Part 42

1.7K 180 5
                                    

Waktu menunjukkan pukul 9 malam. Aku masih terduduk lemas di bangku panjang yang disediakan untuk wali pasien di depan ruang icu. Papa dan mama sudah pulang sehabis magrib tadi. Aku yang menyuruh mereka pulang. Mereka sudah sangat kelelahan seharian ini membantu mencari donor darah dan mengurus administrasi Arik. Lagipula tidak ada tempat yang layak untuk mereka istirahat di sini. Kevin dan Fajar entah kemana. Aku sudah tidak bersama mereka sejak Arik pindah ke icu. Mungkin mereka sudah pulang tanpa sempat berpamitan denganku.

Kondisi Arik sudah stabil, perdarahan sudah bisa diatasi. Sekarang dia sedang tertidur karena efek obat yang dia minum. Setelah seharian panik dan kalut, baru sekarang ku rasakan badanku benar benar lemas. Sedari tadi pikiranku hanya tertuju pada Arik. Aku takut dia lebih dulu meninggalkanku, secepat itu. Membayangkannya saja rasanya duniaku sudah runtuh. Tak ku hiraukan kondisi ku sendiri yang terlihat memprihatinkan. Aku benar benar lelah sekarang. Kepalaku berdenyut sakit sekali. Mungkin karena seharian belum ada makanan bahkan minum setetes pun yang masuk ke tubuhku. Ku baringkan kepalaku pada sandaran bangku, dinginnya besi menyentuh tengkuk ku membuatku sedikit lebih rileks. Ku pejamkan mataku mencoba mengusir sakit di kepala. Baru sejenak ku memejamkan mata, ada seseorang menyentuh pundakku pelan. Mencoba membangunkanku.

"Makan dulu" katanya sambil menyodorkan kantong kertas

"Ga laper" sahutku lemah, aku hanya ingin tidur sekarang.

"Makan dulu, seharian kamu belum makan" bujuknya masih sambil menyodorkan bungkusan yang belum juga ku ambil.

Karena tak kunjung ku ambil, dia pun menaruhnya di pangkuanku. Dan duduk di sebelahku.

"Dimakan ya Ja. Tar kamu malah ikutan sakit" 

Ku buka bungkusan yang ada di pangkuanku. Sebuah burger dari merk restauran siap saji yang terkenal dan sebotol kecil air mineral.

"Belum pulang?" 

"Gak, aku di sini nemenin kamu jaga Arik" 

"Tar dimarahin pelatih" 

"Udah diurus semua sama Kevin. Cik susi sama coach udah ijinin kok"

Fajar Alfian masih di sini, menemaniku menjaga Arik. Yang ku pikir dia sudah pulang dari tadi ternyata dia dan Kevin keluar mencari makan karena sama sepertiku, mereka juga seharian belum makan. Setelahnya Kevin kembali ke pelatnas dan Fajar memilih di sini bersamaku.

"Diabisin ya makannya" katanya sambil melihatku sedari tadi hanya mengigit kecil burger yang ku pegang.

"Kamu kenapa?" Tanyanya begitu melihatku yang mengunyah sambil terisak pelan. Bahuku naik turun perlahan mengikuti isak tangisku.

"Gapapa" jawabku singkat

Posisi duduknya kini berubah menyamping menghadapku, ditangkupkan dua tangannya pada wajahku. Memperhatikanku dengan seksama. Merapikan poniku yang awut awutan dan menyimpannya di balik telinga. 

"Senja Adriana" 

Pertahananku luruh sudah tepat ketika dia memanggilku dengan nama lengkap. Sesak di dada yang ku rasakan sedari tadi akhirnya memaksa untuk menyeruak, tangisku tak terbendung. Semakin keras.

Dia langsung menarikku ke dalam pelukannya. Membenamkan kepalaku di dadanya yang bidang. Aku masih terus menangis seolah tak ada habisnya air mataku akan mengalir.

"Arik Jar.. aku takut Jar. Arik pergi" kataku terbata bata sambil terus berair mata

"Sssshhh.. Arik baik baik aja Ja. Semua udah lewat ya. Arik bakal sembuh. Ga kemana mana kok. Tenang ya" katanya mencoba menenangkanku. Dielusnya punggungku lembut.

"Aku ga becus jadi ibu jar. Arik ga bakal gini kalo aku bisa jagain dia"

"Udaah.. udah.. Arik pasti sembuh Ja"

"Harusnya aku kasih tau dia yang sebenernya. Bukannya malah nyembunyiin jadi dia harus tau dari orang lain. Arik tadi pagi marah karena ga ada yang ngasih tau dia kalo kamu itu ayahnya. Dia lari ke jalan raya mau nyariin kamu" 

Pelukannya semakin erat padaku, helaan nafas berat terdengar. Dia mencium puncak kepalaku. "Maafin aku ja. Ga bisa jagain kalian. Maaf"

"Aku bukan ayah yang baik. Maaf kalo selama ini aku bikin kalian sengsara ya Ja. Maaf" katanya sambil terisak.

Ku dongakkan kepalaku, buliran air mata deras membasahi wajahnya. Dia menangis sama kencangnya sepertiku. 

"Maaf"

"Maaf"

"Maaf"

Hanya kata maaf yang sedari tadi ia ucapkan. Entah sudah berapa puluh maaf yang terlontar.

"Aku ga bakalan biarin kalian pergi dari hidupku lagi. Kita hadapin sama sama ya Ja. Kasih aku kesempatan buat nebus semua kesalahanku. Aku nyesel banget sekarang. Aku ga mau kehilangan kalian lagi. Jadi please, kasih aku kesempatan buat perbaiki semuanya ya Ja. Kamu ga sendirian lagi. Ada aku sekarang" 

Aku hanya mengangguk lemah, memberinya kesempatan sekali lagi tidak ada salahnya kan. Semua untuk Arik.

Tapi Fajar, kenapa harus nunggu Arik terluka dulu baru kamu menyadari kesalahanmu?

Are You Really The One (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang