Part 51

908 94 6
                                    

Aku mematikan lampu dan menutup pintu kamar setelah memastikan Arik tidur lelap. Ini sudah hari ke lima semenjak ia sakit. Sekarang kondisinya jauh lebih baik, demam sudah hilang hanya tinggal lemas saja tubuhnya masih butuh istirahat untuk pemulihan. Kondisi fisiknya perlahan mulai membaik namun tidak dengan psikisnya, ia sudah tidak mau lagi kembali ke sekolahnya. Peristiwa perundungan padanya masih membekas. 

"Nduk sini dulu kita ngobrol" ajak papa begitu melihatku keluar dari kamar Arik.

Tanpa ku jawab, aku langsung bergegas menuju ruang makan dimana papa dan mama tengah duduk di sana. Kutarik salah satu kursi di depan papa.

"Arik gimana nduk? Masih demam?" 

"Udah mendingan ma, tinggal lemesnya aja ini"

"Senja, jadi gimana rencanamu setelah ini nduk? Kamu nggak mungkin terus terusan diam di rumah gini kan" akhirnya pertanyaan ini keluar juga dari orang tua ku.

Sebelum ku jawab pertanyaan dari papa, ku hembuskan dulu nafasku mencoba mencari kekuatan dan keyakinan atas keputusanku. 

"Senja kayanya mau pindah sementara dari Jakarta pa" jawabku mantap

"Lho kenapa lagi ini. Mau kemana kamu?"

"Senja mau nyari kerja Pa. Seperti kata mama barusan, nggak mungkin aku terus terusan seperti ini kan"

"Emangnya di sini nggak ada kerjaan? Banyak lowongan yang bisa kamu lamar" 

"Ma.. mama tau sendiri, sudah berapa banyak lamaran yang Senja kirim. Nggak ada satupun panggilan interview buat Senja. Bahkan udah pake rekomendasi orang dalem juga nggak mempan. Mereka nggak mau ambil resiko, nerima karyawan yang lagi kena skandal" jelasku frustrasi.

Cukup lama waktu terjeda, tak ada tanggapan dari kedua orang tuaku. Sepertinya mereka masih mencoba mencerna dan mempertimbangkan keputusanku.

"Arik juga udah nggak mau sekolah di situ lagi. Dia takut di-bully sama temen temennya lagi Ma. Senja juga udah ngambil keputusan buat mindahin Arik" lanjutku.

"Yaudah sekarang rencananya kamu mau pindah kemana nduk? Biar papa bisa ajuin mutasi" pungkas papa akhirnya.

Aku menggelengkan kepala. Rencanaku tidak seperti itu.

"Pa.. kali ini biar Senja sama Arik aja yang pindah. Papa sama Mama di sini aja nggak apa apa"

"Lho kenapa nduk?"

"Pa.. Udah cukup papa sama mama ngurusin Senja. Senja udah sering banget ngerepotin papa sama mama. Kali ini Senja nggak mau bikin repot kalian lagi. Toh Arik juga udah gede pa. Senja bisa kok ngurusin Arik sendiri"

"Nduk.. nggak ada istilahnya anak ngerepotin orang tua. Mau kamu setua apapun nantinya, kamu tetep anak di mata mama papa yang harus kami rawat dan jaga" sanggah Mama sambil membelai tanganku lembut. Ada bulir air mata yang mulai gugur dari pelupuk. 

"Iyaa ma. Senja ngerti. Tapi Senja bisa kok ngurusin Arik sendiri. Pasti bisa. Papa sama Mama biar bisa istirahat. Bisa mesra mesraan lagi kan berdua kaya jaman pacaran" jelasku sambil mencoba melucu.

"Tapi nduk.."

"Pa.. beneran nggak apa apa. Papa juga bentar lagi mau pensiun kan. Masa masih harus dipusingin urusan mutasi. Udah papa sama mama di sini aja. Senja janji bakal sering sering jenguk papa sama mama. Atau kapanpun papa mama kangen, silakan datang nemuin kita"

Akhirnya mereka menyetujui keinginanku. Jujur sebenarnya berat meninggalkan mereka di sini. Terlebih aku tidak pernah tinggal berpisah dari mereka. Tapi aku juga tidak mau mereka terus terusan terbebani dengan keberadaanku dan arik. Aku ingin mereka bisa lebih santai sekarang.

"Terus rencananya kamu mau kemana nduk?" 

"Kemarin pas telfonan sama Budhe Ratmi, Senja sempet cerita masalah ini pa. Terus Budhe ngusulin buat Senja tinggal di sana dulu. Sekalian bisa bantu bantu di toko rotinya budhe"

Budhe Ratmi, kakak perempuannya Papa. Satu satunya kerabatku yang paling dekat. Disaat aku mendapat cemoohan dan gunjingan dari keluarga besar ketika mengandung Arik yang tanpa ayah. Budhe Ratmi lah yang menjadi garda terdepan untukku, beliau yang selalu membantah semua omongan omongan menyakitkan, mendukung dan menghiburku. Beliau juga yang menemaniku sewaktu bersalin, selain kedua orang tuaku. 

Itulah mengapa, ketika berita ini tersebar luas Budhe Ratmi langsung menghubungiku. Memintaku untuk tinggal dengannya sementara waktu. Budhe tinggal seorang diri saja di Semarang, Pakde Yanto suaminya telah berpulang tiga tahun lepas. Sedangkan Mas Bagas putra semata wayangnya sekarang berdinas di Banjarmasin, awalnya Mas Bagas mengajak budhe untuk ikut. Namun budhe menolak.

"Kalau sama Mbak Ratmi sih mama setuju pa. Lagian Mbak Ratmi juga tinggal sendirian kan"

Seolah sudah bersepakat dengan perkataan mama, papa hanya mengangguk tanda setuju.

"Coba nanti Papa telfon Budhe kamu dulu. Papa titip anak cucu di sana sementara"

Raut wajah Mama tampak sedang memikirkan sesuatu. Apalagi yang ada di benaknya. Entah.

"Nduk.. terus Fajar gimana?" Ohh.. ini rupanya yang ia pikirkan.

"Gimana apanya Ma. Kan Senja sama Fajar udah sepakat nunda pertunangan" jawabku jelas

"Dia tau kalo kamu mau pindah?" Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.

"Nduk, bagaimana pun kamu harus tetep ngabarin dia. Arik anaknya, Fajar berhak tau apapun yang terjadi dengan Arik" jelas papa tegas

Aku hanya terdiam. Benar kata papa, Fajar berhak tau. Sekarang ada Fajar di kehidupan Arik. Aku tidak bisa seenaknya membawa pergi Arik seperti dulu.

"Tapi Pa, kalau nanti Fajar tau. Takutnya dia bisa nekat dateng nemuin kita. Dia sekarang masih kena skorsing Pa. Senja nggak pengen hukuman dia lebih dari ini. Berita tentang dia juga bisa makin besar nantinya" 

Papa hanya mengangguk, mengerti dengan keputusan yang ku ambil.

"Tapi Ja, kalau kamu nggak mau kasih tau Fajar. Setidaknya kasih tau orang tuanya ya nduk. Mereka kakek neneknya Arik. Bagaimanapun juga, mereka harus tau. Arik sekarang sudah memiliki keluarga lain selain kita nduk. Mau kamu ngelak kaya gimana juga. Kasih tau mereka. Kasih pengertian ke mereka" 

Benar memang apa yang dikatakan papa. Sekarang Arik memiliki keluarga lain. Mau bagaimanapun, mereka berhak tau. Tidak bisa aku tiba tiba pergi tanpa pesan seperti sewaktu aku mengandung Arik dahulu.

"Iya Pa, nanti coba Senja telfon ke mereka. Kabarin tentang rencana Senja" 

Mama merangsek ke arahku, menggenggam tanganku erat. Gurat gurat kesedihan tampak di wajahnya.

"Senja yang sabar ya nduk. Semua pasti bisa terlewati. Yang kuat ya. Mama sama papa selalu ada buat kalian. Doa mama nggak pernah surut untuk anak dan cucu mama"

Aku yang semula mencoba kuat, tidak menampakan kesedihan di depan mereka akhirnya luruh sudah. Air mataku deras turun tanpa aba aba. 

Seketika papa pun mendekat, mendekap kepala ku dan mengelus punggungku dengan lembut. Seolah sedang mengirim pasokan kekuatan untukku, agar aku bisa melewati semuanya.

"Ma.. Pa.. makasih banyak selalu ada buat Senja. Maaf sampai sekarang Senja selalu saja bikin repot kalian" ucapku dengan terisak.

Terima kasih telah menjadi sayapnya Senja selama ini Ma, Pa. Sekarang Senja mau belajar untuk terbang sendiri. Doakan Senja berhasil ya.

Are You Really The One (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang