"I will remember that there is art to medicine as well as science, and that warmth, sympathy, and understanding may outweigh the surgeon's knife or the chemist's drug."
― Hippocratic Oath
Sudah hampir empat jam mereka menunggu di teras itu. Hujan mulai reda, kini hanya tersisa rintik-rintik hujan yang menemani Gio dan Ayu malam itu. Ayu bisa mencium petrichor, wangi hujan ketika menyentuh tanah yang kering, wangi kesukaannya. Sunyi sekali malam itu, suara serangga pun tidak terdengar.
Kini Gio dan Ayu duduk di teras, beralaskan beberapa kain pembalut luka dan kaos cadangan yang Gio bawa karena lantai semakin dingin. Gio telah memposisikan dirinya bersandar pada tembok di pinggir teras. Kedua tangannya dilipat di depan dadanya, kepalanya tertunduk.
Ayu juga menyandarkan tubuhnya pada tembok di sebelah Gio. Sebuah senter yang ditegakkan berada di antara mereka berdua. Ayu dapat melihat Gio yang sudah tidak bergerak.
Cepet amat dia tidur...
Sementara itu, rasa kantuk Ayu tidak kunjung datang. Ia bersenandung kecil mencoba menghibur dirinya sendiri, kebiasaannya sedari kecil. Matanya memandang ke sekeliling bangunan, batinnya bertanya-tanya mengenai nasib pemiliknya.
Ayu masih tidak menyangka bahwa saat ini dia dan Gio terdampar di sebuah teras rumah korban dan tidak dapat kembali ke posko kesehatan karena masalah kendaraan. Belum ada yang menjemput mereka hingga saat ini.
Hhh apa sebenarnya mereka sudah datang tapi tidak membaca pesan yang ditulis Gio? Atau mereka benar-benar tidak datang?
Di situasi seperti ini, tiba-tiba Ayu merindukan ibunya. Waktu kecil, kalau Ayu terlambat pulang satu jam saja, Ibu Ayu pasti sudah panik keliling kompleks untuk mencari keberadaan Ayu. Padahal mah Ayu paling lagi jajan es krim di tukang es keliling.
"Coba kalau mama tau aku begini sekarang, kayaknya Mama bakal marah deh..." tebak Ayu, tersenyum mengingat raut wajah ibunya yang terlihat cemas karena anaknya yang telat pulang. "Mama lagi apa ya di rumah?" Ayu memeluk kedua kakinya, tiba-tiba merasa dingin.
"Maafin Ayu ya Ma. Sejak masuk PPDS, Ayu jadi sibuk banget. Jangankan ketemu, Ayu bahkan suka gak sempet telpon Mama, nanya kabar Mama dan kasih kabar ke Mama. Papa juga apa kabar ya? Aldo apa kabar ya.. Sehat gak ya dia sekarang?"
Ayu melayangkan pikirannya pada keluarganya yang sangat ia sayangi sambil memandangi gelapnya langit yang menaunginya. Bahkan tidak ada bintang yang terlihat. Ia merasa sendirian.
"Ayu janji bakal belajar keras, lulus secepat mungkin, biar bisa bahagiain Mama, Papa, sama Aldo."
Ayu membenamkan wajahnya pada kedua lututnya. Tidak sadar, air mata mulai membasahi kedua matanya.
"Yu jangan nangis! Masa gini aja nangis. Jangan manja! Kalau lo manja, siapa yang mau diandelin keluarga?" Ayu cepat-cepat mengusap air matanya sendiri. Namun, Ayu tidak tahan untuk terus menangis. Tangisannya semakin lama terdengar semakin keras. Rasanya semakin ia menahannya, semakin pecah tangisannya sendiri. Ia benci ini. Ia benci tidak dapat mengontrol emosinya sendiri.
"Nih." Tangan Gio kini berada di sampingnya, menyerahkan 2 lembar tisu.
Sial gue kebanyakan ngelamun, lupa ada dia.
Ayu seketika malu dan memalingkan wajahnya menghindari Gio setelah mengambil tisu dari tangan Gio.
"Maaf Dok..."
"Gak apa-apa... Butuh apa?"
"Enggak Dok.. Maaf ganggu Dokter tidur"
"Kamu gak tenang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hospitalship
Romantizm"Love is as unpredictable as cases coming to emergency unit" An alternate universe; telling you a story: when an accident becomes an incident, when it's not only diseases being cured, but also your feeling of love being secured."