Arkala melirik dongkol pada Sera di sebelah kiri. Gadis itu duduk di salah satu kursi yang ada di pos satpam ini. Mereka sedang menunggu Julian.
Bagaimana Arkala tidak dongkol? Ia sudah menawarkan diri untuk mengantar sang teman, karena Julian bilang masih ada pekerjaan yang tak bisa ditinggal begitu saja. Kakaknya Sera itu baru bisa datang setelah pekerjaan yang dimaksud selesai. Namun, Sera menolak.
Sera kukuh menunggu Julian atau pulang sendiri. Jelas, Arkala tak mengizinkan temannya pulang seorang diri. Demam Sera tinggi, bahkan tadi sempat mimisan. Kalau Sera pingsan di jalan, sendirian, semua akan semakin kacau.
Arkala sudah akan meminta Riandi datang untuk menjemput. Ide itu pun ditolak juga. Si cowok bingung apa Sera sama sekali tak sadar dengan kondisinya sekarang?
"Lo itu kenapa, sih? Makin hari makin suka bikin orang dongkol?"
Sera tak menjawab. Perempuan itu bersin sebanyak tiga. Hidungnya mulai memerah, sedang wajah terlihat semakin lesu.
"Lo sadar nggak apa yang udah lo bilang ke Budi kemarin itu kasar banget?"
Sera menoleh. Sebentar saja, sebab selanjutnya kembali menatap lurus ke depan.
"Lo udah minta maaf memang. Tapi, bukan berarti itu selesai. Kenapa, sih, lo? Aneh banget belakangan ini?"
Arkala berdecak karena pertanyaannya tak mendapat jawaban. Pemuda itu memutuskan untuk tak besuara lagi. Mungkin, memang bukan ini waktunya membahas itu semua.
Julian belum kunjung datang, Arkala melihat Santi dan beberapa temannya berjalan menuju pos satpam. Empat orang gadis itu sepertinya akan keluar, tetapi menyempatkan diri berhenti untuk menemui Sera.
"Kenapa lo? Sakit? Udah mau mati?" Santi bertanya. Awalnya air muka gadis itu sedikit ramah. Namun, karena Sera tak menghiraukannya, jadi ekspresinya pun tampak kesal. "Anak pungut aja belagu. Kasihan banget bokap lo mungut anak belagu kayak lo!"
Usai mengatakan itu, Santi dan teman-temannya pergi. Arkala menengok pada Sera. Gadis itu masih terlihat biasa saja. Wajahnya seperti orang demam kebanyakan, tetapi tanpa ekspresi berarti, seolah-olah barusan tak ada yang bicara padanya.
Arkala menghela napas. Ia mendekat pada Sera. "Gue antar aja."
Sera menggeleng. Gadis itu berusaha tak membuat kontak mata dengan Arkala.
Tak lama, klakson mobil terdengar, bersamaan dengan sebuah kendaraan yang melewati pagar sekolah. Julian sudah datang.
Julian memutar mobilnya, kemudian turun. Menghampiri sang adik, wajah lelaki itu tampak gusar.
"Nggak mau gue antar, Bang. Keras kepalanya lagi kumat," jelas Arkala.
Julian mengangguk paham. "Makasih udah ditemenin, ya, Ka." Ia hendak menggendong sang adik. Namun, Sera menolak.
Tanpa bicara, perempuan itu berjalan ke mobil dan masuk ke sana. Membiarkan Arkala dan Julian mematung di tempat masing-masing dengan ekspresi tak tenang.
"Jangan dipaksa ngomong dulu, Bang Jul," ujar Arkala hati-hati, tak mau dianggap menggurui. "Lagi pusing mungkin itu dia. Takutnya, malah ngamuk."
Julian berusaha membuat senyum. "Makasih, ya, Ka," katanya lagi, kemudian pamit.
Menempati kursi belakang kemudi, Julian mendapati adiknya membuang pandangan ke arah jendela. Sama sekali tak mau menoleh, sepanjang perjalanan.
Julian berusaha mengingat saran Arkala. Lelaki itu menekan keinginan untuk bertanya mengapa Sera sampai harus keras kepala begini. Memaksa masuk sekolah, memaksa belajar, padahal keadaan tubuh sedang tidak bugar. Pun menolak diantar Arkala pulang, padahal sedang sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
First (Touch Your Heart)
Teen FictionSera Riandi. Remaja yang hobi mencatat semua uang yang papanya keluarkan untuknya. Dicatat sebagai utang, nanti setelah bekerja akan dilunasi dengan cara mencicil. Takut memberi kepercayaan pada orang lain, Sera juga merasa tak pantas menerima semu...