Ayu meregangkan badannya yang kelewat pegal karena dipaksa untuk mengambil tugas jaga malam dua hari berturut-turut. Mungkin kalau ditotalkan, dalam dua hari ini, Ayu baru tidur 5 jam. Sungguh tidak sehat bukan?
Kalau Gio mengetahui ini, pasti Gio akan mengomel, apa lagi kalau tahu alasannya adalah agar Ayu bisa menghadiri sidang tesisnya.
Ayu sudah berencana untuk mengajak Gio untuk merayakan selesainya beban terberat yang harus Gio tempuh di akhir masa pendidikannya.
Kalau perihal lulus atau tidak, Ayu yakin sekali Gio pasti lulus.
"Belum pulang, Yu?" Tanya Aina yang jaga poliklinik satu ruangan dengan Ayu saat melihat juniornya masih berkutat dengan rekam medik di meja sebelahnya. Residen-residen ruangan lain pun tadi sudah mampir sebentar ke ruangan mereka untuk berpamitan singkat. Ia yakin kini hanya tinggal mereka berdua di dalam poliklinik.
"Tinggal satu lagi, Mbak. Pasien rutin injeksi Penisillin G." Jawab Ayu, mengambil rekam medik terakhir di sebelahnya.
"Oh, Mbak Arini ya? Yang PJR*?" Sambil berdiri untuk meregangkan otot-ototnya yang pegal karena duduk seharian. Ia mengintip nama pasien di rekam medik yang Ayu pegang.
*PJR: penyakit jantung rematik. Kondisi terdapatnya kerusakan katup jantung (hayo apa aja namanya, ada di pelajaran biologi) akibat gejala sisa demam rematik. Demam rematik akut itu reaksi autoimun terhadap bakteri Streptococcus group A
"Iya Mbak. Duluan aja. Entar Mbak jaga, kan? Makan dulu, Mbak. Aku tinggal suntik sekali abis itu kelar kok."
"Oke. Mbak duluan ya, Yu." Aina pergi meninggalkan Ayu yang kini resmi menjadi residen paling telat pulang di Poliklinik Penyakit Dalam hari itu.
Selang lima menit, pasien yang ditunggu-tunggu datang juga. Arini, salah satu pasien Ayu yang dulu Ayu tangani. Pasien dengan penyakit jantung rematik, seorang atlet panjat tebing nasional yang terpaksa berhenti karena kondisi kesehatannya.
Karena setiap bulan ia perlu datang untuk mendapatkan obat suntik, Ayu dan Arini menjadi cukup dekat. Perbedaan usia mereka juga tidak terlalu jauh. Sudah banyak pula curahan hati Arini yang tersampaikan pada Ayu. Sejak usia 8 tahun ia sudah berlatih dengan ayahnya yang juga seorang atlet panjat tebing. Beberapa kejuaraan telah dimenangkannya. Sebelum terdiagnosis dengan penyakitnya, ia sedang mati-matian mempersiapkan diri untuk bertanding di The Olympic Games─ impiannya untuk membalaskan dendam ayahnya yang bahkan tidak pernah tembus kejuaraan dunia.
"Paling seru kalau latihan di alam, Dok. Wah saya udah ke Tebing Citatah, Lembah Harau, Tebing Ciampea, Gunung Api Purba.. Di Uluwatu juga pernah.. Paling jauh di Papua saya juga pernah cobain... Aduh rasanya pengen ke sana lagi kalau diinget-inget hehe." Ucap Arini bersemangat, kala itu pertemuan pertamanya dengan Ayu di poliklinik. Saat itu, ia juga menjadi pasien terakhir, tanpa sadar keduanya banyak bertukar cerita.
"Keren ya orang bisa manjat-manjat begitu, berani. Aduh kalau saya... Boro-boro berani, mulai manjat aja kayaknya ibu saya udah teriak." Tanggap Ayu.
Arini tertawa. "Ah itu mah ibu saya juga sama. Ini karena saya sama ayah saya diem-diem aja kalau latihan..." Matanya mengarah ke atas, mengingat-ingat masa kecilnya, masih tersenyum. "Lucu juga ya kalau dipikir-pikir.. Ibu saya selalu khawatir saya bisa meninggal karena jatuh dari tebing, tapi ternyata mungkin alasan saya meninggal nanti malah karena penyakit ini-"
"-kamu gak boleh bilang gitu! Harus semangat! Kami kan bantu kamu di sini semua, semangat! Masa semangat atlet kalah?!" Potong Ayu, kaget melihat pembicaraan ini yang berubah menjadi suram.
Arini tersenyum, menegakkan badannya di kursi, menatap Ayu, kemudian mengepalkan tangan kanannya. "Siap, Coach Ayu!"
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Hospitalship
Romance"Love is as unpredictable as cases coming to emergency unit" An alternate universe; telling you a story: when an accident becomes an incident, when it's not only diseases being cured, but also your feeling of love being secured."