya. Berusaha meraih tubuh Sera dalam gendongan, tetapi gadis itu malah menghindar, menolak.

"Nggak mau. Nggak perlu ke rumah sakit. Cuma ngabisin duit." Ia mencoba meraih selimut, tetapi perut kanan bawah seolah diremas amat kuat. Sakitnya sampai membuat Sera tanpa sadar merintih.

Julian berdecak kesal. "Jangan keras kepala, Dek! Makin lama dibiarin, makin bahaya nanti."

Gadis itu malah menangis. Gabungan antara sakit dan kecewa. Sera kecewa pada diri sendiri. Selalu saja dirinya membuat Julian dan Riandi susah. Sakit perut seperti sekarang saja tak mampu diatasi sendiri.

Riandi berusaha membujuk. "Nggak pa-pa, Nak. Nanti biayanya bisa kamu ganti. Nyicil, kan, kamu bilang?"

"Nggak. Aku nggak mau ke rumah sakit. Kalau pun ini bahaya, biarin aja biar sekalian aku mati dan--"

"Sera!" Julian membentak. Laki-laki itu tampak sangat cemas, tetapi juga marah. Melihat air mata adiknya jatuh semakin banyak, ia mengusap wajah. Membuang napas kasar, lalu berkata, "Ini bukan saatnya keras kepala, Sera. Kamu butuh ditangani."

"Bawa aja, Kak. Takutnya bakal terlambat kalau makin lama." Arkala memberi saran. Walau setelahnya ia mendapat sorotan tajam dari Sera.

Pada akhirnya, Sera hanya bisa pasrah saat Julian membawanya dalam gendongan dan memasukkannya ke dalam mobil. Gadis itu tak lagi punya tenaga untuk berontak atau turun dari mobil. Hanya mampu menangis menyesal selama perjalanan.

First (Touch Your Heart) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang