21 | Budak

760 53 2
                                    


Suasana lapangan sekolah ramai pagi ini. Bukan akan mengadakan upacara, SMA Harapan tengah akan melaksanakan beberapa lomba. Lari, voli antar kelas, badminton dan memasak. Semua itu untuk merayakan HUT sekolah.

Sebagian siswa dan guru yang ikut lomba lari, voli dan badminton turun ke lapangan. Sekadar berlatih untuk acara utama besok.

Di antara siswa-siswa itu ada Sera. Tidak ikut lomba, ia hanya menjadi penonton tim kelasnya di pinggir lapangan.

Sesekali mengobrol dengan Tiara, semula semua aman. Sampai tiba-tiba saja sebuah bola melesat cepat ke arah Sera. Harusnya mengenai tepat wajah gadis itu, jika saja Arkala tidak sigap menahan

Arkala yang berdiri di depan temannya, menatap geram pada si pelaku. Santi. Sungguh ia ingin langsung menghampiri kakak kelas menyebalkan itu, jika Sera tak lebih dulu menahan lengan.

"Tolong ikat rambut gue, dong. Panas."

Si pemuda mengambil tempat duduk di belakang Sera. Tak lama, Budi dan Andre ikut bergabung di sana.

"Keterlaluan memang itu. Kena muka lo, mimisan pasti, Se." Andre membuang pandangan tak suka pada Santi,

"Lo berdua ngapain?" Budi mengerutkan kening melihat aksi Arkala yang mengutak-atik rambut Sera.

"Menurut lo, Bud?" Tiara mesem-mesem. Ia menghadap Sera dan menontoni pemuda di belakang temannya. "Arkala bisa jadi budak juga ternyata."

"Budak cinta." Andre menyambung, lalu ber-high five dengan Tiara.

Tak lama, sosok Santi dan dua temannya datang ke sana. Kakak kelas dengan seragam olah raga itu bersedekap, menatap remeh pada Sera.

"Gue denger, lo itu ternyata anak pungut, ya? Pantas selama ini pura-pura sembunyikan identitas. Ternyata cuma anak adopsi."

Santi mendengar hal ini dari teman baiknya, Bima. Bima tahu dari ayahnya yang kebetulan adalah rival ayahnya Sera dalam bisnis kuliner.

Fakta ini jelas membuat Santi merasa berang. Gadis yang sudah berani bersikap sombong padanya itu tak lebih dari sekadar anak pungut. Berani sekali Sera bersikap congkak padanya?

Baru saja Arkala ingin membuka mulut, Tiara sudah lebih dulu bersuara.

"Memang kenapa kalau anak adopsi. Yang jelas, Om Riandi itu sayang sama Sera. Lo kenapa? Iri? Mau dipungut juga?"

"Mana ada yang mau, Ti," sambung Arkala. Ia dan Tiara sama-sama terkekeh.

"Lo diem aja, budak!" Amarah Santi menggelegak. Ia menatap Arkala penuh emosi. "Lo itu juga sama hinanya dengan dia. Lo mau-maunya dekat sama dia karena uang bokapnya, 'kan? Berharap bisa nguras uangnya, 'kan? Tukang morotin kayak lo mati aja harusnya!"

Mendengar hal tersebut, Sera tak mampu menahan diri. Gadis itu mengangkat wajah, menatap lurus-lurus pada Santi.

"Apa? Nantangin gue?" Santi menaikkan dagu. "Atau lo mau ngadu ke bokap tiri lo lagi?" Ia dan dua rekannya tertawa.

"Lo mau tahu gue hidup di mana sebelum diadopsi Papa?"

Santi melempar tatapan malas. "Emang gue peduli?"

"Gue hidup di jalanan. Menggelandang. Lumayan lama, enam bulan. Gue sempat punya beberapa temen anak jalanan dan pengamen juga."

Santi tertawa sinis. "Si gelandangan. Lagi berbagi kisah lo? Maaf, gue nggak tertarik." Ia mengibas-ngibaskan tangan.

"Biar lo tertarik, perlu gue minta tolong mereka nyamperin lo sepulang sekolah besok? Agak galak, sih, mereka sama orang usil kayak lo. Malak, mukul atau lo mau gue kenalin ke premannya aja?"

First (Touch Your Heart) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang