Ziva menopang dagunya sambil melihat ke luar jendela pesawat. Gemerlap Kota Surabaya terlihat semakin jelas ketika pesawat mendekati landasan, seperti bintang-bintang yang terlalu terang. Ia membayangkan ada berapa orang yang bebas beraktivitas di bawah lampu-lampu itu, melakukan hal-hal yang tidak bisa ia lakukan: mengobrol di kafe-kafe bersama teman lama, mungkin dalam perjalanan untuk menonton bioskop di mall bersama keluarga, atau mungkin sekadar jalan-jalan santai bersama pacar. Ini kan Malam Minggu, pasti ramai.
Normal.
Ziva tidak tahu apa arti kata itu. Lagi pula apa tolak ukur 'normal'?
Baru tengah malam kemarin ia naik pesawat di Los Angeles International Airport, siang bertemu dengan seorang produser di Singapura, dan malam ini ia sudah berada di pesawat lain, yang sebentar lagi mendarat di Surabaya.
Bagi anak tunggal pasangan aktor dan aktris terkenal seperti Zivana Denia Fara yang hidup di bawah lampu sorot panggung sejak kecil, hari ini seharusnya menjadi hari yang 'normal'.
Seharusnya.
Ziva menghela napas, andai saja ia bisa terbiasa dengan ketidaknormalannya ini. Bukannya ia tidak menyukai pekerjaannya, ia sangat senang membuat karya. Hanya saja...
Alarm handphonenya berbunyi.
20.00 drakor on netflix!!!
Ziva memutar matanya. Mana bisa. Satu lagi jadwal untuk dirinya sendiri harus dibatalkan. Tidak sempat dan ia terlalu jet lag. Tapi lumayan, ada waktu 2 jam sebelum ia harus datang ke pesta itu. Dipotong perjalanan ke hotel tempatnya menginap nanti, mungkin akan ada waktu 1 jam untuk tidur... ah ia lupa menghitung waktu untuk berganti pakaian dan perjalanan waktu ke tempat pesta ulang tahun itu. Dengan jengkel ia menegakkan tubuhnya di kursi pesawat.
"Ah udah mau sampe ya?" Lia, manajernya, berucap dengan nada kelelahan. Ia duduk disamping Ziva, hanya terpisah 1 ruang untuk jalan.
"Astaga." Ia menengok ke arah Ziva.
"Kenapa?" Tanya Ziva bingung melihat Lia yang melotot ke arahnya.
"Ziv, makeup kamu harus lebih tebel deh kayaknya nanti. Aku panggilin MUA ya di hotel... kelihatan capek banget muka kamu."
Ziva terkekeh tidak heran. "Iya, gampang."
"Hoodie ada kan? Jangan lupa nanti dipake pas turun."
Ziva mengangkat hoodie biru lama di pangkuannya. "Ada."
Lia mengangguk, kemudian merasa bersalah. "Maaf Ziv. Saya udah ngasih harga buang ke mereka, cuma mereka nyanggupin..."
Sebulan yang Lalu Lia mendapatkan tawaran Ziva untuk mengisi acara pesta ulang tahun anak seorang konglomerat di Surabaya. Menimbang jadwal Ziva dan jabatan sang ayah anak pemilik pesta, ia memutuskan untuk memberikan harga buang-harga yang sengaja diberikan sangat tinggi agar penawar menolak- Sialnya sang pemilik pesta mengiyakan dengan cepat. Sebenarnya seberapa banyak harta keluarga itu? Ia benar-benar tidak habis pikir.
"Gapapaa biar uangnya nanti buat kita makan enak, Mbak." Ucap Ziva menenangkan.
"Ini uangnya bisa buat beli negara, Ziv. Bukan cuma buat makan enak doang."
"Lebay!"
"Saya gak bohong Ziv."
Ziva menggeleng-gelengkan kepalanya. Manajernya yang satu ini, walaupun sudah bekerja dengannya selama bertahun-tahun memang tidak bisa diajak bercanda, sangat kaku, padahal sudah berapa kali Ziva curhat kepadanya. Satu hal lagi yang tidak normal dari hidup Ziva, curhat sama robot.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hospitalship
Roman d'amour"Love is as unpredictable as cases coming to emergency unit" An alternate universe; telling you a story: when an accident becomes an incident, when it's not only diseases being cured, but also your feeling of love being secured."