Hari ini cuaca sungguh bersahabat. Tidak ada matahari yang terlalu terik menyengat, tidak ada pula hujan deras yang mengguyur muka bumi. Awan bergerak menutupi langit. Angin bertiup dengan sejuk.
Tidak terasa sudah satu setengah tahun terlewati sejak kepergian Gio ke Kalimantan untuk bertugas selama satu tahun. Ayu kira akan sangat berat menjalaninya. Namun, ternyata tidak.
Kali ini, Gio beberapa kali menyempatkan diri untuk pulang ke Jakarta. Setiap satu bulan sekali, hari Jumat malam hingga Minggu sore, Gio menyempatkan diri untuk pulang ke Jakarta. Ayu juga akhirnya membiasakan diri untuk meluangkan waktu Jumat malamnya dan Minggu sorenya untuk menjemput dan mengantar Gio kembali ke bandara.
Ayu tahu Gio melakukan itu untuk dirinya. Walaupun berkali-kali Gio mengelak dengan mengucapkan bahwa ia kurang betah di Kalimantan dan lebih ingin sering pulang ke Jakarta. Ayu pernah pula meminta Gio untuk pulang ke Jakarta setidaknya dua bulan sekali saja karena biaya transportnya yang juga lumayan. Namun, Gio kembali menolak.
"Tenang aja, Yu. Gajiku masih cukup kok buat beli tiket pesawat pulang pergi Jakarta-Samarinda sebulan sekali. Lagian, disana aku bener-bener gak ada pengeluaran selain makan. Itu juga seringnya ngambil dari rumah sakit, jarang banget jajan. Paling dua minggu sekali." katanya.
Ayu hanya menuruti Gio. Ia tidak mau berdebat lebih lanjut. Terkadang, Gio pulang dengan keadaan yang sangat terlihat lelah. Saat sampai di dalam mobil yang Ayu bawa untuk menjemput Gio, mobil Gio yang Ayu pinjam tepatnya, Gio langsung tertidur hingga Ayu parkir di depan rumahnya.
"Maaf Yu, aku malah tidur. Kemarin OK sampai jam 4 pagi, aku belum sempet tidur..."
"Tuh kan capek. Jangan dipaksain Gi kalau kamu kecapean."
"Gak kok. Gak maksain. Daripada di sana sendirian, mending aku pulang. Ketemu kamu. Aku berasa dua kali lipat lebih fit abis ketemu kamu daripada kalau tidur doang di kosan di sana." ujar Gio sambil tersenyum.
"Aku justru minta maaf hari ini pesawat ku delay sejam. Kamu jadi nunggu lama deh. Sekarang udah jam 12 malem. Nginep sini aja ya, Yu? Tidur di ruang tamu lagi kayak biasa. Aku gak mau kamu nyetir malem-malem ke apartemen." lanjutnya. Tangan Gio meraih kepala Ayu dan mengelus rambutnya pelan.
Ayu menjadi lebih sering singgah ke rumah Gio dan menghabiskan waktu seharian di rumah Gio. Ayu belajar masak dengan Ibu Gio hampir setiap akhir pekan. Lalu, mereka makan siang dan malam bersama. Selebihnya, Ayu dan Gio menonton TV, saling bertukar cerita, atau hanya saling menemani sambil bekerja.
Kalau diingat kembali, rasanya waktu berjalan sangat cepat. Lebih tidak menderita dari dulu waktu Gio tugas di NTT. Tidak terasa pula, perencanaan pernikahan yang sudah dimulai sejak 2 tahun yang lalu semakin di depan mata.
"Yu, inget gak pas di Wina dulu kamu pernah nanya, habis nikah mau langsung punya anak atau engga? Kalau aku pengen langsung punya anak, kamu keberatan gak?" Malam itu, Ayu dan Gio sedang menghabiskan waktu berdua, membaca buku bersama di atas kasur di rumah baru yang telah Gio beli satu bulan yang lalu.
Mereka akan menikah minggu depan. Gio sendiri yang ngotot bahwa setelah menikah, mereka harus tinggal di rumah sendiri, tidak boleh menumpang di rumah keluarga.
Tanpa Ayu sangka, ternyata selama ini Gio benar-benar menabung dan bekerja keras untuk ini. Saat Ayu menawarkan diri untuk ikut membayar rumah yang mereka pilih, Gio menolak. Menurut Gio, ini sudah menjadi tanggungannya dan Ayu dapat mengambil porsi lain dalam rumah tangga.
Mereka sesekali datang untuk merapikan rumah baru mereka agar langsung dapat ditempati bersama setelah menikah. Hari ini, mereka baru membersihkan dan menata ulang ruang tamu dan dapur. Karena terlalu lelah, Ayu dan Gio memutuskan untuk bermalam disana.
Ayu sedang bersandar pada dada Gio, tangannya memegang salah satu sampul buku yang sedang mereka berdua baca. Ia memutar kepalanya mendongak ke atas memandang wajah Gio setelah mendengar pertanyaannya.
"Maaf kalau aku tiba-tiba ngomong gini"
"Gapapa. Aku cuma..."
"Kamu keberatan ya? Gapapa. Maaf ya.. Aku cuma.. Pengen aja punya anak. Tapi kan kamu yang hamil. Jadi semua terserah kamu aja. Aku ikut aja."
Gio. Gio yang tidak pernah memaksakan kehendaknya pada orang lain. Gio yang selalu mendukung dan memahami keadaan Ayu. Gio yang selalu mencoba mengerti pikiran dan pendapat Ayu. Gio yang selalu berusaha memenuhi keinginan Ayu. Gio yang selalu sabar, sangat sabar, dan selalu menghargai keputusan Ayu. Sekali ini saja, Ayu ingin juga, memenuhi keinginan Gio.
"Boleh."
"Boleh?" Gio mengangkat alisnya, meyakinkan.
"Iya. Aku juga mau. Habis nikah langsung nyiapin anak ya? Nanti aku mulai ngurus cuti hamil sama melahirkan ke rumah sakit."
Ayu menoleh, menatap wajah Gio yang sedari tadi sudah melihat ke arahnya. "Kamu mau punya berapa anak?"
Gio mengadahkan kepalanya, berusaha berpikir. "Hm... satu?"
"Satu aja? Nanti dia gak ada temennya."
"Satu dulu. Kan bisa kita temenin, Yu. Nanti kalau udah settled, boleh nambah lagi, kalau kamu mau."
"Mau cewek apa cowok?"
Gio tertawa ringan mendengar pertanyaan Ayu.
Emangnya dia bisa nentuin sesuka hati? Hahaha.
"Cowok, deh." Namun, Gio hanya menjawab mengikuti permainan Ayu.
"Oke, nanti kita punya satu anak cowok ya. Satu dulu." Ujar Ayu sembari mengangkat satu jari telunjuknya.
"Sip... Tapi cewek juga gak apa-apa kok. Yang penting kamu ibunya."
Ayu tertawa pelan.
"Yu, kalo kamu butuh kutemenin, like just for the sake of my presence, it's totally fine. Just tell me, okay? I'll get you and be there for you. Jangan merasa gak enak. Semua yang aku lakuin ke kamu gak ada atas dasar rasa terpaksa. Semua aku lakuin karena aku emang mau. Aku mau kamu gunain aku. It's not that I don't trust you to take care of yourself. I know you can do it by yourself. But, I wouldn't let you. It's just that... I kind of want you to depend on me."
Gio meraih kepala Ayu, menaruhnya di bahu Gio, mengelus rambutnya dengan pelan, dan memberi kecupan lembut. Bibir Gio bergerak turun, mengecup dahi Ayu cukup lama. Ayu spontan menutup kedua matanya. Namun, Gio tidak berhenti. Ia turun mencium mata Ayu bergantian, hidung Ayu, dan berakhir di bibir Ayu.
Gerakan pelan dan lembut Gio membuat Ayu justru menikmati setiap ciuman yang Gio berikan. Setelah memastikan tidak ada penolakan dari Ayu, Gio mencoba meminta memperdalam ciumannya. Tak disangka, Ayu menyambutnya, memberikan balasan serupa. Tak diketahui oleh kedua pihak karena mata yang tertutup, bahwa mereka berdua tersenyum sambil melakukannya. Gio melepaskan tautan bibir mereka dan mengalihkannya ke bawah telinga Ayu, menciumnya singkat dan berbisik di sana.
"I love you so much. Thank you for everything."
--------------------------------------------------------
KAMU SEDANG MEMBACA
Hospitalship
Romansa"Love is as unpredictable as cases coming to emergency unit" An alternate universe; telling you a story: when an accident becomes an incident, when it's not only diseases being cured, but also your feeling of love being secured."