4 | Kalau Sudahlah Pulang

1K 63 0
                                    

Harusnya hari ini Arkala menjadi tutor untuk Sera. Hari pertama mereka. Namun, karena gadis itu tidak masuk--kata Tiara sedang sakit--maka Arkala memutuskan untuk segera pulang.

Rezeki nomplok. Walau hari ini tidak menjadi guru untuk Sera, Arkala tetap dibayar. Lima puluh ribu, ia dapat dari Tiara yang dititipi Sera amanat. Karena itu, Arkala pulang ke rumah dengan membawa beberapa belanjaan.

Arkala membeli ikan teri, tahu, sayuran dan beras. Sisa lima puluh ribu itu ia berikan pada Arvan dan Luis untuk jajan.

Mengganti seragam dengan kaus rumah, Arkala mulai menyelesaikan satu per satu pekerjaan. Cuci piring, cuci pakaian yang tadi pagi belum sempat disentuh Winda, menyapu dan mengepel, membereskan belanjaan, lalu memasak.

Sayur sawi putih itu akan Arkala masak kuning bersama tahu yang tadi dibeli. Akan ia tambahkan sedikit kemiri, agar gurih. Ikan teri digoreng, ia buat sambal terpisah.

Pemuda berusia 17 tahun itu telaten dan familiar dengan semua pekerjaan rumah tangga karena sudah terbiasa. Ibu mereka yang merupakan seorang asisten rumah tangga kerap kerepotan membagi waktu dulunya. Karenanya, Arkala mulai belajar sedikit-sedikit hingga akhirnya seandal sekarang.

Arkala tak mungkin membiarkan Winda menanggung beban itu sendirian. Mencari uang dan mengurusi rumah. Ibu mereka pasti sangat lelah. Karenanya, sebisa mungkin Arkala membantu. Entah mencari uang tambahan atau menggantikan peran ibunya di rumah.

Ayah mereka pergi dari rumah dua tahun lalu. Ada yang bilang kerja di luar kota ada juga yang berkata sudah kawin lagi. Yang Arkala yakini, pria itu melarikan diri dari tanggung jawab.

Dua tahun pergi, tak pernah sekali pun mengirim nafkah untuknya dan adik-adiknya. Membuat Arkala lelah berharap orang itu pulang dan pelan-pelan lupa bahwa dirinya punya ayah.

"Bang Ar, dapat uang dari mana?" Luis datang ke dapur dengan es krim di tangan. Wajah anak usia delapan itu semringah.

"Kerja, dong." Arkan menjawab sembari memarut kunyit, Ia melihat Arvan datang tak lama kemudian. Namun, tidak membawa apa-apa di tangannya. "Nggak jaja, Van?"

Arvan menggeleng. "Untuk besok aja, Bang. Lumayan, nggak minta ibu lagi."

Arkala tersenyum lebar. Mengangkat kepalan tangan, lalu disambut Arvan bangga.

"Abang kerja di mana lagi?" Arvan yang diberi tugas mengontrol Arkala sebisanya, memicing ke arah si kakak.

"Ngajarin temen kakak. Lima puluh ribu sehari."

"Ngasih les?" Si bocah SMP bertanya lagi. Dibalas anggukkan, ia lega.

"Ini ikan teri, 'kan? Anaknya ikan asin?" Luis menunjuk ikan teri yang sedang Arkala rendam.

"Iya. Luis mau, 'kan?" Arkala mulai merajang sayurnya.

"Mau, dong. Udah bosan makan ibunya terus."

Arkala berterima kasih pada Sera. Jika bukan karena gadis itu, senyum Arvan dan Luis mungkin tak akan secerah sekarang.

***

Malam harinya, saat sudah akan pergi tidur, Arkala teringat pada Sera. Pemuda itu meraih ponsel, mencari kontak Sera yang sudah sempat disimpan.

[Kata Tiara, lo sakit.]

Ada jarak tiga menit hingga pesan itu dibaca. Balasan yang Arkala terima adalah foto lengan yang ditempeli jarum infus.

[Itu tangan lo?]

Berikutnya Arkala mendapat kiriman foto Sera di atas ranjang. Gadis itu menutup sebagian wajah dengan lengan.

Arkala tersenyum. Itu memang Sera. Ia ingat bentuk dan warna mata gadis itu.

[Parah? Sampe masuk RS.]

[Tiara udah sampein titipan gue, 'kan?]

[Udah.]

[Terus?]

Alis Arkala menyatu.

[Terus apanya?]

[Kenapa nge-chat gue?]

[Oh, nggak boleh. Sori.]

Ada jeda sekitar sepuluh menit sampai Arkala menerima pesan balasan.

[Sampai ketemu hari Rabu.]

[Lo masih nggak masuk besok?]

[Kutang gue belum kering.]

Arkala melempar ponsel. Pemuda itu terkejut hingga jantung berdetak cepat sekali. Candaan Sera sungguh di luar nalar. Sungguh kurang ajar.

Ponselnya kembali bergetar, Arkala meraih benda itu takut-takut.

[Lo berenti nge-chat akhirnya. Gue mau tidur dulu.]

"Sialan nih, cewek," gerutu Arkala. Ia menaruh ponsel ke atas meja di samping ranjang. Berbaring telentang dan bersiap tidur.

***

Sementara itu, Sera yang sudah akan menyimpan ponsel, tertangkap basah oleh Julian yang kembali lebih cepat dari dugaan.

"Nggak jadi makan?"

"Udah. Kenapa belum tidur? Kakak udah duga. Kamu mana bisa tidur kalau nggak ditemenin." Pria itu duduk di bangku samping ranjang. Meraih tangan adiknya untuk digenggam.

"Kak. Mau nanya."

"Sambil tidur, ya. Udah malem, Dek."

Sera mengangguk. Ia memejam. "Cowok bisa malu, ya, Kak?"

"Cowok? Ya, bisalah. Kami juga manusia. Punya kemaluan."

Sera terbahak. "Katanya suruh tidur. Malah ngelawak."

"Tumben nanya cowok. Nggak usah cari masalah, ya? Kakak belum mau saingan sama cowok lain. Papa aja udah bikin sakit kepala,"

"Kalau bahas kutang, Kakak bakal malu juga atau nggak?"

Tidak mendengar suara, Sera membuka mata. Ia mendapati Julian melotot dengan mulut menganga.

"Kamu mulai aneh-aneh, ya? Ngapain bahas kutang sama cowok lain? Biasa kamu pergi beli sama Kakak, Dek. Ngajak siapa kamu?" Karena Sera malu pergi dengan asisten rumah tangga mereka, Julianlah yang kerap menemani adiknya membeli perlengkapan perempuan itu.

Si adik menggeleng. "Nggak, Kak. Tadi, temen aku nanya. Banyak banget. Terakhir, dia nanya kapan aku masuk sekolah. Aku jawab tunggu kutangku kering." Gadis itu mengulas senyum. "Dia berhenti nge-chat. Malu, ya?"

Julian menjawil hidung Sera. Ia sudah sempat cemas, pikiran sudah traveling. "Siapa? Kamu punya teman selain Tiara?"

"Itu, Arkala. Yang jadi tutor. Dia malu, ya, Kak?"

"Terkejut dan anggap kamu keterlaluan kali. Udah. Tidur dulu." Julian menaikkan selimut Sera hingga dagu.

First (Touch Your Heart) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang