Part 38

3.8K 304 167
                                    

Akhirnya setelah melewati serentetan liputan, mulai dari persiapan kejuaraan dunia, pertandingan hingga penyambutan dan penyerahan bonus oleh pemerintah dan sponsor bagi atlet yang juara. Kini aku bisa menikmati hari minggu dengan tenang.

Matahari telah bersinar dengan terangnya. Hujan semalam membuat udara pagi ini begitu segar.  Terlihat awan putih yang menggantung indah di atas langit. Waktu sudah menunjuk pukul delapan pagi. Aku pun bangun dan membuka jendela kamarku. Ku hirup udara dalam dalam hingga memenuhi semua rongga perutku. Kemudian ku hembuskan perlahan lahan, berharap semua beban pikiranku dapat ikut lenyap.

Tak lama, nada hape ku berbunyi. Tanda ada sebuah pesan yang masuk.

From: Fajar Alfian

Ja, bilangin Arik ya suruh siap siap. Mau gue ajak main. Lu juga mandi gih, dandan yang cakep.

Dalam rangka menepati janjiku padanya, dia boleh main sama Arik kalau bisa dapetin medali di kejuaraan dunia. Aku pun bergegas menuju kamar mandi.

.
.
.

"Ibu.. Om Fajar sampe mana sih?" Pertanyaan yang sama sudah dia lontarkan hampir sepuluh kali dalam waktu satu jam ini. Arik sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Fajar. Andai saja kamu tau nak, siapa sebenarnya Om Fajar yang kamu idolain itu. Mungkin kamu akan lebih bahagia.

"Bentar lagi sampe kok nak. Arik sekarang nonton tv dulu ya sambil nungguin Om Fajar"  ia pun berlari ke ruang tengah, menonton kartun kesayangannya.

"Nduk.. kamu masih gamau ngomong ke Fajar yang sebenarnya?" Papa kembali mempertanyakan perihal ini lagi.

"Pa, jujur makin ke sini Eja pengen banget bisa ngomong ke Fajar. Tapi ketakutan Eja juga makin besar"

Papa duduk di sampingku, memeluk pundakku dengan lengannya.

"Apa yang kamu takutin tho Ja? Kamu lho ngelewatin hamil, lahiran sampe ngurusin anak sendiri aja berani. Moso sekarang ngomong sama Fajar ga berani. Jujur saja nduk. Bilang sama dia, Arik itu anak kandungnya. Darah dagingnya"

"Ini apa maksudnya ya??"

Aku terlonjak kaget saat ku tau dia sudah berada di ambang pintu. Mendengar semua obrolanku dengan papa.

"Jar.."

"Maksudnya apa Ja? Jelasin ke gue" suaranya meninggi

Tidak ada yang bersuara. Aku, papa dan mama hanya bisa terdiam.

"Duduk dulu Nak Fajar. Kami akan jelasin semuanya" Dia menuruti ajakan mama dan duduk di depanku.

Dia menatapku dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Yang ku tau, dia sangat marah kali ini.

"Om tante.. ada yang bisa jelasin ke saya apa maksud pembicaraan kalian tadi" suaranya parau menahan emosi yang mungkin akan meledak.

"Nak Fajar, maaf sebelumnya kalau kami merahasiakan ini dari kamu. Seperti yang kamu dengar tadi. Ya benar, Arik adalah anak kandungmu" papa mencoba menjelaskan dengan hati hati.

"Selepas kelulusan SMA, Senja datang ke kami. Menangis kencang sekali, meminta maaf berkali kali. Dia menyerahkan alat tes kehamilan dengan garis dua di situ. Tentu saja kami kaget luar biasa. Senja cerita jika kalian berdua sudah melakukan hal yang tidak semestinya. Dan janin itu hasil dari hubungan kalian. Om waktu itu sudah mau menemui orang tua Nak Fajar. Karena bagaimana pun, anak ini ada karena dua orang. Tapi lagi lagi Senja memohon untuk tidak memberitahukan ini semua kepada keluargamu. Dia bilang kalian sudah putus. Senja menyanggupi untuk hamil dan mengurus anaknya sendiri. Itulah mengapa akhirnya kami semua pindah ke Jakarta. Memulai hidup yang baru, dengan Arik di kehidupan kami. Saya paham jika sekarang kamu belum mampu menerima semua ini. Saya maklum. Namun kebenaran harus diungkapkan bagaimanapun hasilnya"

Fajar hanya terdiam mendengar semua penjelasan dari Papa. Aku tidak berhenti memperhatikan gerak geriknya yang gelisah. Kerut halus di keningnya, gemetar kecil di ujung jarinya juga bulir keringat yang menetes di atas alis matanya.

"Om Fajaaarr...." teriakan Arik memecah kesunyian di antara kami. Dia lari berhambur memeluk Fajar. Namun tak ada tanggapan dari yang dipeluk. Fajar tetap diam mematung.

"Sepertinya kalian butuh waktu untuk bicara. Arik, sini nak ikut yangkung sama yangti beli eskrim yuk" papa menepuk bahu ku pelan lalu mereka pergi meninggalkan kami berdua.

Aku menatap Fajar yang masih terdiam. Hening. Sesekali terdengar napas berat yang dihempaskannya.

"Jar.." aku memanggilnya. Fajar menatapku, raut mukanya terlihat datar.

"Kenapa lu berbuat kaya gini Ja?" Suaranya terdengar parau

"Maafin gue" jawabku masih dengan kepala tertunduk. Berat sekali rasanya untuk mendongak.

"Selama ini gue kaya orang bego ya Ja. Segampang itu gue dibohongin"

"Gue ga ada maksud Jar" sanggahku dengan suara serak menahan isak

Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, memijit pelipisnya sambil menatap langit langit ruang tamu. Fajar terlihat sangat putus asa. Berulang kali dia menarik nafas berat. Dan aku hanya bisa tertunduk melihat semua tingkah lakunya.

"Kita omongin ini lagi nanti" katanya bangkit dari tempat duduknya.

Dia lalu beranjak meninggalkan rumahku, dengan penuh kekecewaan. Suara deru mobilnya semakin lama semakin tak terdengar. Dia benar benar sudah pergi.

Inilah yang ku takutkan.
.
.
.
Sudah lebih dari sepuluh jam sejak kejadian tadi berlangsung. Fajar masih tetap tidak ada kabar. Bahkan sosial medianya yang biasanya aktif terus kini tidak ada tanda tanda update-an dari yang punya. Dia seolah olah menghilang.

Aku tau, dia butuh waktu untuk menerima semuanya. Siapa yang tidak shock, jika tiba tiba diberitahu bahwa selama ini dia memiliki seorang anak. Pasti akan sangat sulit untuk diterima. Aku sangat paham itu. Namun tetap saja jika dia tidak ada kabar seperti ini, aku menjadi sangat kawatir.

Daripada aku terus terusan mengkhawatirkan keadaannya, maka ku putuskan mengiriminya sebuah pesan singkat. Yang benar benar singkat.

To: Fajar Alfian

Jar..

Pantas saja tidak ada kabar. Rupanya dia sudah memblokir kontakku.


Are You Really The One (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang