Ini sudah lewat setengah jam dari jadwal mereka bertemu di kelas Arkala. Namun, Sera tak juga menunjukkan batang hidung.
Arkala yang merasa punya tanggung jawab akhirnya pergi ke kelas Sera. Tas gadis itu di sana, tetapi tak ada yang tahu di mana si empunya. Ia turun dari lantai dua. Lapangan masih diisi oleh anak-anak ekskul basket, futsal dan lainnnya. Pemuda itu memeriksa kantin. Masih nihil.
Di depan kantin, Arkala yang hendak mengirim pesan pada Sera tak sengaja mendengar obrolan siswi yang lewat di hadapan.
"Santi pantang dibuat kesal. Siapa suruh cewek itu nolak diajak nonton?"
"Emang sombong, ya, anaknya? Anak kelas berapa, sih?"
"Sebelas IPS 3. Dibilang sombong, nggak juga. Itu hak dia mau kasih tahu siapa bokapnya atau nggak."
Dua siswi itu berlalu, Arkala mendapat simpulan. Yang dibicarakan tadi pasti Santi dan Sera. Pemuda itu berlari menghampiri sumber informasi tadi. Bertanya di mana Santi saat ini.
"Di belakang sekolah."
Tidak ada alasan untuk Arkala menolak menjadi pacar Santi Sanjaya. Gadis itu cantik, bertubuh proposional, berprestasi dalam olahraga dan ayahnya seorang yang kaya.
Tidak ada alasan Arkala menolak ajakan gadis itu berkencan, jika saja bukan karena perangainya. Santi itu jahat menurut Arkala. Dia suka menindas orang yang dianggapnya menyebalkan. Memang, semua orang harus membuat Santi senang?
Arkala yakin, kali ini Sera adalah target Santi. Dan benar saja. Saat tiba di area belakang sekolah yang dibatasi tembok, Arkala mendapati Santi sedang melayangkan ember kosong ke depan wajah Sera yang sudah terduduk dengan rambut kuyup.
"Jangan sombong makanya. Untung gue guyur pakai air bersih, bukan air comberan."
Sera menunduk, tak berniat menjawab. Sesekali gadis itu menyeka air di wajah. Pedih saat mengenai luka yang dihasilkan pukulan ember tadi.
Salah satu gadis di belakang Santi mendekat. "San, berdarah. Pelipisnya berdarah," bisiknya hati-hati.
"Biarin!" Santi tak peduli. "Lo camkan ini baik-baik. Nggak usah sok karena bokap lo itu pengusaha suskes. Lo nolak berteman sama gue, lo kira bisa selamat di sekolah ini?"
Santi sudah mengambil ember tadi. Hendak melemparnya pada Sera lagi, sampai suara Arkala menginterupsi.
"Pergi. Atau gue laporin ke guru lo semua." Berucap tenang, Arkala merasa darahnya mendidih melihat Sera pasrah saja menerima perlakuan tadi.
Tak mampu berkutik atas ancaman itu, Santi dan dua temannya pergi. Tentu saja dengan rasa tak suka yang semakin banyak pada Sera.
Hening cukup lama melingkupi Arkala. Gadis di depannya masih saja menatapi tanah. Tak bergerak sedikit pun.
"Lo bodoh, ya? Mau-maunya disiksa." Arkala mengusap wajah. Pemuda itu memegangi dua bahu Sera, hendak membantunya berdiri.
Sera meringis. Tak mampu bangkit. Perempuan yang rambut dan wajahnya basah itu meluruskan kedua kaki. Lututnya berdarah, yang paling sakit di pergelangan kaki.
"Kenapa? Lo mau nangis? Kalau sakit, harusnya tadi ngelawan. Orang kek dia, kalau lo diam, dia merasa menang."
Sera mengeringkan wajah dengan lengan seragam. "Sakit, Ka."
Arkala tahu pasti sakit. Dia tidak buta. Ada darah. Di lutut dan pelipis Sera. Hanya saja, yang ia cari tak ada. Sera tidak menangis. Hanya meringis pelan.
"Itu cuma lecet. Lo masih bisa jalan."
Si gadis menggeleng. "Pergelangan kaki gue diinjek tadi. Sakit, Ka. Nggak bisa diri." Ia menatap Arkala lurus-lurus. "Bisa bantuin gue ke kelas, nggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
First (Touch Your Heart)
Roman pour AdolescentsSera Riandi. Remaja yang hobi mencatat semua uang yang papanya keluarkan untuknya. Dicatat sebagai utang, nanti setelah bekerja akan dilunasi dengan cara mencicil. Takut memberi kepercayaan pada orang lain, Sera juga merasa tak pantas menerima semu...