#22. (Kirishima Edo)

2.9K 209 21
                                    

Eric membiarkan wajahnya disentuh angin malam. Bulan nampak agak kecil malam ini. Awan pun seperti tak ingin menampakkan diri. Langit malam tanpa berhias awan.


Di tangan kanannya ada secangkir mochalatte. Bukan racikan asli, hanya kopi siap saji yang ia buat untuk merelaksasikan otaknya.


Well, banyak hal yang ia pikirkan sekarang. Termasuk tentang Edo dan wanita mantan kekasihnya, Celine. Berminggu - minggu lalu, pengakhiran memang sudah terucap. Eric juga masih sangat ingat kata - kata yang keluar dari wanita berbibir velvet itu. Eric sepatutnya bersyukur. Bagaimanapun kini ia merasa sedikit kehilangan beban di otaknya. Walau masih banyak tanya disana.


Sejak kejadian malam itu, Edo tak lagi bersahabat dengannya. Tak pernah ada respon atas panggilan yang Eric berikan. Pesan yang ia kirimkan juga tak pernah dapat jawaban. Tentu saja Eric bingung. Sesuatu seperti saling terkait. Bahwa Samara sudah lama mengenal Edo, keluarga Smith yang seperti sudah menerima Samara dengan baik, dan ada apa antara Edo dan mantan kekasihnya? Bukannya Eric berpikir negatif mengenai Edo. Hanya saja, pasti bukan kebetulan bahwa semua orang disekitarnya saat ini bisa slaing terkait dan mengenal? Sangsi menggerogoti hatinya. Berlama - lama diterpa angin malam juga bisa membuat dirinya berpikir berlebihan begini.



***



"Apa kau baik - baik saja?"


Eric mengerjapkan mata. Menoleh mencari asal suara. Matanya bisa melihat Evan yang berjalan mendekat. Lalu pria itu duduk di sampingnya. Mematikan lampu di nakas samping, menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang.


"Entahlah."
"Satu persatu hal muncul di otakku. Dan aku merasa tidak baik akan mereka." kata Eric. Dia tak menoleh. Matanya menatap lurus ke depan, entah fokus pada apa. Lelaki disampingnya hanya diam. Menatap heran Eric yang tiba - tiba aneh begini. Lalu sebuah usapan mendarat di pucuk kepala Eric. Membuat Eric menoleh, menatap bingung Evan.


"Kau memikirkan Edo? Atau wanita penyihir mantan kekasihmu?"


Eric tersenyum. Lalu tertawa kecil. Bisa ia lihat Evan menatapnya aneh.


"Kenapa kau tertawa?"


Evan menaikkan sebelah alisnya. Tak mendapat jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan. Eric mana mungkin mengatakan secara gamblang tentang hal yang mengganjal di otaknya. Bukannya tak mau berbagi masalah, hanya saja ia juga tak yakin lagi tentang kebenaran pikiran di otaknya. Hatinya masih dipenuhi sangsi. Pikirannya belum tentu benar. Juga tidak bisa dipastikan salah. Ada kemungkinan semua yang ia pikirkan terjadi. Tapi Eric juga tak ingin mengambil pusing hal tersbut. Berpikir larut - larut hal tak pasti, hingga melupakan fakta bahwa banyak kenyataan yang harus ia hadapi adalah sesuatu yang sia - sia. Ia hanya butuh waktu untuk memastikan. Jika benar sudah ia jumpa, dia pasti akan berbagi pada Evan. Bercerita tentang apa - apa yang ia rasakan. Nanti.


"Apa menurutmu Edo punya seorang kekasih?"tanya Eric kepalanya menoleh pada Evan.


"Apa kau cemas jika ternyata Edo meninggalkanmu karena ia punya kekasih?" tanya Evan balik. Wajah Evan seperti tak suka. Eric bisa melihat mata Evan yang menyipit di bawah gelap. Alisnya tertaut posesif.


"What?! Bagaimana bisa kau berpikiran seperti itu?" Eric menoleh menatap Evan tak percaya. Suaranya melengking memekakkan telinga.


"Tentu saja. Kau bertingkah aneh belakangan." bela Evan. Dia memalingkan pandangan, menatap lurus ke depan. Matanya menyelidik dari sudut matanya.


"Tidak. Aku hanya berangan. Siapa kekasih Edo itu."


"Hentikan. Lebih baik kau tidur."
"Selamat malam."


Malam itu Eric tak langsung terpejam. Hatinya yang penuh sangsi pun tak bisa dikendalikan. Otaknya tak bisa berhenti memikirkan. Di satu sisi ia senang. Di sisi lain hatinya kini penuh dengan ragu dan pertanyaan. Banyak hal yaang terjadi belakangan. Sesuatu yang seperti saling terkait. Dan seperti


Terencana.



***



Eric menggeliat. Tirai kamarnya sudah tersibak. Ia bisa merasakan seseorang duduk di tepi ranjang. Menyentuh pelan bahunya yang tertutup selimut. Mata Eric masih penuh terpejam. Dia masih ingin bertahan di posisi tidurnya. Berat rasanya harus memulai aktifitas. Ia masih ingin tidur.


"Bangun."
"Bukankah kau akan mampir ke rumah keluargamu pagi ini?"


Tak ada respon. Eric masih bertahan di posisinya. Memeluk selimut yang menutupi separuh wajahnya. Terdengar beberapa erangan halus saat Evan menarik paksa selimut itu. Yang akhirnya membuat Eric bangun. Memaksakan matanya untuk terbuka dan badannya untuk ditegakkan. Eric bangun, mendudukkan diri bersandar pada kepala ranjang. Nyawanya masih tak terkumpul sempurna. Tangannya sesekali mengusap matanya yang masih terasa berat. Kepalanya mengikuiti setiap gerakan Evan. Evan sudah rapi dalam balutan setelan jas. Sedangkan dirinya masih terlihat seperti troll.


Tak perlu waktu lama. Menyiapkan diri untuk pergi ke kampus tak membutuhkan sesuatu yang spesial. Mandi, memakai pakaian, lalu menyiapkan diri, dan tentunya sarapan hanya butuh waktu 30 menit bagi Eric. Dan sekarang? Dia sedang dalam perjalanan. Evan memaksa untuk mengantarkannya ke kampus. Entah kenapa tapi itu membuat Eric senang.


"Ev, angkat teleponnya." Eric melirik ponsel Evan yang berdering. Penasaran siapa yang menelfon lelaki seperti Evan pagi - pagi begini.


"Aku sedang mengemudi, sayang."
"Bisa kau angkatkan untukku?"


Eric terkejut. Panggilan yang Evan berikan membuat semburat merambat tumbuh di wajahnya. Jantungnya seperti tak sehat. Tangan Eric mencoba meraih ponsel Evan. Matanya terkejut. Ana nama Samara disana. Eric tak yakin bahwa semua akan baik - baik saja. Paginya bisa rusak jika wanita ini menganggu.


"Dari Samara." ucap Eric datar.


"Angkat."
"Dan pegangi ponsel ini untukku."


"Hm."


Eric tak berniat menguping. Seketika saja mood nya hancur bahkan hanya dengan melihat nama wanita itu. Sekilas ia mencuri pandang pada Evan. Matanya melirik dan ia lihat raut Evan berubah. Eric yakin sesuatu terjadi. Dan Eric tak suka itu.


"Samara sakit. Barusan Ternyata Edo yang menelepon. Aku akan menjenguknya nanti."


"Boleh aku ikut?" sahut Eric cepat. Tiba - tiba saja ia jadi begini. Bukannya ingin ikut menjenguk Samara. Tujuannya adalah Edo. Berharap ia bisa bertemu dengan Edo dan berbicara padanya. Eric ingin menanyakan banyak hal pada lelaki itu. Lelaki tengil yang datang dan membuat rusuh hidupnya, dan tiba - tiba menghilang.


"Baiklah." jawab Evan.


Pagi itu Eric seperti menemukan semangat lain. Keinginannya bertemu Edo, dan sesuatu yang lain. Eric tak yakin harinya akan berjalan baik. Tapi ia ingin keinginnya bertemu Edo terjadi. Sebuah kejelasan yang Eric inginkan dari lelaki lain itu.



Kirishima Edo.



###G
Updated!
Support dengan Vote dan comment, ok?!
Jangan lupa buat stay tuned
And happy reading!!

Thanks for always supporting me!^^

Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang