#19.5 (Dinner II)

2.9K 219 13
                                    

   Bisa dilihat bahwa Samara jauh lebih dekat dengan Keluarga Smith dibandingkan Eric yang notabe nya calon menantu keluarga. Entah hubungan apa dan berapa lama Samara mengenal Evan. Keberadaan Eric disini hanya seperti menonton. Dia sudah berada di dapur. Apron juga sudah melekat di tubuhnya. Tapi bukannya melakukan sesuatu, dari tadi ia hanya menatapi betapa lihainya Samara memainkan pisau. Betapa kemampuan memasaknya jauh—sangat jauh lebih baik dari dirinya. Eric mengehembuskan napas kasar. Jika dia lama - lama berada di sekitar Samara, ia akan merasa insecure pada diirnya sendiri. Merasa tak pantas bersaing dengan orang yang sudah lama bersama dengan orang yang ia cintai.

"Aku berhenti."
"Mataku akan sembab jika harus berdekatan dengan bawang."

   Eric berkata demikian. Dilepas apron dan headband yang entah sejak kapan melekat di kepala Eric. Bisa Eric dengar tawa kecil keluar dari dua wanita yang ada disisi lain meja. Samara pun yang tengah mengaduk masakannya ikut menoleh. Ia tersenyum pada Eric.

"Hey!  Kau menyerah karena bawang? Kau ini calon menantu Keluarga Smith. Jangan sampai kau kalah dari Evan. Dia bahkan lebih pandai daripada aku yang wanita." Eric mendengarkannya seksama. Suara Samara yang menjadi pelan saat mengatakan kalimat terakhir ia tangkap. Eric tersenyum miring. Lalu tertawa kecil dengan tangan menutup mulutnya. Baru ingin berkomentar, Evan tiba - tiba datang dan ikut berbicara.

"Kalian membicarakanku?" Evan berjalan mendekat ke arah Eric. Berhenti disamping Eric yang menahan degupan tak sehat di dadanya. Entah. Begini saja Eric sudah tak bisa mengendalikan rasa yang meluap - luap di tubuhnya. Sialan!

"Eric menyerah karena bawang yang ia potong. Katanya matanya akan sembab jika terus bersama bawang." ucap Samara sambil memegang sepotong bawang di tangannya. Samara tertawa kecil melihat Eric yang menundukkan kepalanya.

"Benarkah begitu?"tanya Evan memberi tatapan penasaran.

"Sudahlah. Jika kau ingin masak, masaklah. Aku akan menunggu bersama yang lain."  Eric berucap lalu melenggang begitu saja. Diberikannya apron yang ia kenakan tadi pada Evan. Evan hanya berdecak lirih lalu tertawa kecil di akhir. Eric tak tahan jika ia jadi bahan lelucon begini. Terlebih Samara ikut menertawainya. Seperti tak berharga rasanya.


"Ouch! Astaga!!"


   Eric yang hendak melenggang keluar mengehntikan langkahnya. Refleks ia berbalik mendengar Samar menjerit. Mata wanita itu berair. Yakin pasti tangannya yang baru menyentuh bawang malah di bawa ke mata. Dilihat oleh Eric, Evan yang cepat - cepat mendekati Samara. Dia membawa Samara ke washtafle. Mencucikan tangan Samara, lalu membasuhkan air pada wajahnya.


Kenapa harus lagi?!


   Eric yang makin muak memilih untuk keluar. Lagi - lagi. Lagi - lagi suara menginterupsi langkahnya. Evan memanggilnya. Memintanya untuk mengambilkan obat di kotak yang ada di sudut ruangan. Dengan malas, ia mengambil obat itu. Memberikannya dengan separuh keikhlasan pada Evan. Entah.

Dia tak suka drama antara Evan dan Samara. Klasik tapi tetap menyebabkan duri di hatinya. Di hari ini,  sudah ketiga kalinya hati Eric yang masih basah lukanya terkoyak. Perkataan Evan di depan cermin, kedatangan Samara, dan ini. Cepat - cepat Eric melangkah pergi dari dapur. Tak menghiraukan panggilan Evan yang entah meminta bantuan apa.

"Seharusnya kau peristri saja Samara mu itu. Jangan mengejarku!"


***


Makan malam dimulai. Eric duduk bersebalahan dengan Evan. Di hadapan Evan, tepatnya diseberang sisi ada Samara. Makanan sudah terhidang di meja. Tuan rumah mempersilahkan untuk memulai jamuan makan malam. Eric mencuri pandang pada Evan yang seperti menatap khawatir Samara. Seketika perutnya penuh. Ia kenyang sampai tak ingin memakan hidangan yang ada. Evan berdiri dari duduknya. Mengambilkan sekotak tissue untuk Samara yang matanya masih saja berair.

'Seberapa parah mata itu sampai bisa membuat Evan menuangkan perhatiannya padamu, huh?!'

  Eric seperti wanita yang terbakar cemburu. Belum sesuap makanan pun masuk ke mulutnya. Ia meminta ijin untuk ke toilet. Ia seperti ingin menangis. Cemburu buta tanpa alasan yang jelas. Rasa posesif terhadap Evan, menganggap semua kedekatan yang bukan dengannya, membuat Eric gusar. Di toilet, dia tak buang air. Dia menatap lekat wajahnya di pantulan cermin.
 
'Ada yang kurang dariku?'

Lagi.


  Eric mencuci wajahnya. Membiarkan air dingin menyejukkan kulitnya yang ikut panas. Bukan menyangkal. Dia makin tak bisa menyangkal kalau perasaannya makin tumbuh pada Evan. Siapa orang yang bisa bertahan dengan egonya saat perhatian terus diberikan dan perlahan menggerogoti tembok egonya itu. Setiap hari bertemu. Setiap hari mencium aroma tubuhnya. Mencium aroma parfumnya. Setiap saat menjadi memikirkannya. Eric pernah tak sudi untuk jatuh seperti ini. Tapi sekarang apa?

Melihat kedekatan Evan dengan sekretarisnya itu saja membuat dadanya sesak. Apalagi kalau nanti memang sebenarnya Evan malah jatuh pada wanita itu dan bukannya dirinya. Pikiran insecure nya malah membuat Eric makin buruk. Makin buruk sebagai orang jatuh cinta. Sudah.

"Salahku sendiri jatuh terlalu dalam. Sekarang aku merasakan semua sakit yang berlebihan."


***


"Kau kenapa?"Eric menoleh. Evan ada di sampingnya membawa segelas air putih.

"Nope. Aku tak apa. Tiba - tiba saja aku kenyang."
Eric menarik padangannya. Berpaling menatap kulkas yang ada di hadapannya. Matanya melihat pantulan dari lapisan kaca kulkas itu.

'Of course i'm not ok. Don't u understand?'

"Jangan mencemaskan hal yang tak perlu. Kau akan cepat tua jika dahimu terus dikerutkan seperti itu."

Senyap.

  Eric seperti tak ingin berbincang dengan Evan. Matanya masih menatapi pantulan dirinya disana. Hingga sebuah usakan lembut mendarat di pucuk kepalanya. Evam berdiri tepat di sampingnya. Eric melihat pantulan bayangan Evan yang terbalik di lapisan kaca. Eric tak menoleh. Terlalu menikmati usakan yang seperti candu baginya. Barusaja ia terluka tapi menyembuhkan diri dengan berada disamping orang ini membuat dirinya membaik. Seketika membaik.

"Aku tak mencemaskan apapun."

"Bagus kalau begitu."
"lebih baik jika kau bergabung. Hidangan dingin mungkin takkan sesuai seleramu. Come on!"

Tangan Evan menggenggam tangan Eric. Terbelalak Eric seperti tak percaya. Eric hanya bisa berjalan mengikuti setiap langkah Evan. Aroma mint tercium dari pakaian lelaki di depannya ini. Seperti menyeruak di indera penciumannya, aroma Evan jadi relaksasi otak Eric yang panas. Eric menunduk. Yakin rona merah merambat memenuhi permukaan wajahnya. Degupan itu muncul lagi. Kali ini lebih kencang. Terlintas sesuatu hal yang tak pernah Eric pikirkan. Sesuatu yang tak normal selama ini baginya. Ingin rasanya Eric jadi orang satu - satunya yang Evan perhatikan. Jadi satu - satunya yang menjadi segalanya untuk orang ini.

'Semoga ia tak mendengar degupan jantungku karena tautan tangan ini.'

##G
Updated!
Gatau mood lagi ga begitu baik.
Happy reading, n stay tuned.
Keep supporting my work.^^

Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang