24 | Firasat

701 45 6
                                    

Merebahkan punggung di sandaran sofa, Julian membuang napas. Terdengar berat dan lelah. Baru saja pria itu mendapat info terbaru dari orang bayarannya. Mereka masih belum menemukan apa-apa soal Sera.

Pria itu memejam, wajah Sera langsung muncul dalam benak. Bersama dengan sebuah kenangan.

Julian yang baru pulang kuliah kala itu, mendapati Sera ada di teras rumah. Adiknya yang berusia 11 tahun itu berdiri dengan gelisah di sana. Membuatnya melangkah semakin cepat untuk menghampiri.

"Kenapa berdiri di sini? Kenapa nggak di dalam, Adek?" Pria berusia 23 tahun tersenyum lebar karena panggilan barusan. Senang sekali rasanya punya seorang adik. Perempuan, manis pula.

"Maaf. Nggak sengaja." Sera menggigit bibir takut-takut. Ia melirik beberapa kali ke arah pintu rumah.

"Kenapa?" Julian melembutkan nada. Sebisa mungkin tak membuat adiknya takut.

Sera kecil bercerita. Karena ayahnya bekerja dan sang kakak harus kuliah, Sera yang tinggal sendirian di rumah ingin membantu pekerjaan rumah.

Gadis itu berusaha menyiapkan makan malam. Membuat sayur, nasi, telur dadar dan sambal. Namun, tidak berhasil.

"Aku tinggal bentar mau ambil air dari wastafel. Cuma sebentar, aku yakin. Tapi, sambalnya gosong. Lengket di wajan dan wajannya susah dibersihin. Berkerak."

Julian terkejut. Ia memeriksa dua lengan kecil milik Sera. Mengamati dari ujung rambut sampai kepala, lalu membuang napas lega saat tak menemukan luka apa-apa.

"Nggak ada yang luka, 'kan?" Pria itu memastikan.

Sera menggeleng. "Maaf, ya? Kerjaan kamu jadi tambah banyak."

Si kakak tersenyum. "Niat kamu bantu aku, 'kan? Mana bisa aku marah." Ia memeluk anak perempuan itu. "Maaf, ya? Aku sama Papa tinggalin kamu sendirian tiap hari."

"Nggak pa-pa. Kamu dan Pa--Papa cari uang untuk kita." Sera masih merasa asing dengan sebutan itu.

Senyum lebar Julian merekah. Ia mengusap sayang kepala si adik. "Pinter banget, sih, Adek. Nggak pa-pa. Nanti kakak yang bersihkan wajannya. Kamu berdiri dengan wajah takut gitu cuma gara-gara itu?"

"Aku takut kamu susah. Bukannya membantu, aku malah bikin kamu sulit." Sera sadar diri. Ia hanya anak angkat, sudah seharusnya memberikan kontribusi lebih pada keluarga itu sebagai balas jasa.

Si kakak mengusaikan pelukan, lalu menatap wajah Sera. "Kamu, kamu terus. Kakak. Aku ini kakaknya kamu. Coba bilang? Ka-kak."

Sera terdiam sesaat. Matanya berkaca-kaca, lalu air mata meluncur jatuh. Julian sampai terhenyak melihatnya saat itu.

"Makasih banyak." Air mata gadis itu makin banyak. Ia lalu menghambur ke pelukan si kakak. "Makasih ... Kak."

Julian membalas pelukan itu. "Makasih untuk apa?"

"Manggil kamu kakak entah kenapa bikin aku ngerasa nggak sendirian lagi."

Julian tertawa lepas kala itu. "Kamu nggak sendirian lagi, Adek. Ada kakak sekarang. Aku bakal temani kamu sampai aku tua. Apa pun keadaannya."

Saat itu tertawa, saat ini Julian malah meneteskan air mata saat mengingatnya lagi. Pria itu merasa kehilangan, gagal dan rindu.

"Panggil aku, Dek. Panggil aku, biar aku bisa ke sana dan temani kamu," lirih pria itu seraya mengusap ujung mata dengan punggung tangan.

***

Arkala sedang berkendara menuju rumah malam ini. Shift menjaga Luis berakhir, sudah ada Winda di sana untuk menggantikan. Arkala boleh pulang dan berniat membereskan tugas sekolah, karena besok ia akan kembali masuk.

Di atas motor, pemuda itu teringat sesuatu. Kabar dari Andre dan Budi yang mengatakan bahwa Sera tidak masuk sekolah tadi. Ia mengaitkan dengan telepon dari Julian dua hari lalu, menanyakan keberadaan Sera.

Pemuda itu berbelok ke kanan, saat harusnya mengambil arah sebaliknya. Ada tempat yang harus ia datangi dahulu.

Sera tidak masuk, apa gadis itu sakit? Kenapa Tiara tidak mengatakan apa-apa? Dan juga, sejak kemarin, nomor Sera tidak aktif.

Tidak nyaman dengan semua itu, Arkala memutuskan datang ke rumah Sera saja. Menanyakan dan menjumpai gadis itu langsung. Namun, saat tiba di sana, ia hanya bertemu Radian dan Julian.

"Bang? Lo sakit?" Arkala yang dipersilakan duduk menatap serius pada wajah Julian. Tak biasanya pria itu terlihat kusut seperti sekarang. Kemeja, rambut, bahkan wajahnya terlihat tidak sehat.

"Sera hilang, Ar. Dari kemarin sore." Tak menatap lawan bicaranya, Julian yang menumpu kepala dengan dua tangan meremas rambut sendiri. Pria itu putus asa.

Penuturan tadi tak bisa Arkala terima bulat-bulat. Ia butuh waktu beberapa belas sekon sebelum akhirnya paham setelah merunut semua peristiwa.

"Terakhir di mana, Bang?" Seketika rencana untuk pulang dan mengerjakan tugas sekolah raib. "Udah buat laporan?"

Riandi menjelaskan. Ia dan Julian menyewa jasa swasta untuk mencari Sera. Sekitar 20 orang, tetapi sampai kini belum menemukan secuil pun titik terang.

Karena itulah Julian tampak frustrasi. Ia merasa tak berguna. Percuma otaknya selalu dipuji Sera encer, jika untuk menemukan gadis itu saja Julian tak mampu. Ini sudah lewat 24 jam. Entah apa yang sudah Yudi lakukan pada adiknya.

"Gue yakin dia diculik bapaknya, Ar. Gue yakin." Julian meringis. "Entah apa yang udah dia lakuin ke Sera. Dia itu berbahaya. Dia mabuk dan ngobat." Itu yang Julian dapatkan dari menelusuri jejak Yudi beberapa jam belakangan.

Detak jantung Arkala naik drastis ritmenya. Wajah cemas dua pria di hadapan menular padanya.

Tiga orang di ruang tamu itu bungkam. Masing-masing memacu otaknya bekerja untuk membuat beragam terkaan soal di mana kira-kira Sera berada. Jika benar gadis itu ada di tangan orang seperti Yudi, maka Sera jelas terancam.

"Lo datang untuk apa, Ar?" Julian angkat suara setelah menyadari tamunya masih di sana.

"Gue kira dia sakit, Bang. Nomornya nggak aktif."

Berpandangan dengan Arkala, Julian tersenyum getir.

"Harusnya gue lebih cepat jemput dia. Terakhir dia nelepon gue, katanya pulang jalan kaki. Harusnya gue ngubungin Bu harti lebih cepat."

Arkala bisa mengerti perasaan Julian saat ini. Pasti kecewa, menyesal dan marah. Sama seperti yang ia rasakan beberapa waktu lalu, karena Luis sakit. Pun, Arkala juga merasa demikian sekarang.

"Kalau gue masuk sekolah, biasanya dia pulang bareng gue, Bang," ucap pemuda itu penuh sesal. Seandainya ia meminta bantuan Andre atau Budi untuk mengantar Sera pulang saat dirinya absen, mungkin ini tidak akan terjadi.

Riandi berusaha mengakhiri suasana putus asa di sana. "Kita usaha. Kita cari Sera sama-sama. Sambil berdoa dia bakal baik-baik saja." Pria itu bicara dengan penuh harap.

Tak lama, Arkala memutuskan pamit pulang. Toh, berada di sana pun ia tak membantu apa-apa. Upaya pencarian dari orang bayaran Julian juga masih berlangsung.

Dalam perjalanan pulang, Arkala tak berhenti berharap. Ia sungguh tak ingin terjadi hal buruk pada temannya. Terlebih, Sera ditawan oleh orang yang harusnya melindungi.

Ada kemarahan yang menyeruak saat Arkala mengingat itu. Yudi dan perbuatannya. Mengapa tega pada anak sendiri? Apa semua ayah di dunia memang demikian jahatnya? Ayahnya sendiri dan sekarang ayahnya Sera.

"Gue benci Bapak gue, Ka."

Sekarang Arkala tak akan mencegah Sera melakukan itu. Gadis itu memang pantas membenci Yudi.

"Gue samperin ke markas premannya itu, biar gue maki-maki."

Arkala menarik rem. Ia berhenti di tepian jalan. Sesuatu melintas di kepala. Awalnya sekilas perlahan jelas.

Sera pernah memberitahunya sebuah tempat. Katanya, markas Yudi. Menimbang beberapa saat, Arkala mengambil ponsel untuk menghubungi Julian.

"Bang. Sera pernah nyebut satu alamat." Ia tercekat, menelan saliva, lalu menyebut nama sebuah tempat. "Ke sana sekarang, Bang. Gue duluan, cepat nyusul, bawa polisi sekalian."

First (Touch Your Heart) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang