33 | Benar-Benar Ujian

670 55 1
                                    

Suasana sarapan pagi ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Di kursinya, Sera sedang melahap nasi dengan pipi basah. Sesekali suara isakan dan ringisan lolos dari bibirnya yang pucat.  Sedangkan Julian dan Riandi, dua orang itu sibuk meredam tawa yang mendesak ingin pecah.

Pagi yang dingin. Di luar hujan deras mengguyur. Terlampau mendadak, sebab tadi malam, langit cerah-cerah saja, bahkan dihiasi banyak bintang. Pagi hari, hujan pula, membuat siapa pun yang punya keperluan di luar rumah akan merasa enggan bergerak.

Hari ini Senin. Hari pertama ujian tengah semester Sera. Dan apa? Gadis itu demam. Suhu tubuh 37 derajat, hidung merah dan tersumbat. Bersyukur kepalanya tidak ikut-ikutan pusing. Kalau kepala juga sakit, mungkin gadis itu tak akan sanggup untuk tetap pergi ke sekolah.

Sera baik-baik saja dua hari lalu. Ia bahkan sempat mengulang meteri yang sudah dipelajari, baik bersama Arkala atau di sekolah. Namun, hari Minggu kemarin, tiba-tiba saja ia diserang demam. Sampai pagi ini, panas tubuh tak mau turun.

Semangat berapi-api Sera untuk menaklukan ujian perlahan hilang karena ngilu yang disebabkan demam. Ditambah hujan yang turun dengan derasnya. Gadis itu merasa sial sekali. Seolah-olah dirinya sengaja diberi sakit dan hari yang berhujan agar gagal dalam ujian.

Sera sedang dilanda kesal, ayah dan kakaknya marah terlihat terhibur. Mereka sibuk menyembunyikan tawa sejak tadi.

"Yah, aku nggak jadi dicarikan pacar, dong, kalau gini." Julian melirik sang adik, kemudian tersenyum mengejek. "Hujan, Adek. Enaknya tidur ini. Apalagi, kalau lagi sakit."

"Mau absen saja, Nak? Ambil ujian susulan?" Riandi memberi saran.

Sera menggeleng. "Nggak," jawabnya dengan suara serak. Gadis itu kemudian terbatuk. "Sial banget, sih, aku? Sehat-sehat aja, ujian belum tentu dapat delapan. Gimana sakit? Kenapa hujan harus datang pagi-pagi juga?"

Gadis itu menghentak kaki. Menandaskan air dari gelas dalam satu kali teguk, kemudian meringis karena hidungnya gatal.

Julian terbahak di tempatnya. "Ini pertama kalinya aku bisa ketawain kamu pas sakit, Dek. Ini yang paling lucu."

"Julian!" Sera mulai kesal. Matanya yang merah dan berair menyorot tajam pada sang kakak. "Nggak kasihan apa? Dari tadi ketawa terus!"

Lelaki itu bangkit dari kursi. Menciumi kepala adiknya, masih dengan sesekali tertawa. "Lucu, Adek. Wajah kamu waktu kesal itu lucu." Setelah memeluk sekilas, Julian berdiri tegak. "Ayok, udah siap? Biar aku antar."

"Izin saja, Nak. Apa kamu saggup ikut ujian?"

Sera mengangguk mantap. Setelahnya dia bersin dua kali. Wajah gadis itu kembali merengut. "Gini banget cobaan untuk dapat nilai delapan?" sungutnya sembari menyungging tas.

Gadis itu sudah bertekad. Entah dia demam atau tidak. Mau di luar ada badai sekali pun, ia akan tetap pergi ke sekolah dan menghadapi ujian. Bertarung dengan semua soal untuk mendapat nilai delapan. Satu biji.

***

Hari kedua ujian. Baru saja Sera menaruh tas di kursi beberapa menit lalu, sekarang ia sudah terlihat berlarian menuju kelas Arkala.

"Ka!"

Gadis itu menerobos masuk ke kelas Arkala. Menghampiri meja pemuda itu dengan napas tersengal.

Arkala melebarkan mata, pemuda itu beranjak dari posisi duduk. "Kenapa, Ser?" tanyanya cemas.

"Kartu Ujian. Kartu Ujianku tinggal."

Si pemuda berdecak. Dia berkacak pinggang. Dahinya berlipat tak semang. "Kemarin demam, sekarang Kartu Ujian. Niat ujian nggak, sih, Ser?"

Sera mengangguk. "Niat," balasnya.  Ia tarik tangan Arkala, kemudian mulai berlari. "Antar ke rumah. Boncengin ambil kartu ujian."

First (Touch Your Heart) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang