#36. (Giving Up)

1.3K 105 14
                                    

    Author merasa makin ke akhir kerasa maksa. Aneh.
But well, happy reading.

—————————————

     Tak banyak yang berubah. Lelaki itu masih saja berlari menghindari penyelesaian. Tidak ada yang perlu ditanyakan, pikir lelaki itu. Baginya menjauh seperti ini adalah kejelasan bahwa ia enggan. Baik untuk kembali atau hanya sekedar memberikan penjelasan. Tempo hari, ia tak sengaja berjumpa. Apalagi jika bukan tadir hingga Eric bisa bertemu Evan di tempat seperti itu.  Sejenak Eric berangan. Bukan. Ia menerawang lebih dalam pada hatinya. Mungkin benar pikirannya kukuh. Ia yang merasa dibohongi terlanjur sakit hati dan enggan untuk kembali. Bagaimana dengan kebenaran dalam hatinya?


     Tak ada yang tahu. Pun bila lelaki itu tahu, pikirannya buru - buru menutupnya. Dan membuatnya merana dalam pelarian yang ia cuptakan sendiri. Waktu itu mereka saling bertatap. Bahkan saling bersentuhan. Cengkraman kuat Evan masih membekas dan terasa, seakan memberi tanda ia memang menginginkan Eric kembali. Entahlah. Tak ada yang tahu alasan apa. Eric meronta melepas paksa. Dia berlari dalam kejaran seseorang yang masih ia rasakan cintanya. Apa daya? Eric terkejut kala itu. Ia tak percaya sekaligus tak terbayang bagaimana ia harus bersikap jika ia tinggal dan sedikit mengumbar rasa dengan Evan.  Eric berpikir apa? Apa yang hendak ia katakan? Apa yang harus ia lakukan? Bagaimana ia harus bereaksi jika Evan bersikukuh kembali? Ia bingung. Bimbang. Ia digusur rasa cemas dan memilih untuk menolaknya. Lalu saat ini ia mulai berpikir.


"Apa Evan masih akan mengejarku?"



****



     Tak ada hal yang lebih baik dari makan malam bersama tuan rumah. Sore tadi tak disangka Celine pulang lebih cepat.  Dengan bahagianya Celine membawa sekantung belanjaan penuh sesak. Ada sedikit bumbu nostalgia tercampur. Walau begitu, Eric tak ingin memusingkannya. Dalam benaknya kini ia hanya ingin lebih tenang.  Banyak hal yang terlalu memusingkan.


"Rasanya mungkin tak sesedap saat itu masih hangat."


     Eric menoleh cepat. Ia menatap Celine lalu tersenyum datar. "Akan kumakan." Sepotong roti tergigit dan dikunyah pelan. Kering dan renyah. Tetapi tetap lembut di dalamnya. Seketika kata - kata itu membuat Eric berumpama.


"Sama seperti aku yang bersikap enggan tapi sebenarnya ingin."


"Apanya?" sahut Celine yang menatapi Eric bingung.


"A-ah, aku hanya teringat sesuatu." jawab Eric. Ia tersenyum kaku lalu kembali menyantap roti itu. Tentu saja ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.


"Aneh kau ingin makan roti untuk makan malam."


"Eh-tidak. Aku hanya ingin. " Eric berkata demikian. Padahal dia hanya asal menjawab saat ditanyai ingin apa untuk makan malam.


"Aku tahu ada sesuatu dalam otakmu itu."
"Tell me!"


"Huh? Aku hanya memikirkan bagaimana sebaiknya di hari pertama kuliahku. Making friend isn't easy."

 
     Perkataan Eric redup di akhir. Sesaat jelas nampak ketidakyakinan atas jawabannya. Disusul helaan napas panjang yang membuat Celine makin curiga. Eric kini mendongak. Dia menaruh sepotong roti yang baru ia gigit. Dia menatap Celine lekat.


"Sebenarnya aku bertemu Evan beberapa hari lalu."


Celine nampak tenang. Dia meletakkan pisau garpu nya lalu tangan wanita itu menjulur, meraih tangan Eric.


"Evan masih memintaku kembali. "
"Sebenarnya dia tak mengatakan itu. Tapi aku merasa begitu." jujur Eric. Perasaannya berkata demikian.


"Apa yang kau lakukan?"
 

"Aku terkejut. Atau mungkin lebih tepatnya aku tak siap jika harus berbicara dengannya. Aku tak tahu. Aku hanya berpikir bagaimana aku harus menganggapi perkataannya, apa yang harus aku katakan, bagaimana aku harus bereaksi. Maka aku—"


"Kau?"


"Aku berlari."
"Lagi."

 
     Seketika hening. Eric tertunduk dan bungkam. Wanita di hadapannya pun tak bersuara. Tangan mereka berdua yang masih tertaut dilepas oleh Celine. Terasa sebuah sentuhan di pucuk kepala Eric. Sesaat setelahnya ia mendongak. Mendapati wanita itu tersenyum atau mungkin menampilkan ekspresi yang aneh? Ia tak mengerti. Tangan Celine terhenti dan kini beralih. Menyentuh lembut pipi Eric dan dia berkata, "Kau tahu? Semakin kau berlari semakin sulit bagimu untuk terbebas. Walau semua ini adalah keinginanmu, aku tak ingin memberikan nilai buruk untuk itu. Tapi satu hal yang mungkin kau juga rasakan." Celine menahan kalimatnya. Ia tersenyum entah untuk apa. Pandangannya teralih namun eksoresi di wajahnya masih jelas nampak.  Ia berkata, "Aku yakin Evan adalah orang yang tulus. Dia benar - benar mencintaimu, Eric."


     Detik selanjutnya Eric lekat menatap Celine. Wanita itu kini benar tersenyum. Rasanya hangat dan penuh cinta. Sedikit membuat Eric reda dari kecamuk hatinya.


"Baiklah.. Baiklah... Masih ada hari esok yang menanti. Dan ya!"
"Makanan ini akan tak sedap jika sudah dingin. Mari kita lanjutkan makan."


     Anggukan tanda setuju dari Eric. Ia menggigit sisi lain roti. Pun Celine yang mulai menyantap makanannya. Meja itu hening. Terdengar hanya suara sendok dan garpu yang saling  bersentuhan dengan piring. Begitu hingga keduanya selesai makan.
 

    Satu hal yang Eric herankan. Celine tak terkejut. Seolah dia tahu hal ini akan terjadi. Tapi lebih dari itu, pikiran Eric kini menimbang perkataan Celine.


"Aku akan keluar untuk merokok."


"Masih? Aku pikir kau sudah berhenti?!"


"Memang."



****



     Malam terakhir di Jerman, lelaki dengan coat tebal itu berjalan cepat memasuki gedung tinggi tempat ia menginap. Ia akan check out besok pagi. Ada niatan untuk mampir ke apartemen Celine sesuai undangan wanita itu.


     Dari balik jendela, dengan menyesap kopi yang baru ia buat Evan menatap langit. Akan lebih indah jika ia keluar dan duduk di balkon. Hanya saja udara terasa begitu dingin. Entahlah. Lelaki itu duduk termenung. Menyesap lagi kopi yang ia tiup sebelumnya. Pikirannya kini dibawa terbang. Beberapa hal mengganggunya.


       Ia akan pulang ke Amerika besok. Dan ia menjadi lupa. Apa yang sebenarnya ia inginkan hingga datang jauh kemari. Ia tak mendapat apapun selain— tidak ada apapun. Kondisinya tak berubah. Pertemuan tempo waktu tak memberinya jalan terang. Dan ia tak ingin menyebut dirinya pengecut karena menyerah. Bukan menyerah. Evan ingin kembali ke kehidupan normalnya. Kembali pada dirinya yang dulu bisa tenang bahkan hanya karena sibuk bekerja. Walau di sudut hatinya masih teringin bertemu dengan Eric, ia hapuskan cepat keinginan itu. Sejauh ini dia pergi tetapi ia tak mendapat apapun. Dia berjuang sejauh ini tapi tak mendapat timbal balik apapun. Cinta yang ia punya tak cukup untuk membuat orang terkasihnya kembali padanya? Bukan!  Bahkan ia dan Eric belum secara resmi bersama. Yang mungkin bila dikatakan, cinta yang ia punya tak cukup untuk membuat ia dicintai balik.


    Bibirnya kini tertekuk sedih. Ada rasa miris yang menggerogoti hatinya. Lalu rindu yang menyiksanya seiring ia memaksakan diri untuk melupakan dan menyerah. Ia merindukan lelaki itu. Ia bertanya dalam gumaman kecilnya, "Apa susahnya mencintai aku, orang yang mencintaimu? Sesulit itukah?"


     Evan penat. Ia memilih menyerah. Tekad kuatnya perlahan hilang bersamaan dengan hilangnya sosok yang ia ingin temui. Apalagi?  Kedatangannya kemari adalah agar bisa meluruskan semua hal yang terjadi. Atau mungkin jika itu sulit ia hanya ingin berbicara sebentar, atau hanya meihat bahwa Eric baik - baik saja tanpanya.


"Bukannya dia juga baik - baik saja bahkan sebelum bertemu denganku?"


     Lagi. Tanya itu membuat ciut hati Evan. Bukan takut namun seperti rasa miris yang meluap. Percaya dirinya sesaat hilang karena pertanyaan bodoh pada dirinya sendiri. Senyuman kecut terpampang jelas. Evan memejamkan matanya sesaat. Lalu helaan kasar ia lepas. Ia bangkit dari duduknya. Saat tiba - tiba ponselnya berdering. Ada nama Samara disana.


"Ya? Halo?"


"....."


"Aku akan kembali besok. Jadi hentikan ocehanmu."


"....."


"Ya ya ya. Tidak ada yang lucu mengenai hal itu."
"I'm done here so i wanna go back home. That's all!"


"....."
 

"Tidak ada yang lebih baik selain menyudahi ini semua?"


"....."


"Tentu saja. Mm!"


"...."


"Bye."


      Tak jadi. Pantat lelaki itu kembali menyentuh couch single dekat jendela. Hembusan napas kasar terdengar untuk kesekian kalinya. Matanya terpicing. Tanpa sadar tangannya memijit pelipisnya pelan. Apa resiko jatuh cinta harus sampai seperti ini? Lelaki itu meracau pelan. Mengacak rambutnya kasar dan segera menenggak habis kopi yang masih panas—sedikit lebih dingin. Punggungnya ia sandarkan. Matanya lagi - lagi ia pejamkan. Tarikan napas dalam diiikuti hembusan perlahan. Evan ingin sedikit lebih tenang.


 
 
"Lebih baik aku tidur."



####G
To be continued....


 
 

 

Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang