#12. (Jealous?)

4.1K 273 9
                                        

Eric bangun sendiri pagi ini. Alarm berdering keras sebelum akhirnya Eric beranjak dari kasur empuk miliknya. Dia berjalan malas. Mencuci muka, menggosok gigi, lalu berusaha menyiapkan diri untuk pergi ke kampus. Didahului pergi ke rumahnya setelah satu minggu lebih tinggal di tempat asing ini.

Eric berusaha menikmati paginya. Tidak ada sarapan enak. Eric terlalu malas untuk membuatnya. Skill masaknya tak sebaik Evan. Bahkan tak sebanding dengan Evan. Ia memilih roti dengan selai nanas yang ada di meja. Dua lembar roti dan segelas susu dingin dari kulkas ia habiskan tak sampai lima menit. Ia bergegas untuk pergi ke kediaman Adam, rumahnya, sebelum berangkat ke kampus.

**

"Hey! Morning, dear.. " wanita setengah baya itu memberi pelukan hangat pada putranya. Sebuah ciuman mendarat di kedua pipi lelaki itu.

"Morning, mom."
"Aku benar - benar rindu rumah ini. " ucap Eric, mendudukkan dirinya di couch panjang ruang tengah.

"Apa daddy sudah berangkat?"

"Ya, daddy mu sedang ada dinas luar. Dia akan pulang lusa besok." jawab Julia.

"Oh."

Rasanya agak asing menginjakkan kaki di kediaman Adam. Setelah hampir satu minggu tinggal jauh, Eric rindu. Bukan keinginanya untuk hengkang, hanya saja Daddy nya yang sekeras batu karang itu membuatnya harus tinggal dengan Evan. Ya, walaupun Eric sekarang sudah agak sedikit terbiasa dan agak sedikit mengenal Evan lebih baik.

"Apa kamu sudah sarapan, Er? " nyonya Adam membawa sebuah kotak makan setelah beberapa saat berkutat di dapur.

"Mm-! Aku sudah." jawab Eric disertai anggukan.

"Evan yang memasaknya?"

"No. Evan menginap dikantor sejak semalam. Aku mungkin membuat masalah." Eric mengucapkannya seolah tak begitu peduli.

"Coba ceritakan apa yang terjadi." Nyonya Adam duduk disamping putranya. Tangannya menyentuh bahu Eric.

"Seperti biasa. Aku menyalahkannya atas 'ini semua'. Aku menuduhnya menculikku, memaksa daddy menerima lamarannya, mengatakan dia sengaja membeli saham 'Rio Corp' agar bisa dekat denganku, dan segala hal negatif lainnya."

"Apa aku salah, Mom? "

"Tentu saja! Seharusnya tanpa perlu bertanya, kamu pasti merasa bersalah. Seharusnya! Kelakuanmu itu bukan hanya salah tapi keterlaluan, Eric. Pernah nggak? Kamu membayangkan kalau kamu di posisi Evan? Ditolak mentah - mentah, di caci oleh orang yang ia lamar, dituduh hal macam - macam, apa kamu sanggup jika merasakan hal yang Evan rasakan?" Ucap Nyonya Adam panjang lebar. Beliau kini melipat tangannya di dada. Tak lagi duduk, dia berdiri di hadapan putranya.

"Mungkin-"
"Mungkin aku akan mencari orang lain yang lebih bisa menerima aku. Kalau aku jadi Evan, aku akan melakukan itu."

Eric menjawabnya ringan. Dia takan mungkin sebodoh Evan yang mau menunggu cinta tak pasti darinya. Buat apa dia harus menahan sakit hati yang belum tentu terjamin akan ada bahagia? Lebih baik mencari mereka yang nyata - nyata mencintai balik diri kita. Bodoh rasanya jika hal itu terjadi padanya.

Terserahlah

"Eric. Mommy tau daddy mu akan terus memaksa kamu untuk menerima lamaran Evan. Makanya mommy nggak banyak berkomentar dan ikut campur tentang perjodohan itu. Mommy juga mana mungkin merelakan anak satu - satunya mommy untuk jadi gay, dan menikahi sesama jenis. But, don't you understand? Mommy pikir kamu juga sudah setidaknyaebih baik mengenal Evan kan? Mommy juga sudah banyak ngobrol dengan Nyonya Smith, mama nya Evan. Evan bukan orang gay yang buruk. Dia bukan orang yang serta merta mau begitu aja dengan pria mana saja. Dia normal Er. Dia-"

"Wait! Evan straight? Kenapa mommy nggak pernah bilang sama aku? Buat apa dia ngejar-"

"Sst.. Dengerin dulu sampai selesai. Dia nggak pernah punya pacar atau semacamnya. Bisa dibilang, kamu first lovenya dia. Itu yang Ivanka bilang sama mommy. Dan mommy percaya itu."

First love?

Eric menggeleng - gelengkan kepalanya. Dia menyangkal kata - kata mommy nya barusan. Dia yakin mommy nya hanya mengarang cerita. Bukan menyangkal, tapi mana mungkin Evan tak pernah berpacaran? Itu sesuatu yang tidak mungkin. Entah kenapa Evan merasa jijik, tapi ada sesuatu yang lain dalam hatinya. Bukan benci atau semacamnya. Ada warna lain yang mungkin terpancar di hatinya.

"Mommy. Ini bekalnya buat aku?" Eric menunjuk kotak yang dibawa mommy tadi.

"Ya iya lah. Buat siapa lagi kalo bukan buat kamu."

"Sandwich?"

"Iya."

"Cuma satu potong?"

"Matamu sudah melihatnya dengan jelas, Anak kesayangan mommy." Nyonya Adam melotot.

"Ya sudah. Aku mau berangkat ke kampus."

"Ya. Hati - hati di jalan."

Eric berjalan cepat. Di dekat jalan raya yang masih agak lengang, dia menghentikan taksi. Ia punya hal lain yang mungkin perlu dilakukan. Eric tak sudi meminta maaf pada Evan. Eric juga mana mungkin merasa bersalah atas hal semalam. Eric hanya ingin membalas kebaikan Evan yang dengan baik merawatnya selama menculiknya. Di mansion Keluarga Smith, Eric bisa merasa seperti di rumahnya sendiri.

**

"Terima kasih."

Eric sudah di depan bangunan megah dengan tulisan "Smith Property". Kaki jenjangnya berjalan santai. Di tangan kanannya ada kotak yang tadi Nyonya Adam, mommy nya berikan padanya. Dia berniat memberikan bekal sandwich yang hanya satu potong itu pada Evan. Hingga matanya menemukan dua sejoli yang tengah asik berbincang. Berjalan berdampingan sembari diselingi tawa dan senyum di wajah keduanya. Eric tak pernah melihat Evan senyum semudah itu.

"Apa itu pacar Evan?" Eric bertanya pada hatinya.

Mata Eric terus mengikuti gerak gerik dua sejoli itu. Dia menyembunyikan diri dibalik mobil yang terparkir. Suara mereka tak terdengar begitu jelas, hanya keakraban yang jelas terlihat. Eric tak begitu peduli. Bukan hal yang seharusnya ia bersembunyi seperti ini. Tapi, kepentingan apa yang membuat dia harus bertemu dengan Evan? Berniat ingin balas budi, Eric malah disuguhi drama cinta Evan dan wanita tak dikenal itu.

Karena asik melamun, Eric tak sadar telah menampakkan dirinya.

"Eric?"

Mata Eric mengerjap. Lamunannya pecah mendengar suara Evan yang kini tiba - tiba sudah di hadapannya. Hal pertama yang terlihat, tangan wanita itu leluasa menggandeng tangan Evan. Hingga mata Eric beralih menatap wanita itu tajam.

"Ada apa, hm? Apa kamu pulang ke rumah pagi ini?"

"Ya. Tadinya aku membawakan bekal untuk mu. Ini dari mommy, tapi kelihatannya kalian akan keluar. Jafi mungkin aku tak jadi memberikannya."

"Ya, kami akan keluar. Mencari sarapan dan membeli sikat gigi."

"Ya sudah, aku pergi dulu."

Kaki Evan melangkah diikuti wanita itu. Tangan mereka masih tertaut. Eric hanya memasang ekspresi 'Oh'sambil memalingkan wajah. Dia diam di tempat hingga kedua sejoli tadi memasyuki mobil.

Lengang.

Mobil Evan sudah keluar area parkir. Disana hanya tersisa Eric yang jelas bodo amat dan akan merutuki niatan baiknya yang berakhir diacuhkan.

Ada sesuatu yang agak salah.

Apa aku cemburu?

"Siapa dia?"

##j

Updated gais.
Vote to support!

*maafkan typo dan salah kata.

Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang