28. Jaka dan Nara

513 37 3
                                    

04.30 WIB

Jaka berjalan santai di sepanjang lorong stasiun MRT Fatmawati. Sebuah tas hitam menggantung di punggungnya. Jaket parasut hitam menyembunyikan baju jaga di dalamnya.

Belakangan ini Jaka yang tadinya menyetir mobil dari rumah tantenya, beralih menjadi pengguna MRT. Kemacetan alasannya. Lagipula jika dipikir-pikir pilihan ini jauh lebih menghemat tenaga, waktu, dan uang. Tiga hal yang sangat berharga di masa pendidikan dokter spesialis.

Jaka selalu menjadi salah satu yang pertama datang ke stasiun. Pagi itu suasananya begitu sepi, hanya ada para petugas dan beberapa karyawan kantoran, name tag mereka menggantung di leher.

Jaka kontak mata dengan salah satu petugas yang sedang membersihkan lantai di sebuah sudut, sisi kanan tubuhnya tersinari lampu elektrik sebuah vending machine. Jaka menundukkan kepalanya, "Pagi, Pak." Sapanya.

"Pagi, Mas."

Jaka berjalan menuju vending machine itu, seperti yang ia lakukan setiap hari. Ia menatap minuman-minuman kaleng yang berjejer di balik lapisan kaca, menimbang-nimbang jenis minuman apa yang akan dipilihnya.

Lima menit kemudian Jaka sudah berjalan kembali menuju lorong tunggu tempat kereta berhenti dengan sebuah susu kaleng di tangannya. Ia belum sempat sarapan, namun dilihatnya belum ada toko makanan yang buka. Handphonenya bergetar, sebuah panggilan dari bibinya.

"Halo, A? Haduh udah berangkat ya, Kasep?"

Jaka tersenyum mendengar suara Bi Yanti yang panik. Sejak ia berangkat naik MRT, hampir setiap pagi ia mendengar suara panik ini.

"Bi Yanti baru bangun! Kesiangan lagi bikin sarapan! Besok janji bangun pagi!" Adik perempuan paling kecil dari ayahnya ini memang panikan... dan selalu terlambat bangun. Dulu saat Jaka baru pindah ke Jakarta dan menempati rumahnya, pamannya berterimakasih pada Jaka. Lega katanya, tahu istrinya yang panikan ini dan 2 anak perempuannya yang masih sekolah SD ada yang menjaga. Maklum, pamannya berprofesi sebagai pilot pesawat terbang, terpaksa harus meninggalkan rumah dalam waktu yang lama.

"Iya Bi, gampang." Jaka tertawa. "Aa bisa beli makan di jalan."

"Maafin Bi Yanti ya... Aduh Bi Yanti mau nabokin pipi sendiri rasanya."

"Jangan atuh sakit, Bi." Ucap Jaka sok serius.

Bi Yanti tertawa di ujung telepon. "Iya atuh, sukses terus lah pokoknya di rumah sakit! Awas jangan lupa makan!"

"Gak usah diingetin kalau soal makan mah, Aa nomor satu."

"Ai sekarang memangnya udah makan?"

Jaka mengangkat susu kalengnya. "Kalau susu dimakan atau diminum?"

"Diminum atuh."

"Berarti belum makan, udahnya minum. Belum ada toko yang buka di stasiun, nanti Aa makan di rumah sakit aja."

"Aduh sebelum itu atuh kalau bisa A. Kalau sampe tempat kerja nanti keburu ada kerjaan gak sempet makan lagi. Bi Yanti doain semogaa keponakan Bibi nu pangbageurna ieu bisa sempet makan sebelum kerja, bisa dapat rezeki baik. Amin."

Jaka tersenyum menahan tawa. "Amiiin." Pintu kereta pertama hari itu terbuka. "Eh Bi, udah dateng keretanya, udah dulu ya." Jaka mulai berjalan memasuki pintu kereta, mengambil posisi di ujung dekat dengan pintu, sedikit bersandar pada tiang. Walaupun banyak kursi yang kosong, dia lebih suka berdiri. Ia mencari-cari earphone di kantong jaketnya.

Ah, ketinggalan.

Seorang perempuan buru-buru masuk ketika pintu sudah mau menutup. Tingginya sebahu Jaka, badannya mungil, rambut hitamnya lurus panjang tergerai. Dia mengenakan kemeja putih dan rok coklat selutut. Kedua tangannya penuh membawa 4 paper bag berwarna coklat.

HospitalshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang