#31. (Heartache)

2.2K 163 38
                                    

Lamunan pecah. Evan mengerjapkan matanya, menengokkan kepala. Dilihatnya wanita dengan raut khawatir dibelakangnya. Senyuman Evan ukir. Keadaan yang membuat semua orang menjadi terlalu berlebihan pada dirinya. Evan bahkan tak sedih. Atau dia sama sekali tak sedih.

'Ini lebih seperti menyesal' pikir Evan. Tak ada, mungkin jika optimis masih ada harapan untuknya kembali pada Eric. Ya, pesan dari lelaki itu sudaj ia baca. Diri Evan tak menyangka. Pun ia juga tak mengira jika Eric bertindak sejauh itu. Demi memperbaiki diri dan melupakan dirinya, Evan.

Evan sudah memesan tiket pesawat. Tak ada rasa yang membuatnya seperti kesetanan karena ditinggalkan kekasihnya. Evan malah seperti orang yang enggan. Ada rasa malu dan takut menyelimuti. Hatinya seperti enggan untuk sekedar mendekat setelah semua yang telah ia lakukan. Dan setelah semua yang terjadi.

Evan benci dirinya sekarang. Sebenarnya Samara berhasil mendapatkan penerbangan tercepat. Dua jam setelah keberangkatan Eric. Hanya saja, kembali pada Evan.

Yang ia rasakan seperti semuanya terbakar habis. Tak ada hasil. Selain abu dan arang. Semuanya sia - sia.

***

"Kau sama sekali tak seperti Evan."

"Aku Evan. Kau kenal aku."

Samara mendengus. Wanita itu mengambil selembar kemeja di lemari Evan. Meletakannya di ranjang lalu berjalan keluar kamar.

"Jangan sampai benihmu layu karena panas matahari. Ingatlah bahwa tanpa matahari, benih itupun takan tumbuh."

Evan tak menghiraukan. Terlalu banyak hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan daripada perkataan Samara.

Huft.

Evan menghela napas. Rahangnya mengeras kesal. Lalu hembusan lain terbuang. Evan memejamkan matanya. Membukanya lalu menatap bayangan di cermin. Ia melihat dirinya. Masam. Membosankan. Murung. Kaku. Tak ada senyuman. Dahi yang berkerut. Dan pakaian rapi seperti pria paruh baya.

Sejenak ia berpikir bahwa ia terlihat seperti seorang psikopat yang akan melakukan apa saja demi hal yang ia inginkan. Kenyataannya, itu analogi yang mungkin tepat. Evan seperti benar - benar berambisi mendapatkan hati Eric. Bahkan dengan menyusun rencana itu. Rencana yang membuatnya lupa resiko ini. Ditinggalkan dan mendapat cap egois serta pembohong.

Terserah.

***

"Aku tak ingin sarapan."

"Makanlah. Setidaknya satu lembar roti."

"Evan tak lapar. Satu jam lagi penerbangan Evan. Evan akan pergi ke bandara."

"Papa akan perintah so-"

"Tidak perlu. Biar Samara yang mengantarkan Evan."

"Wait, kenapa harus aku?!"

-

Pintu mobil tertutup. Evan masih mengunyah roti. Dibibirnya bahkan masih terhimpit dua lembar roti berselai strawberry. Ia mengunyah perlahan. Tangannya memegang kemudi, memarkirkan mobil keluar pelataran kediaman Smith.

"Aku tak yakin kau akan mengendarai ke rute bandara."

Evan menoleh. Rotinya sudah habis tertelan. Mulutnya terkatup tak merespon. Kepalanya menoleh dan mendapati Samara dengan tatapan menhintimidasi. Matanya seperti tahu semua yang ada di pikiran Evan.

"Berhenti dan biarkan aku yang menyetir."

"Aku bahkan tak berpikiran begitu. Kau terla-"

"Tidak ada bantahan. Menurutmu berapa lama aku mengenalmu? Aku bukan orang yang barusaja datang lalu tiba - tiba bersikap jadi yang paling penting. Kemudian pergi begitu saja. Jadi jangan mencari alasan apapun."

Evan terpaksa menepi. Ia keluar mobil dan memutar ke pintu dilain sisi. Samara hanya berpindah menuju seat kemudi. Setelahnya Samara yang memegang kemudi. Tak ada percakapan. Evan meneguk air mineral dalam botol. Samara nampak fokus ke jalan. Dia seperti tak ingin mengganggu. Pun Evan yang seperti asik tenggelam dalam pikirannya.

Beberapa saat berlalu. Mobil mereka kini telah terparkir. Evan mengeluarkan sebuah koper. Samara hanya memandanginya tanpa ada niatan untuk mendekati pria itu. Evan berjalan duluan. Bukan langkah cepat. Samara yang membuntutinya merasa kalau Evan masih saja.

"Huft."
"Jika kau tak ingin pergi. Tak perlu pergi."

Evan segera menoleh. Matanya seperti terkejut mendengar perkataan wanita yang berdiri beberapa langkah darinya. Lantas ia berhenti. Badannya ia putar, kini menghadap Samara.

"Apa yang kau inginkan?"

"Kau seperti enggan. Keraguan takkan membuatmu mencapai tujuan."

"Lalu?"

"Seperti yang kukatakan. Jujur saja, aku tahu betapa lelahnya otakmu. Betapa lelahnya hatimu atas semua yang terjadi. But hey! Kau bersikap seperti tak lagi berminat. Kau hanya mengikuti perkataan orang disekitarmu. Tak ada lagi kata hati yang menuntun dirimu sendiri."

Evan menyerngirkan sebelah alisnya. Dahinya dibuat berkerut karenanya.

"Apa maksudmu?"

"Nyonya dan Tuan Smith, papa mama mu. Mereka juga tak ingin memaksakan apapun. Kalau kau memang bisa melupakan Eric, seperti yang Eric lakukan padamu, maka kau tak harus pergi. Ke Jerman dengan hati ragu, bertemu dengannya pun akan menghasilkan apa? Ayo pulang!"

Samara mendekati Evan yang masih terdiam. Mulut Evan terkatup rapat. Dan Samara tak mendapat respon apapun.

"Apa menurutmu ini tak memalukan saat kau yang membiarkannya peegi tapi kau juga yang ingin dia kembali?"

"Apa kau pikir ada orang tetap pandai dan bisa menggunakan otaknya saat mereka jatuh cinta?"

Samara tersenyum remeh. Dia menatap manik mata Evan yang seperti menahan emosi yang simpang siur. Lelaki itu tak beekutik. Evan lalu mencoba tesenyum yang tanpa disadari bendungan air matanya pecah. Ia menangis.

"Cukup! Jangan berikan wajah sedihmu di hadapanku. Aku tak butuh. Ungkapkan rasamu itu dihadapan lelaki yang kau cintai. Aku sudah setiap hari melihat wajahmu yang masam menahan tangis. "

"Lalu aku harus apa?"

***

Evan menatap jendela. Setelah perdebatan dan ya, banyak hal - hal yang sempat membuatnya ragu, ia berhasil menyingkirkannya. Menghilangkan semua pikiran negatif di otaknya. Buktinya sekarang ia tengah memandangi ketinggian dari jendela.

Ia dalam penerbangan menuju Jerman.

Well, Evan tersadar. Mana mungkin ia bisa meyakinkan Eric jika ia tak bisa yakin pada dirinya. Walaupun banyak kemungkinan buruk terjadi padanya. Benci yang Eric punya, bisa jadi halangan besar untuk mendapatkan lagi perasaan lelaki itu. Napas kasar lolos. Evan memejamkan mata mencoba menenangkan pikirannya. Perlu diketahui bahwa lelaki malang ini sudah mengirim ratusan pesan pada Eric yang sama sekali tak mendapat respon apapun. Terlebih, ini masih saja seperti koyakan besar baginya. Bagaimana ia menjadi dibenci oleh Eric. Lalu dia seperti dilupakan begitu saja olehnya, dan sekarang Eric benar - benar seperti ingin menyudahi apapun yang berhubungan dengan Evan.

"Babe, i'm coming."

###G
Hi! It's oredi updated!
Thanks buat yang yang masih stay nunggu.
Keep supporting me dengan kasi bintang hehe,
Juga tinggalin jejak biar makin akrab sama author.

*maap pendek banget. Author lagi happy mood soalnya.

Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang