Kembali ke sekolah, pagi ini Sera diantar Riandi. Sepanjang perjalanan ayahnya itu berusaha membuat obrolan, melempar candaan, Sera hanya bisa memberi respon berupa anggukkan, gelengan atau senyum sekilas.
Sesekali gadis itu mencuri pandang pada ayahnya. Rasanya ingin sekali menyuarakan tanya yang sejak beberapa hari lalu menghuni kepala. Namun, Sera terlalu takut. Ia takut jika jawaban yang Riandi beri malah tak sesuai dengan ekspektasinya.
"Nak." Ikut turun dari mobil setelah sampai di sekolah Sera, Riandi menginterupsi langkah putrinya. Mereka berpandangan sejenak, sebelum Sera kembali menatap ke arah lain. "Apa pun itu, yang sekarang sedang jadi beban pikiran kamu. Kapan pun kamu mau, kamu bisa bagi ke papa. Papa akan selalu ada di samping kamu, Sera. Apa pun yang terjadi."
Sera mengangguk saja, masih tak berani memandang wajah ayahnya. "Aku masuk dulu, Pa. Hati-hati di jalan, jangan terlalu capek kerjanya."
Riandi mengangguk. "Mau papa bawakan martabak jagung nanti? Kakak bilang kamu mau itu."
Si anak mengangguk setengah hati. Bukan itu yang ia mau. Namun, tak berani menolak karena takut Riandi akan kecewa. "Aku sekolah dulu, Pa," pamitnya kemudian.
Gadis itu sudah sampai di kelas, saat tiba-tiba empat orang muncul mendadak. Arkala, Tiara, Andre dan Budi.
Budi berpenampilan aneh hari ini. Pemuda itu memakai rok yang terbuat dari tali plastik yang dijalin satu.
"Lo pengin tahu gimana kalau gue jadi induk puyuh, 'kan?" Budi mengeluarkan beberapa butir telur puyuh dari saku celana.
Pemuda itu menaruhnya di atas sebuah keranjang buah tanpa gagang. Lalu berjongkok di sana, berusaha menirukan unggas kala sedang mengeram.
Seluruh kelas terbahak, Sera hanya tersenyum sekilas.
"Demi lo, ya, Ser. Demi lo doang gue mempermalukan harga diri gue." Budi yang wajahnya sudah memerah bangkit dari jongkok. Membuka roknya cepat-cepat untuk dilempar pada Arkala.
Senyum kecil Sera perlahan raib. Pada teman sekelasnya Arkala itu, Sera menyahut, "Kenapa? Kenapa demi gue? Kenapa lo kek gini? Gue siapanya lo memangnya? Gue nggak minta lo lakuin ini."
Empat orang yang tadinya tertawa itu seketika diam. Dingin sekali cara bertanya itu. Mimik wajah Sera juga terlihat serius. Apa ini? Bukan ini yang mereka harapkan.
Budi tersenyum sekilas. "Temen. Gue anggap lo temen gue." Lugas ia menjawab.
"Karena apa? Karena gue beberapa kali bayarin makanan lo di kantin?"
Tiara menghampiri teman semejanya. "Ser? Lo kok gitu, sih? Budi memang mau nepatin janjinya. Jangan suka berpikiran buruk sama orang."
Sera menepis tangan Tiara di bahu. "Gue memang suka berpikiran buruk sama orang. Kenapa? Lo nggak suka?"
Tanpa menunggu teman-temannya bersuara lagi, Sera berlalu menuju bangku. Duduk di sana beberapa saat, lalu pergi meninggalkan kelas.
"Sera kenapa, Woy? Seram amat." Andre bergidik. Ia ngeri. Sera itu dasarnya berwajah datar. Ditambah sorot mata garang seperti tadi dan kalimat kelewat pedasnya, Andre jadi takut.
Arkala mengalihkan tatap dari pintu yang tadi Sera lewati. Cowok itu menepuk lengan Budi. "Lagi eror itu otaknya. Jangan diambil hati, Bud."
"Santai. Gue nggak punya hati, ngomong-ngomong." Lelaki itu tertawa demi mencairkan suasana. Ingin membuat Tiara sedikit lebih tenang. "Dia memang udah gue anggap temen kalau kalian nggak yakin. Jadi, gue akan coba maklumi sikap dia tadi."
Arkala memang hanya memberitahu Budi, Andre dan Tiara soal penculikan dan penyekapan yang Sera alami. Niatnya, agar saat Sera kembali nanti, mereka bisa bekerja sama menghibur cewek itu. Tak disangka, Sera yang datang hari ini malah terlihat begitu asing.
Arkala tak menampik jika selama ini Sera memang punya banyak pemikiran dan asumsi buruk pada orang lain. Contoh kecil, saat Sera berkata ia curiga pada kebaikan Budi yang menawarkan tebengan pulang karena Arkala harus bekerja. Pikiran jelek cewek itu sudah ke mana-mana, padahal Budi memang ingin membantu karena hari itu hujan dan arah rumahnya dan Sera sama.
Arkala tahu terkadang Sera itu picik, selalu berusaha tak berutang budi pada orang lain, membayar kembali kebaikan yang ia dapat dari orang lain. Namun, tak menyangka akan terang-terangan dan frontal seperti pagi ini.
Sepertinya Budi benar. Ada sesuatu yang tengah teman mereka itu hadapi.
***
Arkala sengaja tak memperpanjang masalah tadi pagi. Ia juga memberi waktu pada Sera untuk menyadari kesalahan. Sampai bel pulang sekolah berbunyi hari ini, pemuda itu tak datang ke kelas si cewek.
"Lo mau kasih bimbel sama Sera, ya?" Budi bertanya seraya mengemasi buku di meja.
Yang ditanya mengangguk. "Lagi kesal, sih. Tapi, gimana. Duitnya lumayan."
Budi tertawa sumbang. "Alasan! Lo mau nemuin dia hari ini karena khawatir, Nyet!"
Arkala memicing ke sana. "Nggak ada, ya!" bantahnya. Dalam hati bertanya. Benarkah ia cemas pada Sera?
"Lo nanyain dia sepuluh kali dari tadi pagi, Ar." Andre di depan Arkala menimpali. "Samperin sana." Dua alis Andre naik turun.
Orang di samping Arkala mengangguk. "Soal tadi pagi, jangan dibahas lagi. Sera udah minta maaf sama gue."
Mata Arkala melebar mendengar itu. Kapan? Kenapa dia tidak tahu? Ia tak ke mana-mana sejak tadi pagi. Terus di kelas, hanya dua kali izin ke toilet.
Mengerti kebingungan temannya, Budi menjelaskan. "Pas istirahat kedua tadi. Dia datangi gue di kantin. Bilang maaf dan suruh gue jangan terlalu baik sama dia. Cewek lo aneh, Ar. Dibaikin malah nggak mau."
Menguasai rasa terkejutnya, Arkala berdecak. "Lo percaya dia tulus minta maaf? Kalau tahu salah, kenapa dilakuin?"
"Dia tulus, Ar. Gue tahu. Hampir nangis gitu. Emosinya lagi kacau kali. Kita tahu sendiri dia nyaris dicelakain sama bokap kandungnya." Budi menyungging tas di bahu. "Samperin sana. Jangan dimarahi lagi, ya. Kalau dia cewek gue, udah gue peluk tadi pas di kantin."
Atas ucapannya, Budi si jelmaan puyuh dihadiahi pukulan di kepala oleh Arkala. Budi meringis, tetapi setelahnya terbahak sambil berlalu bersama Andre.
***
Di kelas Sera. Arkala berulang kali hendak membuka mulut, tetapi kemudian harus merapatkan bibir lagi. Ia mendadak bingung.
Sejak tadi, Sera tak sekali pun mau menatapnya lebih dari lima detik. Sejak datang, gadis itu memasang mimik serius. Mengerjakan latihannya tanpa banyak bertanya atau bermuslihat agar bisa diajari lagi. Arkala jadi kikuk memulai obrolan yang bukan soal pelajaran.
"Gue udah selesai. Gue pulang duluan, ya." Sera menyerahkan kertas latihannya pada Arkala. Cewek itu memberikan selembar uang kemudian. "Gue ketinggalan pelajaran beberapa hari. Gue udah pinjam catatan Tiara. Dua hari lagi, tolong kasih gue soal dari materi itu, ya."
Sera masih saja tak menatap wajahnya saat bicara, Arkala mendadak dilanda kecewa. Apa Sera tidak menganggap apa-apa perpisahan mereka selama beberapa hari belakangan? Arkala saja rindu. Kenapa gadis itu terlihat biasa saja?
"Lo baik-baik aja, Ser?" Arkala bertanya ketika cewek di sampingnya sudah beranjak dari duduk. Tidak berbalik atau menoleh, Sera terlihat mematung di tempat. "Ibu nanyain lo terus kemarin. Arvan bilang rindu."
Membuang muka sesaat, Sera menarik napas dalam. "Sampein salam sama Tante Winda dan Arvan, ya. Gue pulang duluan, Ka."
Temannya pergi, Arkala merasakan hampa seketika. Menatapi punggung sempit Sera, ia tiba-tiba saja merasa ada jarak luas yang terbentang antara mereka. Jarak yang sengaja Sera munculkan hari ini.
Satu pertanyaan besar di kepala Arkala. Kenapa? Apa ia melakukan kesalahan?
KAMU SEDANG MEMBACA
First (Touch Your Heart)
Roman pour AdolescentsSera Riandi. Remaja yang hobi mencatat semua uang yang papanya keluarkan untuknya. Dicatat sebagai utang, nanti setelah bekerja akan dilunasi dengan cara mencicil. Takut memberi kepercayaan pada orang lain, Sera juga merasa tak pantas menerima semu...