17 | Cewek

777 59 0
                                    

"Ka!"

Sera berteriak dari pinggir lapangan. Kelasnya sedang jam kosong, Arkala tengah bermain bola di lapangan. Entah memang kesurupan atau memang sangat haus, Arkala meminta Sera mengantarkan air mineral.

"Minumnya, Tuan." Menyindir, raut wajah Sera tak berubah sama sekali ketika Arkala menghampiri. Tenang, hanya sedikit mengernyit karena sinar matahari yang sedang cerah-cerahnya.

Arkala tergelak, menoleh pada teman-temannya dengan gerakan kepala seolah mengangguk. Ia meneguk air botol di tangan. Menatap pada Sera yang terlihat kepanasan, pemuda itu mendongak.

"Panas, ya? Padahal, gue mau nepatin janji ke lo."

Alis Sera menukik satu. "Lo janjiin apa ke gue?"

Dagu Arkala menunjuk ring basket di kanan lapangan. "Katanya, mau taruhan. Yang paling banyak masukin bola ke keranjang, menang. Yang kalah, harus manjat pohon mangga dan ngegantung lima menit di salah satu dahan."

Pelajaran olahraga ini, guru mereka membebaskan anak cowok untuk main bola, sementara yang cewek bermain badminton. Hanya diawasi separuh jalan, Arkala ingin membolos dan mengajak Sera melakukan rencana taruhan mereka kemarin. Bertepatan sekali, kelas si gadis memang sedang kosong.

"Oh, itu." Sera mengangguk-angguk. "Ayok." Ia berjalan lebih dulu ke sana karena Arkala ingin mengambil bola basket dulu.

Karena lapangan tidak kosong dan kebetulan ada yang bermain bola, tidak sengaja tendangan salah satu teman sekelas Arkala mengenai kaki Sera. Tidak sampai membuat cewek itu jatuh, hanya sedikit memerah dan terkejut.

"Sori, ya, Sera. Gue nggak sengaja, sumpah." Alvin menghampiri. Ia ketar-ketir saat Arkala menghampiri. "Gue nggak sengaja Ar."

Sera memiringkan kepala. "Tahu nama gue? Kok bisa?"

Menanggapi permintaan maaf Alvin dengan anggukkan, Arkala diam-diam memerhatikan kaki teman perempuannya. Memastikan tidak ada cedera serius.

"Tahulah. Lo kan ceweknya Arkala." Alvin mesem-mesem. "Kakinya nggak pa-pa, 'kan? Sekali lagi, maaf, ya."

Alvin pergi, Sera dan Arkala meneruskan jalan menuju ring basket.

"Gue cewek lo, Ka? Kata siapa?"

Arkala menengok dan mengamati raut wajah Sera. Masih biasa saja. Tampaknya, memang tidak ada yang bisa membuat perempuan itu merona. "Lo mau jadi cewek gue?"

Sera menggeleng polos. "Gue kan temen lo."

"Temen juga bisa jadi demen." Mereka tiba di ring basket. Arkala memantul-mantulkan bola beberapa kali. "Gue nggak pernah bilang lo cewek gue. Mereka aja yang menyimpulkan sendiri karena kita sering bareng dan kelihatan dekat."

Arkala menembak bola ke keranjang. Masuk.

"Lo nggak punya cewek?"

Pertanyaan itu membuat Arkala berhenti memantulkan bola. Ia sedang berpikir. Benar juga. Sudah sebulan sejak putus dari Intan sebulan lalu. Rekor, karena ia betah menyandang status jomlo selama 30 hari.

Kembali menjatuhkan bola ke lapangan, Arkala menggeleng sebagai jawaban. "Mendadak nggak ada yang cantik lagi di mata gue, setelah ketemu lo." Sengaja ia berucap pelan agar Sera tidak dengar.

"Apa, Ka?"

Arkala menggeleng. "Nggak ada." Berhenti mendribble bola, Arkala menatap serius pada Sera. "Lo sendiri? Pacar lo siapa sekarang?"

"Nggak ada." Sera merebut bola dari tangan Arkala.

"Sebelumnya, siapa?"

"Gue belum pernah pacaran, Ka. Nggak berani ngelawan Kak Julian. Kata dia, kalau gue pacaran, gue bakal dipasung." Gadis itu bergidik mengingat ancaman sang kakak yang saat ia baru pertama masuk SMA.

Arkala tertawa saja mendengar itu. Jelas itu tak mungkin. Julian mana tega memasung adik kesayangannya. Paling hanya menggertak agar Sera tidak pacaran dan terjerumus pada hal-hal yang salah.

Arkala tidak menampik. Pacaran di usia muda begini selain ada dampak positif, juga punya sisi negatif terkadang.

Muda, merasa sudah dewasa, merasa berhak bertindak sesuka hati dan merasa risih akan aturan yang dianggap mengekang, lebih rentan akan kemungkinan salah jalan.

"Kalau Bang Jul kasih izin, lo mau pacaran?" Arkala jadi penasaran.

Kepala Sera menggeleng. "Nggak ngerti gue sama yang gitu-gituan, Ka."

"Nggak ngerti gimana?" Obrolan ini makin seru bagi Arkala. Ia juga ingin tahu sebagian isi kepala Sera. Pemuda itu bersedekap, menanti gadis di depan mulai menjelaskan.

"Nggak ngerti aja. Memang dasar otak gue dodol aja."

Arkala kecewa. Ia tak bisa mendengar lebih banyak rupanya. Daripada memikirkan hal yang tak bisa dipecahkan, pemuda itu pun memulai pertandingan mereka.

Sesuai dugaan Arkala, Sera memang tak begitu ahli dalam basket. Sama-sama memiliki sepuluh kali percobaan, cewek itu hanya mampu memasukkan bola ke ring sebanyak 3 kali. Arkala lima kali, jadi Arkala yang menang.

Di jam istirahat mereka pergi ke belakang sekolah. Wajah Arkala semringah menatapi dahan kukuh yang coba untuk Sera gapai.

"Gue harus manjat bangku ini biar nyampe." Sera naik ke bangku kayu di bawah pohon. Dua tangan akhirnya bisa memegangi salah satu cabang.

Di bawah, Arkala sudah tergelak. "Lo nggak manjat dulu, Ser?"

"Harus manjat juga? Gue nggak bisa kayaknya." Berkata demikian, tetapi Sera malah mengangkat kaki dari bangku dan berusaha memanjat batang pohon yang besar.

Sedikit sulit, tetapi ternyata Sera berhasil naik ke atas dahan yang tadi ia pegangi. Berdiri di sana, si perempuan melihat ke bawah.

"Udah? Apa harus berdiri di sini lima menit juga, Ka?"

Mendongak, terdiam beberapa saat, Arkala segera membawa pandangan turun. Jakunnya bergerak gelisah. "Turun lo, Ser."

"Nggak jadi lima menit." Sera menikmati pemandangan dari atas pohon. Tidak begitu tinggi, tetapi cukup membuat adrenalin terpacu. "Takut gue, Ka. Rasanya kayak goyang-goyang."

"Turun, Ser," ulang si pemuda.

"Bentar lagi, Ka. Tangan gue udah keringatan." Sera ingin menantang diri sendiri. "Hitungin lima menit coba, Ka."

"Nggak. Turun sekarang."

"Kenapa? Bel masih lama juga. Lo kenapa nunduk? Lihat gue. Ini pencapaian buat gue. Bisa naik ke tempat lumayan tinggi. Gue takut ketinggian, Ka."

Membuang napas kasar, Arkala menjawba, "Lo itu cewek, Ser. Lo lupa?"

"Apa hubungannya?"

"Lo pakai rok. Dari bawah sini, orang bisa ngintipin rok lo. Turun sekarang, cepetan!"

Mulut Sera membentuk huruf O. Ia mengangguk-angguk, mulai bergerak turun. "Berarti, lo udah ngintipin rok gue tadi?"

Wajah Arkala memerah, pemuda itu gelagapan. "Nggak sengaja gue. Maaf."

Sudah kembali berdiri di atas bangku, Sera berkata, "Nggak pa-pa. Gue kan pakai celana pendek di dalam rok. Lo mana bisa lihat apa-apa."

"Tetap aja harusnya nggak boleh. Lo jangan ngulangin kayak gini sama cowok lain, ya?" Sera sudah menggantung dengan dua tangan di cabang pohon saat Arkala akhirnya mengangkat wajah.

"Kenapa?"

"Karena nggak semua cowok sebaik gue." Arkala tersenyum pongah. Ia mengeluarkan ponsel, menyalakan stopwacth di sana. "Lima menit, ya. Berotot, berotot lengan lo, Ser."

"Kenapa? Kalau gue berotot, nggak cantik lagi si mata lo?"

Arkala mencibir. "Kapan gue bilang lo cantik?"

"Tadi. Pas di lapangan."

Arkala mengutuk. Matanya menatap geram pada ekspresi tak berdosa Sera itu. "Lo ... dengar?"

"Gue harus pura-pura nggak dengar? Oke."

Dasar Sera! Cewek aneh!

First (Touch Your Heart) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang