#25. (Leaving)

3.2K 214 62
                                    

"Mau kemana?"
"Kau masih belum baik."

Kaki Eric terhenti. Ditolehkan kepalanya ke sumber suara. Evan tengah duduk tak jauh darinya. Ditangan lelaki itu ada tabloid, serta di meja sampingnya ada secangkir teh herbal yang masih mengepulkan uap. Bingung Eric harus menjawab apa. Semalam ia sempat berbalas pesan dengan Celine. Wanita yang entah kenapa Eric harapkan kembali itu meminta bertemu. Katanya ingin setidaknya memulai hubungan baru yang lebih baik. Eric tak menaruh curiga. Dia merasa senang entah kenapa.

"Bertemu seseorang." jawab Eric lugas. Ia berbohong.


"Kau meninggalkanku? Orang yang rela meliburkan diri agar bisa merawatmu?"


Evan menoleh. Wajahnya dibuat seperti orang kesal. Tabloid di tangan lelaki itu sudah diletakkan. Perhatiannya kini tertuju pada Eric. Tawa kecil keluar begitu saja. Eric senang Evan perhatian padanya. Kakinya melangkah pelan ke arah Evan. Di pegang bahu lelaki itu. Lalu Eric memeluk, mengalungkan lengannya di leher Evan. Dari belakang tempat duduk, Eric mencium kilas pucuk kepala Evan. Terhirup aroma mint dari sana. Entah kenapa dia bersikap demikian. Tersadar bahwa ia melakukan hal aneh, Eric buru - buru menegakkan diri. Memposisikan diri seperti semula. Menahan rona yang mungkin kini memenuhi wajahnya.


"Kau agak aneh? Atau itu hanya perasaanku?"


"Nope."
"Sudahlah.. Aku harus pergi. Tak perlu khawatir, aku sudah merasa lebih baik. Lagipula sudah dari kemarin aku istirahat. Aku bosan."


"Baiklah."
"Kau bisa mengendarai salah satu mobil di garasi. Jangan naik taksi!"

Eric hanya mengangguk mengiyakan. Berlari kecil menuju lemari berisi kunci mobil. Mengambil salah satu, lalu cepat - cepat menuruni tangga menuju garasi. Well, dia juga merasa agak aneh. Entah mengapa mood nya jadi terlalu naik begini. Kejadian kemarin seperti mudah ia lupakan. Janji siang ini jadi obat lain atas lukanya. Eric seperti playboy yang mempermainkan permainan banyak orang. Kembali jadi dirinya yang lama.



***

"Hai!"


Sebuah sapaan jatuh pada Eric. Seorang wanita menarik kursi, lalu duduk tepat di hadapannya. Eric tertegun. Satu bulan tak melihat wanita ini membuatnya merasa berlebihan.


Celine nampak lebih cantik. Begitu pikirnya.

"Hai!"
"Maafkan aku. Apa kau sudah lama menunggu?"

"Belum. Aku barusaja sampai."

Eric memanggil salah satu pelayan. Memesan minuman kesukaan keduanya. Lalu, sekalian memilih untuk makan siang bersama dengan Celine-mantan kekasihnya. Eric tak pernah membayangkan. Dia akan merasakan hal yang sama bahkan setelah jelas - jelas disakiti oleh wanita ini. Cinta yang tetap sama. Namun tetap dalam batas yang ada. Mereka hanya pernah bersama.

Hampir satu jam. Mengobrolkan hal - hal random dan nonsense sebagai pencair suasana. Eric merasa seperti dilempar ke masa - masa lampau yang sempat ia coba lupakan. Beberapa waktu lalu, ia dibuat bersedih, dibuat benci pada wanita ini. Sekarang? Lihatlah betapa senyum tak luntur dari bibirnya sejak tadi. Eric seperti melupakan fakta lain. Hubungannya dengan Evan yang sudah makin baik.

"Mungkin aku pergi dulu."
"Kita bisa bertemu lagi lain waktu." kata Celine. Bibir velvetnya tersenyum angggun. Tangannya memungut tas dan outer yang ia kenakan tadi. Kemudian berjalan keluar, yang sebelumnya didahului memeluk Eric. Eric terbelalak. Takut dan senang menyatu rasanya.

"Huft."
"Bagaimana sekarang?"

***

Eric mengendarai mobil menuju rumah. Suasana siang ini benar - benar ramai. Bisa Eric lihat, di sepanjang jalan menuju rumah, gedung - gedung sudah berhias pernak - pernik berbau natal. Memang hanya tinggal beberapa pekan menuju natal. Jadi tak heran sudah banyak toko yang menghias etalase mereka bertema natal.


Dan


Terlintas di pikiran Eric mengenai hadiah apa yang akan ia berikan untuk Evan. But hell! Eric sama sekali tak tahu bagaimana selera Evan. Dia juga tak tahu apa hobby lelaki itu. Dia sama sekali tak tahu mengenai lelaki teman satu rumahnya itu.


But wait.

Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang