27 | Bukan Siapa-siapa

694 49 1
                                    

Suara benda jatuh lalu pecah menggema di lantai satu rumah. Bersamaan Riandi, Julian dan Bu Harti datang ke sana.

Sera, dalang dari keributan itu gegas berjongkok. Wajahnya mendadak pucat. Pecahan gelas yang berserak di lantai ia pungut dengan tangan kosong.

"Ma--maaf, Pa. A--aku nggak sengaja. A--ku beresin, aku janji." Gadis itu gemetar, pecahan gelas yang dipegang digenggam kuat, hingga tanpa sadar melukai kulit telapak tangan.

Cairan merah mengalir dari tangan Sera.

Julian segera memegangi pergelangan tangan adiknya. "Lepas, lepasin kacanya, Sera." Ia mengurai lima jemari Sera yang menggenggam beberapa pecahan beling. Bukannya menuruti ucapan, gadis di sana malah menjatuhkan air mata.

"Sera, lepaskan ini." Riandi menaikkan nada, mencoba membuat Sera sadar. Putrinya itu tampak tak fokus dan bingung.

Deru napasnya cepat, Sera mulai merasakan perih dari luka di tangan. "Aku beresin. Aku nggak sengaja jatuhin tadi." Sorot matanya penuh ketakutan.

Julian meminta Bu Harti membereskan pecahan gelas dan tumpahan air itu. Ia membawa adiknya untuk duduk di sofa. Menarik kotak P3K dari bawah meja, kemudian mulai merawat luka di telapak tangan Sera.

"Kenapa belum tidur? Ini hampir tengah malam." Julian melirik sekilas wajah si adik. Kejadian ini hampir sama dengan yang beberapa hari lalu.

Beberapa malam lalu, Sera juga seperti ini. Gadis itu menjatuhkan piring kemarin. Lewat pukul satu, saat Julian bertanya kenapa Sera ada di dapur, si adik mengaku lapar sambil menangis.

Kejadian ini pasti sama.

"Nyalin catatan. Aku ketinggalan banyak materi." Sera menjelaskan tanpa menatap kakak atau ayahnya.

"Bisa besok lagi, Nak. Kamu juga perlu tidur." Riandi mengernyit melihat luka yang Julian sedang basuh dengan alkohol.

Sera mengangguk saja. Kepala gadis itu tertunduk dalam. Satu tangan yang bebas terlihat mengepal di pangkuan.

"Kenapa nangis? Sesakit itu lukanya?"

Kali ini yang ditanya menggeleng. Masih tak berani mengangkat kepala.

"Aku janji nggak akan jatuhin gelas dan piring lagi. Maaf. Aku akan lebih hati-hati."

Julian selesai membalut luka tadi dengan kasa. Ia menarik napas berat. Ini semakin aneh saja. Reaksi Sera ini berlebihan. Tak seperti biasanya.

"Aku udah pernah bilang, belum? Kalau ada benda pecah, jangan dipungut pakai tangan kosong. Dikumpul pakai sapu, masukin pengki."

Sera mengangguk.

"Kenapa tadi dipungut pakai tangan? Kenapa kamu melukai dirimu sendiri?"

"Maaf. Nggak sengaja."

"Kamu ini kenapa sebenarnya?" Si lelaki mulai tak sabar. "Jangankan ambilkan minum, minta dibuatkan nasi goreng tengah malam pun, kamu pernah. Kenapa tadi enggak minta tolong aku? Kamu beneran haus? Jangan-jangan lapar karena belum makan."

Sera menelan ludah. "Aku nggak mau nyusahin kamu. Kamu baru pulang tadi."

"Nyusahin gimana, Ser?" Julian menatap lurus pada adiknya.

Kalimat 'enggak mau nyusahin' itu mulai sering terdengar beberapa hari ini. Sera yang tak mau menyusahkan si kakak atau Riandi. Menolak diantar atau dijemput. Menolak dibawakan makanan apa pun. Menolak diberi uang saku lebih. Bahkan menurut Bu Harti, si bungsu itu sudah jarang makan siang. Saat ditanya kenapa, katanya supaya menghemat beras.

Seperti yang Sera katakan tadi. Julian belum lama sampai di rumah. Harusnya, adiknya itu bisa minta tolong dibuatkan makanan atau sekadar ditemani ke dapur. Julian tahu benar Sera itu takut sendirian di dapur saat malam hari. Namun, mengapa malah mengerjakan semua ini seorang diri?

First (Touch Your Heart) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang