#33. (Hopeless)

2.1K 159 19
                                    

"Aku masih mencintainya."
"Tentu saja."


Seorang lelaki duduk berhadapan dengan wanita yang sedari tadi bungkam. Bahkan suasana riuh cafe tak membuatnya samar. Evan jelas mendengar perkataan Celine. Tak ada keheranan. Evan tahu betul, melupakan tak semudah yang dibayangkan. Tatapan ia alihkan. Mata Evan jatuh pada Celine tatkala kekehan lepas dari bibir velvet wanita itu. Diikuti senyuman, wajah Celine seperti benar tulus mengatakan. Hati Evan merasakannya.


"Aku sama sekali tak berharap Eric kembali padaku."


Ucap Celine berikutnya. Lalu wanita yang matanya mungkin menahan air, memberikan wajah pada Evan. Manik mata mereka bertemu yang kemudian Evan bertanya.


"Kenapa? Kau bisa saja mendap—"


"Tak perlu bertanya kenapa. Aku terlalu naif." potong Celine cepat. Tatapan matanya dialihkan. Evan langsung bungkam. Mempersilahkan Celine melanjutkan.
 
 
"Hubunganku sudah tak sehat sejak awal. Aku juga bukan wanita baik seperti apa yang dipikirkan Eric. Aku berkencan dengan banyak pria tanpa dia tahu.Menghabiskan lebih banyak waktu dengan duniaku dan bukan dengannya. Yang kupikir, dalam hubungan kau hanya perlu ada saat kekasihmu memerlukanmu. Itu cukup untuk membangun rasa percaya dan kau tau? Kebahagiaan. Aku ada saat Eric membutuhkanku. Aku akan bersikap manja seperlunya agar dia juga mendapat timbal balik dari perasaannya padaku. Dan aku tak banyak peduli mengenai hal selain itu.Terkadang aku merasa telah membodohinya. Membuatnya terus jatuh padaku dan hanya mempermainkan perasaanya. Dan itulah yang membuatku sadar. Buruk rasanya mencari kesenangan dari ketulusan yang diberikan. Terlebih lagi,"


Digantung. Ucapan Celine tak ia selesaikan. Evan tak menantikan apa selanjutnya. Toh, ia takut jika akhirnya berbelaskasih dan mengalah membiarkan Celine mendapatkan kembali Eric. Hanya saja, ia tak menyangka wanita yang kini mungkin meredam gejolak hati di hadapannya ini bisa berubah. Menyadarkan Evan, sosok yang kau kenal bisa jadi sosok misterius bagimu. Apa yang ditampilkan tak lebih dari sasuatu yang bukan bagian diri seseorang. Evan sedikit berpikir, Celine wanita yang berhati lembut.


Hening.


Beberapa detik mungkin menit keduanya bungkam. Evan menatap busa yang perlahan meletup diatas Latte miliknya. Lalu wanita velvet itu menunduk, sesekali mengusap wajahnya. Riuh mereka biarkan mengisi telinga. Arah pembicaraan ini, Evan agak sulit merespon.


"Ehem-!"
"Jadi? Apa kau tahu keberadaan Eric sekarang?" ucap Evan mencoba kembali pada topik utama. Ia menatap dengan alis terangkat sebelah. Tak ada keseriusan, tapi ia ingin mendapat informasi mengenai Eric.


"Aku berjanji padanya untuk tak memberitahumu."
"Walau kau memaksa, aku tetap akan menepati janjiku padanya."


Belum sempat Evan berbicara wanita itu beranjak. Berjalan melewati Evan, hendak keluar dari cafe yang sudah dikunjungi untuk kesekian kalinya oleh Evan. Bersama dengannya, Evan jelas mendengar.


"Aku bukan ingin menghalangimu."
"Kau hanya perlu berusaha lebih keras untuk membuktikan cintamu."

 

Sialan. 



***



"Kau baru pulang?"



"Kau tidak buta."

Eric terkekeh pelan. Ia beranjak melangkahkan kaki mengekori Celine menuju dapur. Ia sandarkan bahu kanan di pintu, menatapi Celine yang tengah meneguk segelas air putih sambil berdiri.


"Duduklah. Jangan seperti seseorang yang tak tahu tata krama."


Celine tak menghiraukan. Ia terlalu lelah untuk meladeni lelaki yang mungkin belum menyentuh air sejak pagi tadi. Beberapa tegukan dan habis. Lalu Celine mendudukkan dirinya sambil membuang napas kasar dan mulai berbicara.


"Kau akan mendapat kejutan."


"Don't be kidding. I ain't a child. Aku tidak butuh gurauan semacam itu."


Eric berjalan mendekati Celine sambil memutar bola mata malas. Ia lipat kedua tangannya, lalu ikut duduk disamping Celine.


"Aku serius."
"Itu jika orang yang akan memberimu kejutan pandai."

  
Eric melirik. Bisa ia lihat gelagat yang sedikit aneh dari Celine. Bukannya ingin berasumsi atau semacamnya,Eric sangsi. Tak yakin jika Celine telah bertemu Evan hari ini. Memgobrolkan banyak hal mengenai diirnya dan tentu, petunjuk mengenai keberadaan Eric di Jerman. Honestly,  Eric juga tak akan marah bila sampai Evan datang mengetuk pintu dan mengatakan 'Aku tahu lokasimu berkat Celine.' Eric tak akan marah. Hanya saja, apa akan semudah ini takdir yang digariskan?


Jangan lupakan bahwa Eric tak benar - benar serius berpisah. Bukan kedok, tapi Eric ingin sembuh dan melupakan sejenak hiruk pikuk masalah yang telah terjadi belakangan. Bukan hanya tentang Evan, tentang segalanya. Walau bisa dibilang, alasan terbesar ia pergi adalah menghindar dari Evan. Tapi tak bisa disangkal Eric juga dihantui bimbang di hati. Maaf tak pernah dilayangkan. Tapi Eric juga bukan orang yang akan mengutuk jika ia masih bisa melapangkan dada. Eric juga tak meminta Evan datang dan memohon maaf dan sebagainya, karena Eric sadar dirinya juga bersalah. Lalu kau takkan terbakar bila tak membuat api. Semua hal yang terjadi saat ini adalah imbas dari awal mula cerita.


Penolakan? 


"Hei! Kau melamun?"


"Kau tidak buta."



Celine mendengus kesal. Kakinya berjalab menjauh, meninggalkan Eric yang dibuat was - was. Ia harus aoa jika Evan datang dan meminta maaf? Mungkin bukan itu masalah terbesarnya.


Apa yang harus ia lakukan jika Evan mengharapkan kebersamaan mereka kembali?



"Celine."panggil Eric. Wanita yang sudah agak jauh melangkah, menoleh padanya. Badannya ia putar dan kini menghadap dirinya. Senyuman terlontar. Seperti mengerti isi pikiran Eric, Celine berkata dengan gelagat yang bukan dirinya.


"Jangan berpikiran yang terlalu berlebihan. Bertemu atau tidak yang jelas aku ada janji dengan klien penting hari ini."



"Kau yakin?" tanya Eric memastikan. Ia ragu jika Celine tak jujur. Dihatinya, ia merasa Celine tau sesuatu.Sesuatu yang mungkin akan terjadi pada dirinya, Eric.

"Aku lelah. Kau bisa makan pizza yang kubeli jika lapar. Aku akan tidur lebih awal dan jangan lupa masukkan ke kulkas jika kau selesai memakan pizza itu."


"Aku akan keluar."
"Sekedar mencari kesegaran."


Beranjak. Eric berlari kecil menuju kamar. Mengambil jaket tebal beserta sarung tangan dan keperluan keluar lainnya. Yang ia pikirkan barusaja.


"Kenapa jadi panas seperti ini?"




***




Evan berjalan gusar menuju hotel. Kakinya ia seret kasar, membunyi yang tak enak ditelinga. Hatinya dibuat resah. Perkataan wanita itu seperti menantang hati Evan. Kesungguhannya diragukan oleh wanita jahat sepertinya?


Panas.


Otak Evan panas dan mungkin akan meleleh jika terus menerus seperti ini. Tak ada tanda nampak. Keberadaan Eric masih disuatu tempat yang belum diketahui dirinya.


Huft.


"Apa sesulit ini mencari keberadaan seseorang?"
"Jika aku memang belahan jiwanya, mungkin aku takkan kesulitan. Sayangnya aku bukan."


  Taksi berhenti. Dibuka dengan kasar pintunya, Evan masuk kesana dengan buru - buru. Jaket setebal itu masih saja membuatnya dingin. Terlebih tangannya yang seperti akan mati rasa bahkan walau terbalut sarung tangan tebal disana. Well, hanya otaknya yang panas bukan badannya.


Menggelikan.


Didepan hotel, diseberang jalan Evan turun. Ia melangkahkan kaki, menatapi jalanan yang cukup lengang mungkin karena tumpukan salju. Akan badai, pikirnya. Mungkin ia harus lebih cepat bergerak agar bisa menghangatkan diri di kamar hotel. Well, fyi Evan mmeilih hotel terdekat dari apartemen Eric. Mungkin berjarak seratus meter atau kurang dari itu. Dengan berjalan kaki, tak banyak waktu termakan untuk pergi kesana.


"Apa perlu aku datang mengeceknya lagi?"


Evan berhenti. Sejenak ia bimbang memutuskan. Lalu berjalan melewati hotel miliknya menuju apartemen Eric. Ia baru sadar. Celine berada di gedung yang sama dengan Aprtemen Eric.  Pagi tadi saat Evan datang menilik, bukannya ia tak sengaja bertemu dengan Celine? Langkah kaki Evan dibuat cepat.


Ini pasti bukan ketidaksengajaan.


Ia tiba. Didepan gedung tinggi bergaya modern, Evan menyeberangkan diri melewati lalu lintas yang makin lengang. Sudah malam,tak banyak aktifitas terkihat di apartemen itu. Hanya beberapa orang terlihat santai berjalan berpapasan dengan Evan yang masuk. Matanya menelisik. Bergantian mengamati sekitar, berharap menemukan sesuatu. Di ujung lorong yang ia langkahi, seorang lelaki berdiri membelakanginya. Ia mengamati gerak gerik lelaki itu. Jaket yang dikenakan ia mengenalinya. Postur? Tak penting. Pria itu lantas masuk lift tatkala pintu terbuka. Berbalik dan samar dapat Evan lihat wajahnya.





"ERIC!!"






####G

  Pretty confusing but well, trying ma best.
Udah mau final nih.
Dibikin agak panjang dikit doang.
Semoga gak ngelantur - ngelantur amat.
Happy reading. ^^

Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang