Sera menggigiti ujung ibu jari. Gadis yang berjongkok di bawah salah satu pohon di samping lapangan sekolah itu merasai telapak tangannya semakin basah saat mata mendapati beberapa siswa mulai keluar dari kelas di lantai satu.
Mendongak ke lantai dua dan tiga gedung sekolah, pemandangan serupa tampak. Para siswa dan orang tua mereka mulai melewati pintu, sayup-sayup sorakan terdengar di mana-mana.
Ini harinya. Hari yang Sera nanti-nanti selama enam bulan terakhir. Pembagian rapor, masa di mana ia akan melihat hasil dari perjuangan selama ini.
Sejak pagi gadis ini sudah berkata pada diri sendiri agar tak terlalu berharap, tak usah memupuk asa soal nilai rapor, agar tak perlu ketar-ketir seperti sekarang. Namun, keinginan untuk membuat sang ayah senang dan janji kepada si kakak membuatnya tak bisa mengabaikan pembagian rapor hari ini.
Sera mengusap peluh di dahi saat matanya mendapati Riandi dan Julian sudah menuruni tangga. Wajah dua lelaki itu tampak tenang. Si gadis yakin, nilainya di semester ini masih serupa dengan yang sebelum-sebelumnya.
Ah! Ia jadi menyesal memilih untuk menunggu di luar saja. Kalau tadi ikut masuk ke kelas bersama si ayah, mungkin sekarang rasa penasaran dan gugup ini sudah sirna.
Julian dan Riandi sudah dekat, Sera mengusap wajah. Gadis itu menarik napas dalam. Terserahlah, katanya dalam hati. Namun, perasaan tak ingin semua jerih payah sia-sia menderu begitu hebat.
Jantung Sera serasa akan lepas dari tempat ketika sang ayah sudah berdiri di hadapan. Lelaki itu masih saja tak menunjukkan ekspresi berarti. Raut wajahnya datar-datar saja.
"Kita pulang sekarang, Dek?"
Sera jadi ingin menangis. Jantungnya serasa dicubit mendengar nada tak bersemangat dari si kakak. Jadi, dia gagal lagi? Rapornya kali ini hanya diisi angka tujuh lagi?
Gadis itu berdiri. Wajahnya menghadap ke bawah. Bahu itu jatuh, lesu. "Maaf, ya, Pa." Suaranya terdengar lirih, penuh penyesalan.
Riandi diam saja. Pria itu menghela napas, kemudian mulai melangkah ke mobil. Sera ikut masuk ke mobil, sudah akan menutup pintu, teriakan Tiara menginterupsinya.
"Ini kuaci lo! Lima puluh bungkus, seperti yang gue janjiin." Tiara memeluk Sera erat. Tak lupa mencubit pipi temannya. "Sayang banget gue sama lo!"
Tergamam, Sera mengernyitkan dahi. Lima puluh bukus kuaci di pangkuan ia pandangi dengan heran.
"Sera! Selamat!"
"Sera! Gue nggak pernah nyangka akan sesenang ini atas pencapaian orang lain."
Budi dan Andre muncul. Dua pemuda itu mengatakan hal aneh. Menyalaminya pula. Sera makin tak paham saat menyadari ayah dan kakaknya sudah berdiri di samping mobil, di hadapannya.
"Lo, kok, ndak senang?" Budi bertanya heran.
"Ngapain gue harus senang?!" Sera frustrasi. Budi pasti sengaja mengejeknya.
"Ujian Bahasa lo dapat delapan, lo nggak senang?"
Menahan napas, mengembuskannya, Sera menyipit pada Andre. Kepala gadis itu meneleng, sangsi temannya sanggup mengerjai padahal ia sedang sedih.
Julian di belakang teman-temannya tertawa. Laki-laki itu menatap Sera tepat di mata. "Berhasil, Adek. Kamu berhasil dapat nilai delapan, satu biji."
Di samping Julian, Riandi membuka lembar rapor, kemudian menunjukkannya ke hadapan Sera. "Umur Papa nambah setahun Nak. Terima kasih banyak."
Sera melonjak dari kursi mobil. Tak peduli pada berbungkus kuaci yang jatuh dari pangkuan, gadis itu menghampiri Riandi. Mengambil rapor dari tangan si Papa, kemudian meneliti angka-angka di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
First (Touch Your Heart)
Teen FictionSera Riandi. Remaja yang hobi mencatat semua uang yang papanya keluarkan untuknya. Dicatat sebagai utang, nanti setelah bekerja akan dilunasi dengan cara mencicil. Takut memberi kepercayaan pada orang lain, Sera juga merasa tak pantas menerima semu...