"Kami sudah mencatat laporan Saudara. Mohon tunggu info dari kami selanjutnya."
Julian baru saja selesai membuat laporan orang hilang. Mendengar penjelasan pihak berwajib soal tindakan apa yang akan diambil dan apa yang harus ia dan sang ayah lakukan, pria itu pun pamit dari sana.
Dalam kepalanya, lelaki itu sudah merancang rencana yang lain. Selain menyerahkan pada pihak berwajib, ia juga akan memanfaatkan alternatif lain untuk mencari Sera.
Sudah lima jam sejak terakhir kali ia dan Sera bicara lewat telepon. Entah pergi ke mana, sampai sekarang, langit sudah gelap, adiknya itu belum juga pulang.
Julian sudah menghubungi Tiara, Arkala, Budi dan Andre. Namun, tidak satu pun tahu keberadaan Sera. Ponsel adiknya mati, menambah kacau situasi ini.
Jelas, sudah terjadi sesuatu yang buruk pada Sera. Julian yakin itu. Adiknya bukan remaja yang hobi pergi ke suatu tempat tanpa bilang. Kalau pun tidak diizinkan pergi dan nekat pergi, Sera pasti memberi kabar.
Sudah terjadi hal tidak baik, tetapi Julian tidak tahu apa.Keluar dari kantor polisi, Julian meminta Radian untuk pulang duluan.
"Papa tolong hubungin orang yang biasa dipakai Om Ridwan untuk cari orang. Aku mau sisir jalan. Papa jangan ikut, tunggu di rumah, siapa tahu Sera pulang."
Riandi mengangguk dengan wajah putus asa. Pria itu tampak cemas dan pucat. Rasanya dunia benar-benar runtuh sekarang. Ia lalai menjaga anaknya sendiri. "Secepatnya, ya, Kak. Bawa Sera pulang secepatnya."
Julian mengangguk. Dadanya sesak sekali, seolah diikat. "Sera nggak bakal kenapa-kenapa, Pa. Aku bakal mastiin itu."
Berbekal info terakhir yang ia dapat, Julian melajukan mobilnya perlahan melewati jalanan dari sekolah Sera menuju rumah mereka.
Matanya awas bergerak ke sana-kemari. Mencari sosok gadis berseragam SMA dengan tas cokelat dan sepatu putih.
Tidak ada. Sosok itu tak kunjung Julian temukan hingga ia lewat bolak-balik tiga kali.
Frustasi, pria itu menghentikan mobilnya di pinggir jalan, dekat sebuah pohon. Memukul kemudi, ia menyandarkan kepala ke sana.
Dalam matanya yang terpejam, Julian mengingat kejadian tadi pagi, sebelum ia berangkat ke kantor.
"Kak, mau pergi nggak pakai sepatu? Orang yang otaknya encer juga bisa konyol gini, ya?"
Sera datang padanya dengan membawakan sepatu. Gadis itu bahkan sempat minta peluk sebelum ditinggal bekerja. Kenangan yang membuat kepala dan hati Julian terasa nyeri.
Julian turun dari mobilnya. Menarik napas dan membuangnya berulang kali, mencari ketenangan. Jika ia tak berpikir jernih, semua ini akan semakin ruyam. Adiknya akan semakin lama ditemukan dan bisa saja hal-hal buruk lainnnya datang mengikuti.
Bersandar pada kap mobil, terbersit keinginan untuk membeli rokok kala mata menangkap sebuah warung tak jauh dari mobilnya terparkir. Namun, keinginan itu sirna tepat setelah kaki Julian sampai di sana.
Ia teringat Sera kembali. Adiknya itu melarang ia merokok lagi. Tidak jadi membeli sigaret, Julian meminta satu botol air mineral pada si pedagang.
"Bener, Yah? Tadi sore ada preman yang berantem dekat pohon itu?"
Julian tak sengaja mendengar anak si pemilik warung bertanya.
"Bukan berantem. Premannya gangguin anak sekolah. Malah cewek pula. Kasihan." Pria dengan sarung melingkar di lehernya itu memberikan satu botol air kemasan pada Julian, lalu menerima uang.
"Diapain, Pak?"
"Katanya dijambak. Diseret sambil dijambak gitu."
"Kok nggak ditolongin, Pak?" Julian bertanya seraya menerima kembalian. Firasatnya buruk tiba-tiba.
"Ngeri, Mas. Premannya gila. Bawa-bawa senjata tajam. Warga sini takut semua sama dia."
Spontan saja, Julian menanyakan nama preman yang dimaksud. "Nanti biar saya buat aduan ke polisi."
"Tapi jangan kasih tahu saya yang kasih info, ya. Namanya Yudi," bisik orang itu.
Suara pelan itu membawa hantaman besar pada Julian. Lelaki itu mengeraskan rahang, tangannya mencengkeram botol air mineral kencang.
Penjelasan pedagang tadi tergiang. Dijambak. Diseret. Wajah Julian memerah.
Ini sudah jelas. Sera memang dalam bahaya. Adiknya itu diculik. Oleh Yudi, ayah kandung gadis itu sendiri.
Tak ingin menunggu lama, Julian menghubungi Riandi. Memberikan nama target yang harus mereka lacak keberadaannya. Tak lupa pria itu menanyai pedagang tadi, siapa tahu bisa memberi arah ke mana ia harus mencari Yudi.
Julian bersumpah, jika sampai lelaki itu melakukan sesuatu yang buruk pada adiknya, Julian tak akan tinggal diam.
***
"Lo belum nyerah juga?" Yudi bicara dari balik pintu kamar yang terkunci.
Tak ada jawaban dari dalam sana, pria itu tersenyum miring. Keras kepala sekali memang Sera itu.
Sebagai hukuman karena sudah berani menantangnya, Yudi membawa Sera ke markasnya yang berada di pinggiran kota. Tempat ia biasa bersembunyi jika terlibat cekcok dengan sesama preman jalanan atau pemilik tempat hiburan malam yang menagih utang.
Belum ada 24 jam, Yudi mulai dengan hukuman yang ringan. Mengunci Sera di kamar tanpa penerangan apa pun. Ia tahu anaknya itu sangat takut pada gelap. Jadi, di dalam sana, walau tidak bersuara, Sera pasti sudah menangis.
"Gue bakal ngeluarin lo dari sana. Asal, lo janji. Suruh bapak baru lo itu ngasih gue duit. Gue butuh duit sekarang juga. Gue harus beli obat." Laki-laki itu tertawa kencang.
Meringkuk di dekat pintu kamar, Sera yang memeluk lutut mengumpulkan tenaga. Napas gadis itu terasa berat. Tubuhnya pun terasa mulai lelah karena takut.
"Nggak. Nggak akan."
Sahutan pelan dari dalam kamar membuat Yudi semakin naik pitam. Ia menendang pintu.
"Gue biarin lo di dalam sana sampai mampus!"
Sera memeluk dirinya kuat-kuat. Sungguh takut hingga tak mampu berpikir harus apa.
Ia teringat Julian dan Riandi yang mungkin saja menunggu dan sudah mencarinya. Sera sudah terpikirkan untuk menghubungi, tetapi Yudi sudah mengambil ponselnya. Mungkin sudah dijual, karena kemarin malam ia mendengar pria itu mabuk dengan beberapa temannya di rumah ini.
Di tengah takutnya pada gelap yang menyelimuti, Sera semakin hilang nyali saat menerka apa yang akan Yudi lakukan setelah ini.
Mengambil ponsel untuk dijual. Mungkin, besok, ia akan mengambil yang lain untuk dijual lagi.
Sera ingin kabur, tetapi dia bisa? Di sini gelap dan itu cukup untuk membuatnya lumpuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
First (Touch Your Heart)
Teen FictionSera Riandi. Remaja yang hobi mencatat semua uang yang papanya keluarkan untuknya. Dicatat sebagai utang, nanti setelah bekerja akan dilunasi dengan cara mencicil. Takut memberi kepercayaan pada orang lain, Sera juga merasa tak pantas menerima semu...